The Light That Guards the Valley - Episode 3: The Genesis
SEASON 1 - EPISODE 3
THE GENESIS
"Semua kiamat dimulai dari rasa bosan."
BAB 1: KATALOG BENCANA
Semua kiamat dimulai dari rasa bosan.
Orang miskin sibuk bertahan hidup, jadi mereka tidak punya
waktu untuk mengundang bencana. Tapi orang kaya? Ah, orang kaya punya terlalu
banyak waktu luang dan terlalu sedikit masalah nyata. Jadi mereka harus
menciptakan masalah sendiri agar merasa hidup.
Martin adalah definisi dari masalah itu.
Namanya Martin Baskara. Umur 35 tahun. Pewaris tunggal dari
kerajaan bisnis properti yang tidak perlu disebutkan namanya. Dia tidak perlu
bekerja seumur hidupnya. Bunganya deposito-nya saja cukup untuk membiayai gaya
hidup hedonis tujuh turunan. Tapi Martin punya penyakit kronis orang kaya: Dia
ingin diakui sebagai “Seniman”.
Dia membeli kamera Leica seharga mobil LCGC, lensa tele
seharga rumah subsidi, dan gear hiking yang bahkan belum pernah
menyentuh tanah beku. Dia ingin menjadi Fotografer Alam Liar. Wildlife
Photographer, katanya. Terdengar gagah di bio Instagram.
Cerita ini bermula enam bulan yang lalu. Di sebuah sore yang
mendung di Jakarta Selatan.
Aku sedang berada di apartemen Martin—penthouse yang
sama tempat aku menginap kemarin malam. Tapi waktu itu, tempat ini belum terasa
seperti benteng pertahanan. Waktu itu, tempat ini cuma terasa seperti museum
ego.
“Liat ini, To. Gila gak?”
Martin menyodorkan iPad Pro-nya ke mukaku. Aku sedang sibuk
menghabiskan croissant mahal yang dia sajikan.
“Apaan?” tanyaku dengan mulut penuh. “Foto sunset
lagi? Bosen gue, Tin. Feed lo isinya oranye semua.”
“Bukan, bego. Baca artikelnya. Ini dari forum cryptozoology
Skandinavia. Gue harus pake VPN buat akses ini.”
Aku menyipitkan mata, menatap layar retina display
itu. Sebuah laman web dengan desain tahun 2000-an. Latar hitam, tulisan hijau
neon. Norak. Judulnya: THE LUSANTARA LEGEND: BIOLUMINESCENT FAUNA ANOMALY IN
NORTHERN SECTOR.
Ada sebuah foto buram di sana. Grainy. Hitam putih.
Foto seekor rusa yang berdiri di tengah kabut. Tanduknya terlihat “terbakar”
oleh cahaya putih yang over-exposed.
“Rusa lampunatal?” komentarku asal. “Editan sotosop ini mah.
Anak magang di kantor gue juga bisa bikin ginian lima menit.”
“Gue udah cek metadatanya, Okto,” Martin menyahut
berapi-api. Dia mengambil kembali iPad-nya, menatap foto itu seperti menatap
foto pacar pertama. “Ini raw file. Diambil tahun 90-an pake kamera
analog. Gak ada jejak digital manipulasi.”
“Terus? Lo mau bilang Rusa Rudolf itu nyata?”
“Bukan Rudolf. Ini cryptid. Hewan yang belum
terklasifikasi sains,” Martin berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang
tengahnya yang luas. “Bayangin, To. Kalo gue bisa dapet foto ini... foto high
definition, berwarna, tajem... nama gue bakal dicatet di National
Geographic. Gue bukan cuma fotografer hobi lagi. Gue penemu.”
Aku meletakkan cangkir kopiku. Menatap teman kayaku ini
dengan tatapan kasihan. Dia tidak butuh uang. Dia butuh validasi. Dia butuh
dunia mengakui bahwa dia bukan cuma “Anak Papi”.
“Skandinavia itu jauh, Tin. Dingin. Dan lo tau sendiri lo
alergi dingin. Di Puncak aja lo pake jaket tiga lapis,” sindirku.
“Makanya gue butuh tim!” Martin berhenti mondar-mandir. Dia
menunjuk papan tulis kaca di dinding.
Di sana, dia sudah menulis skema kasar. PROJECT LIGHT.
Budget: Unlimited. Team:
- Leader/Photo: Me (Martin)
- Science/Research: Alena (?)
- Logistics: ?
- Journalist: ?
Aku membaca daftar itu. Mataku berhenti di nama Alena.
“Alena? Maksud lo Alena si dosen kaku itu? Temen kuliah lo
yang nerd abis?”
“Iya! Dia kan Arkeolog merangkap Geolog. Gue udah kontak
dia. Awalnya dia nolak mentah-mentah. Katanya buang-buang waktu ngurusin
takhayul,” Martin tertawa kecil. “Tapi pas gue kirim data soal anomali mineral
di lokasi itu... dia langsung tertarik. Dia bilang, ‘Kalo beneran ada hewan
bercahaya, berarti tanahnya mengandung unsur tanah jarang (rare earth) yang
tinggi.’ Jadi dia setuju ikut. Demi sains.”
“Oke. Lo sama Alena. Terus? Itu logistik sama jurnalis
kosong.”
Martin menatapku. Senyumnya lebar. Senyum yang biasanya
berarti dia mau minta tolong hal yang merepotkan.
“Jurnalis... gue mikir lo, To.”
“Ogah,” potongku cepat. “Gue penulis fiksi, Tin. Gue nulis
novel pembunuhan, bukan laporan perjalanan hiking. Lagian gue lagi deadline.”
“Gue bayar double dari advance buku lo,”
tembak Martin.
Aku terdiam. Integritas seniman memang mahal, tapi tagihan
listrik lebih mendesak. Tapi saat itu, bukan uang yang membuatku ragu. Ada
firasat aneh di perutku saat melihat foto rusa buram di iPad itu.
“Gue pikir-pikir dulu,” elakku. “Terus itu logistik siapa?
Lo mau pergi bertiga doang? Sama Alena? Ntar dikira honeymoon loh. Lo
kan naksir dia dari jaman ospek.”
Wajah Martin memerah sedikit. “Sialan lo. Kagak lah. Alena
galak gitu. Makanya gue butuh satu orang lagi. Cewek kalau bisa, biar Alena ada
temennya. Tapi susah nyarinya. Temen-temen sosialita gue mana ada yang mau
diajak kedinginan di hutan.”
Martin duduk kembali di sofa, membuka Instagram-nya. Dia
punya followers lumayan banyak—sekitar 50 ribu. Isinya foto-foto traveling
estetik dengan caption puisi hasil copy-paste Google.
“Gue sempet posting soal rencana ini di Story kemaren. Iseng
doang,” kata Martin sambil scrolling. “Banyak yang DM mau ikut. Tapi
kebanyakan model-modelan yang cuma mau numpang foto.”
Dia berhenti scrolling. Mengetuk salah satu profil.
“Eh, tapi ada satu nih. Dia sering komen di foto gue.
Analisis fotonya tajam. Dia bukan cuma muji ‘keren kak’, tapi dia bahas
komposisi, lighting... pinter kayaknya.”
Martin memperlihatkan profil itu padaku.
@elisabeth_lntr Bio: Just a dust in the wind.
Nature lover. 23yo. Feed-nya rapi. Foto-foto pemandangan, buku
puisi, dan kopi. Wajahnya jarang terlihat, tapi dari beberapa foto yang ada,
dia terlihat manis. Polos. Tipe anak baik-baik.
“Elisabeth,” eja Martin. “Dia DM gue tadi pagi. Katanya dia
mau ikut. Dia sanggup bayar tiket dan akomodasi sendiri. Dia bahkan nawarin
diri buat ngurusin tiket dan visa kita semua. Katanya dia biasa traveling
sendiri.”
“Menarik.”
“Anehnya,” tambah Martin, mengerutkan kening sedikit. “Dia
tau persis kita mau ke Sektor Utara. Padahal gue belum nyebut lokasi spesifik
di Story gue. Gue cuma bilang ‘Arctic Trip’. Tapi di DM, dia langsung ngirim itinerary
lengkap rute Lembah Tira.” Martin mengangkat bahu, mengabaikan instingnya
sendiri. “Mungkin dia riset dari foto referensi gue. Anaknya proaktif banget,
To. Jarang ada cewek secerdas ini.”
“Wow! Semakin menarik,” ujarku. “Anak orang kaya juga?”
“Kayaknya. Liat tasnya di foto ini. Itu Hermes asli, To.
Bukan KW Mangga Dua.”
Aku menatap foto profil Elisabeth. Wajahnya tersenyum.
Senyum yang... entahlah. Terlalu simetris? Terlalu ramah? Saat itu aku tidak
melihat apa-apa. Aku cuma melihat gadis muda yang bosan dan punya banyak uang,
sama seperti Martin.
“Yaudah, angkut aja,” kataku enteng. Kalimat yang akan
kusesali seumur hidupku. “Lumayan kan, jadi ada seksi repot. Alena pasti seneng
ada babu... eh, asisten.”
Martin mengangguk-angguk setuju. “Bener juga. Dia masih
muda, staminanya pasti bagus. Mahasiswa tingkat akhir katanya. Itung-itung
magang.”
Martin mengetik balasan di DM. Jari jempolnya menari di atas
layar, mengetik undangan kematian kami.
“Hi Elisabeth! Sure, let’s meet up. We need a logistic
officer. Kalo lo serius, kita ngopi bareng Alena lusa.”
Send.
Martin meletakkan ponselnya. Dia bersandar puas. “Beres. Tim
terbentuk. Tinggal lo, To. Ayolah. Lo gak mau liat dunia luar? Lo gak bosen
nulis soal mayat di Jakarta mulu?”
Aku menatap Martin. Lalu menatap iPad yang masih menampilkan
foto rusa buram itu. Jujur? Aku bosan. Hidupku stagnan. Buku terakhirku
penjualannya lesu. Pacarku baru saja minta putus karena aku “terlalu pesimis”.
Mungkin perjalanan ke ujung dunia adalah apa yang
kubutuhkan. Mungkin udara dingin bisa membekukan hatiku yang rewel ini.
“Oke,” jawabku akhirnya. “Gue ikut. Tapi gue gak mau bawa
keril. Gue cuma bawa laptop sama rokok.”
“Deal!” Martin bersorak. Dia menuangkan wine ke gelas
kami.
Kami bersulang. Gelas kristal beradu. Ting.
Bunyi yang sama dengan lonceng kematian.
Saat itu, di apartemen mewah yang dingin oleh AC sentral
itu, kami merasa seperti petualang yang akan menaklukkan dunia. Kami tidak tahu
bahwa di seberang sana, di layar ponsel seorang gadis bernama Elisabeth,
balasan DM Martin baru saja membuka kotak Pandora.
Dan Rusa itu... di dalam foto hitam putih yang buram itu...
Aku bersumpah, kalau aku melihatnya lebih teliti waktu itu... Aku akan sadar
bahwa matanya tidak menatap kamera. Matanya menatapku.
BAB 2: KOPI DARAT DI LEMBAH SILIKON
Dua hari kemudian. Di sebuah coffee shop di daerah Senopati yang namanya susah dieja dan kopinya seharga UMR harian buruh kasar.
Tempat ini adalah ekosistem
habitat Martin. Dinding semen ekspos yang sengaja dibuat tidak rapi (estetika
orang kaya yang ingin terlihat miskin), tanaman monstera di setiap sudut, dan
lagu indie folk yang diputar dengan volume pas—cukup keras untuk
terdengar estetik, cukup pelan untuk menguping pembicaraan meja sebelah tentang
startup yang mau IPO.
Aku datang sepuluh menit lebih
awal. Kebiasaan lama wartawan magang yang belum hilang. Tapi ternyata aku bukan
yang pertama.
Di meja sudut dekat jendela,
Alena sudah duduk. Dia terlihat kontras dengan pengunjung lain yang rata-rata
memakai outfit “skena” Jakarta Selatan. Alena memakai kemeja batik
formal, celana bahan, dan kacamata tebal. Laptopnya bukan MacBook berstiker Quotes,
melainkan ThinkPad hitam tebal yang terlihat seperti bisa dipakai untuk memukul
maling.
“Hai, Al,” sapaku sambil menarik
kursi di depannya.
Alena mendongak. Matanya menyipit
di balik lensa. “Oktonawa,” katanya datar. Tanpa senyum. “Penulis fiksi
kriminal yang bukunya diskon lima puluh persen di Gramedia bulan lalu. Gue
sempet liat di tumpukan obral.”
“Riset lo tajem juga,” balasku,
pura-pura tidak tersinggung, meski ulu hatiku nyeri sedikit. “Dan lo Alena.
Dosen Geologi yang katanya lebih galak dari ibu tiri Cinderella. Martin bilang
mahasiswa lo sering nangis di toilet abis bimbingan.”
Alena mendengus. Sudut bibirnya
naik sedikit. Hampir tersenyum. “Gue gak galak. Mahasiswa gue aja yang lembek.
Generasi stroberi. Diteken dikit, bonyok.” Dia kembali mengetik di laptopnya. “Gue
cuma punya waktu satu jam. Kalo si Martin telat lagi, gue cabut. Gue ada jadwal
nguji sidang.”
“Dia yang punya acara, dia yang
telat. Klasik Martin,” kataku sambil memesan Americano pada pelayan yang
lewat.
Lima menit kemudian, pintu kafe
terbuka. Lonceng di atas pintu berbunyi. Ting.
Bukan Martin yang masuk. Tapi
sepasang muda-mudi.
Si perempuan—Elisabeth—memakai dress
putih selutut dengan kardigan krem. Rambutnya hitam panjang, dibiarkan tergerai
rapi. Tas Hermes kecil terselip di lengannya. Dia terlihat seperti putri
keraton modern. Bersih. Wangi. Mahal.
Dan di sebelahnya, ada seorang
laki-laki yang terlihat seperti... aksesori-nya. Dia memakai kemeja
flanel kebesaran, celana kargo, dan kacamata bulat ala John Lennon. Rambutnya
gondrong tanggung yang diikat asal. Dia membawa totebag kanvas
bertuliskan nama band indie antah berantah.
Gestur tubuh mereka aneh. Si
laki-laki membukakan pintu, tapi dia berjalan setengah langkah di belakang
Elisabeth. Seperti ajudan. Atau mungkin, seperti hewan peliharaan yang patuh.
Elisabeth melihat ke arah meja
kami. Lalu tersenyum. Senyum itu... merekah. Seperti iklan pasta gigi.
Dia berjalan mendekat. “Hai! Ini
meja Kak Martin ya?” tanyanya ramah. Suaranya lembut, sopan.
Alena menatapnya dari atas ke
bawah. Tatapan judgemental khas akademisi melihat sosialita. “Martin
belum dateng. Lo siapa? Model yang mau ikut foto?”
Gadis itu tertawa kecil. Tidak
tersinggung. “Bukan, Kak. Aku Elisabeth. Yang DM Kak Martin di Instagram.
Katanya disuruh dateng ke sini buat ngomongin ekspedisi.”
Dia menoleh ke laki-laki di
sebelahnya. “Oh iya, kenalin. Ini Rian. Pacar aku. Dia yang nganterin aku ke
sini.”
Rian tersenyum canggung. Dia
mengulurkan tangan, tapi gerakannya ragu-ragu. “Rian, Kak,” suaranya pelan. “Musisi.”
Aku menyalami tangan Rian.
Tangannya lembap. Keringat dingin. Dia menatapku, lalu menatap Alena, lalu
menatap sekeliling kafe yang mewah ini. Aku mengenali tatapan itu. Itu tatapan insecurity.
Dia merasa kecil di sini. Dia merasa tidak pantas duduk di meja ini.
“Duduk,” kata Alena singkat.
Elisabeth duduk dengan anggun.
Rian duduk di sebelahnya, tapi kursinya digeser sedikit ke belakang, seolah dia
tidak ingin menghalangi cahaya yang menyinari Elisabeth.
“Kak Martin mana?” tanya
Elisabeth.
“Biasa. Macet di ego-nya
sendiri,” jawabku. “Jadi, Lis. Lo nemu IG Martin dari mana? Algoritma?”
“Oh, itu,” Elisabeth merapikan
rambutnya. “Aku suka fotografi alam. Terus pas lagi scroll explore,
muncul foto Kak Martin yang di Bromo. Tone warnanya bagus banget. Moody
gitu. Terus aku komen, eh dibales. Terus kita jadi sering DM-an bahas lokasi
foto.”
“Kak Martin humble banget
ya orangnya,” tambah Rian tiba-tiba. Mencoba ikut dalam obrolan. “Padahal followers-nya
banyak. Tapi mau balesin DM orang biasa kayak kita.”
Aku menahan tawa sinis. Martin
bukan humble, Yan. Martin itu haus pujian. Dia akan membalas siapa saja
yang memuja karyanya.
“Terus lo Oktonawa kan?”
Elisabeth menoleh padaku. Matanya berbinar. “Kak Martin bilang ke aku. Dan Aku
tau! Aku pernah liat buku Kakak di tag Best Seller AMAZON. Yang
judulnya ‘The Blood Red Brush’, kan? Sumpah itu plot twist-nya
keren banget. Aku gak nyangka pembunuhnya ternyata si naratornya sendiri.”
Aku terdiam. Buku itu terbit dua
tahun lalu. Dan itu bukan best seller. Itu buku gagal yang cuma laku hanya
sedikit. Tidak mungkin dia melihatnya di tag best seller kecuali dia hacker
yang merubah angka di Platfrom sebesar Amazon. Anak ini... dia melakukan riset.
Dia tahu cara membelai ego penulis gagal sepertiku.
“Makasih,” jawabku kaku.
Tepat saat itu, pintu terbuka
lagi. Martin masuk dengan heboh, memakai kacamata hitam di dalam ruangan dan
jaket kulit yang jelas terlalu panas untuk cuaca Jakarta.
“Wassup, Guys! Sorry telat! Macet
parah di Antasari! Ada truk guling!” serunya lantang.
Dia langsung menuju meja kami.
Matanya langsung tertuju pada Elisabeth. “Wah! Elisabeth ya? Asli lo lebih
bening dari foto profil lo.”
Elisabeth tersipu. “Kak Martin
bisa aja.”
Martin duduk, mengambil buku
menu, dan benar-benar mengabaikan keberadaan Rian. Dia tidak menyapa Rian. Dia
tidak melihat Rian. Bagi Martin, Rian hanyalah background noise. Ornamen
kursi.
Rian bergerak gelisah di
kursinya. Dia membetulkan letak kacamatanya. Wajahnya masam, tapi dia tidak
berani protes.
“Udah kenalan kan? Sip. Gak usah
basa-basi. To the point aja,” Martin meletakkan iPad-nya di meja.
Menampilkan peta Skandinavia. “Rencana kita simpel. Terbang ke Oslo, sewa
mobil, jalan ke utara sampe ke Lembah Tira. Di sana kita camping atau
sewa kabin. Alena riset tanah, gue foto rusa, Okto ngelamun cari inspirasi. Dan
Elisabeth...”
Martin menatap Elisabeth intens. “Lo
yakin mau ikut? Ini bukan glamping di Sentul loh. Di sana dingin, becek,
gak ada sinyal. Lo anak rumahan kayaknya. Sanggup?”
Sebelum Elisabeth menjawab, Rian
menyela. “Itu dia, Kak. Aku sebenernya khawatir. Elisabeth kan gampang masuk
angin. Fisiknya gak sekuat itu. Apa gak bahaya ya cewek sendiri?”
Martin akhirnya menoleh ke Rian.
Menurunkan kacamata hitamnya sedikit. “Sori, bro. Lo siapa ya? Supirnya?”
Duar. Tembakan langsung ke ulu
hati. Wajah Rian memerah padam. Telinganya seperti terbakar.
“Dia pacar aku, Kak,” Elisabeth
menjawab cepat, tapi nadanya ringan. Dia menepuk tangan Rian pelan. “Rian emang
protektif banget. Sweet sih, tapi kadang berlebihan.”
Dia menatap Rian. Senyumnya masih
ada, tapi matanya... matanya menyuruh Rian diam. “Sayang, kan aku udah bilang.
Aku butuh me time. Aku butuh inspirasi buat lukisan aku. Kamu kan juga
mau tur ke Bandung sama band kamu. Kita sama-sama cari karya.”
“Tapi, Yang...” Rian mencoba
membantah.
“Sssst,” Elisabeth meletakkan
jarinya di bibir Rian. “Nanti aku bawain oleh-oleh batu kristal buat koleksi
kamu. Oke?”
Rian terdiam. Dia menunduk. Kalah
telak. Di depan Martin yang kaya dan Alena yang pintar, Rian merasa suaranya
tidak berharga. Dia merasa kecil.
Elisabeth kembali menatap Martin.
Dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tas Hermes-nya. “Aku udah cek,
Kak. Tiket ke Oslo bulan depan lagi promo. Aku juga udah list perlengkapan.
Tenda thermal, ransum, P3K. Terus aku juga udah cek visa. Kalau Kak
Martin sama Kak Alena belum punya visa Schengen, aku bisa bantu urusin lewat
kenalan papaku di kedutaan. Tiga hari jadi.”
Martin melongo. “Wow. Gue kira lo
cuma modal tampang. Ternyata lo logistic wizard.”
“Aku serius, Kak,” Elisabeth
tersenyum lagi. “Rasanya kayak... panggilan. Kayak ada yang nunggu di sana.”
“Panggilan?” tanya Alena skeptis.
“Iya. Kayak pulang kampung,”
jawab Elisabeth pelan.
Aku memperhatikan interaksi
mereka. Martin yang terpesona. Alena yang mulai respek. Dan Rian... Rian yang
semakin tenggelam di kursinya, meremas tali totebag-nya.
Rian menatap Elisabeth dengan
tatapan... takut kehilangan. Dia tahu Elisabeth jauh di atas liganya. Dan dia
takut ekspedisi ini akan membuat Elisabeth sadar bahwa dia bisa mendapatkan
yang lebih baik daripada musisi indie gagal.
Dan Martin? Martin menikmati
dominasinya.
“Oke!” Martin menepuk meja. “Lo
diterima, Lis! Selamat bergabung di Tim Ekspedisi Hore!”
Martin mengangkat gelas iced
latte-nya. “Bersulang buat Rusa Cahaya!”
Alena dan Elisabeth mengangkat
gelas. Aku mengangkat gelasku pelan. Rian? Dia tidak punya gelas. Dia tidak
memesan apa-apa karena harga kopi di sini seratus ribu.
“Mas Okto?” panggil Elisabeth. “Gak
ikut cheers?”
Aku menatap matanya. “Gue gak
biasa ngerayain sesuatu yang belum kejadian,” jawabku.
Elisabeth tertawa kecil. Lalu,
saat dia menurunkan gelasnya, aku melihat sekilas pantulan di kacamata hitam
Martin yang tergeletak di meja.
Pantulan wajah Elisabeth. Di
pantulan itu, dia sedang melihat ke arah Rian. Tatapan matanya bukan tatapan
cinta. Itu tatapan seseorang yang melihat... cadangan makanan. Tatapan
predator yang menyimpan mangsanya untuk dimakan nanti kalau lapar.
“Jadi,” kata Alena menutup
laptopnya. “Kapan kita berangkat?”
“Tanggal 13,” jawab Elisabeth
mantap. “Bulan mati. Langit paling gelap.”
Rian berdiri. “Aku tunggu di
mobil ya, Yang.” Dia keluar. Tidak tahan lagi dengan atmosfer di meja ini.
Martin tertawa kecil setelah Rian
pergi. “Pacar lo lucu, Lis. Insecure banget.”
Elisabeth tersenyum tipis.
Menyesap kopinya. “Dia emang gitu, Kak. Butuh banyak reassurance. Butuh
diisi terus. Kalau kosong dikit, dia goyah.”
“Butuh diisi”. Pemilihan kata
yang aneh.
Saat itu aku tidak sadar. Tapi
tiga bulan kemudian, saat aku melihat Rian dengan tangan melepuh di Cipete, aku
baru paham. Elisabeth tidak mencari pacar. Dia mencari wadah yang kosong untuk
diisi. Dan Rian... Rian adalah pot bunga yang sempurna.
BAB 3: TERMINAL PERPISAHAN
Terminal 3 Ultimate Soekarno-Hatta.
Tempat ini selalu mengingatkanku pada rumah sakit kelas
VVIP. Dingin, steril, penuh dengan orang-orang yang menunggu nasib, dan bau
kopi mahal yang bercampur dengan parfum duty-free.
Hari itu tanggal 13. Martin benar-benar menepati janjinya
soal “Unlimited Budget”. Dia membelikan kami tiket Business Class Qatar
Airways. “Biar kaki lo gak bengkak, To,” katanya saat menyerahkan boarding
pass. “Gue butuh lo fresh di sana buat nulis jurnal perjalanan yang
epik.”
Kami berkumpul di dekat check-in counter khusus kelas
bisnis. Karpetnya empuk, antreannya sepi. Martin sibuk dengan kamera GoPro-nya
yang dipasang di tongsis. “Halo, Guys! Hari ini The Expedition Team
berangkat! Next Stop: Singapore then Oslo! Doain kita dapet jackpot
ya!” serunya ke kamera, mengabaikan tatapan orang-orang yang lewat. Martin
hidup di dunianya sendiri, di mana dia adalah tokoh utamanya.
Alena sibuk menimbang koper hardcase-nya yang berisi
alat-alat geologi. “Kelebihan dua kilo,” gumamnya panik, keningnya berkerut. “Sial.
Gue harus keluarin jaket cadangan. Martin, ini bagasi lo masih sisa banyak gak?
Gue titip sampel tabung reaksi dong.”
“Boleh, masukin aja, Al. Asal jangan meledak,” sahut Martin
santai.
Dan di pojokan, agak menjauh dari keriuhan kami, ada drama
Korea versi anggaran rendah yang sedang berlangsung.
Elisabeth dan Rian.
Mereka berdiri di dekat pilar. Kontras visual mereka sangat
mencolok. Elisabeth dengan coat krem panjang yang stylish dan
koper Rimowa mengkilap. Rian dengan hoodie abu-abu kumal, celana kargo
kedodoran, dan mata yang merah berair.
Aku mengamati mereka dari balik ponselku. Bukan mau
menguping, tapi posisi berdiriku memang strategis.
“Kamu beneran gak bisa undur seminggu lagi, Yang?” Rian
merengek. Suaranya kecil, getarannya menyedihkan. Dia memegang kedua tangan
Elisabeth erat-erat, seolah takut gadis itu akan menguap jadi asap. “Minggu
depan kan aku ulang tahun... masa aku tiup lilin sendiri?”
Elisabeth tersenyum. Senyum yang sabar. Sangat sabar.
Seperti seorang ibu muda yang sedang membujuk balitanya agar tidak menangis
saat ditinggal ke pasar.
“Gak bisa dong, Rian,” jawabnya lembut. Tangannya terulur,
merapikan poni Rian yang berantakan. “Tiketnya kan udah dibeli Kak Martin.
Mahal loh ini. Masa aku minta reschedule cuma gara-gara ulang tahun? Gak
profesional dong.”
“Tapi aku bakal kangen banget...”
“Cuma dua minggu, Sayang. Bukan dua tahun. Kamu kan bisa
latihan band. Fokus bikin lagu. Nanti pas aku pulang, kamu nyanyiin buat aku.
Oke?”
Elisabeth mendominasi percakapan itu dengan mudah. Dia
mengatur emosi Rian, memvalidasinya sedikit, lalu mengarahkannya agar tidak
mengganggu rencananya. Itu bukan manipulasi jahat. Itu cuma... management.
Dia manajer dalam hubungan ini.
Rian menunduk. Kalah lagi. Dia merogoh saku hoodie-nya.
Mengeluarkan sesuatu. Sebuah gelang. Terbuat dari tali prusik hitam sederhana
dengan bandul pick gitar plastik. Gelang buatan tangan. Khas anak indie
Senopati.
“Ini buat kamu,” kata Rian, memasangkan gelang itu ke
pergelangan tangan Elisabeth.
Gelang tali hitam itu melingkar di sebelah jam tangan Cartier
emas Elisabeth. Benda itu terlihat sangat tidak pada tempatnya. Seperti
menempelkan stiker timbul hadiah chiki di atas kap mobil Ferrari.
Murahan, jelek, dan merusak pemandangan.
Elisabeth menatap gelang itu. Ada jeda sepersekian detik di
matanya—kilatan penilaian. Dia tahu itu merusak estetika outfit-nya.
Tapi kemudian, dia tersenyum manis.
“Makasih ya, Rian. Lucu banget,” katanya.
“Itu pick gitar kesayangan aku. Yang aku pake pas
nulis lagu pertama buat kamu. Biar aku jagain kamu di sana.”
“Iya. Aku pake terus kok,” jawab Elisabeth. Dia mengangkat
tangannya, menggoyangkan gelang itu sedikit. “Udah ya? Anak-anak udah mau masuk
imigrasi. Gak enak ditungguin.”
Dia mencium pipi Rian sekilas. Ciuman cup-cup cepat. “Dah.
Kamu pulang gih. Ati-ati di jalan. Kabarin kalo udah sampe kost.”
Elisabeth berbalik. Dia berjalan menuju kami dengan langkah
ringan. Tas Hermes-nya berayun di lengan. Dia meninggalkan Rian yang masih
berdiri mematung di sana, melambaikan tangan dengan lemah, air mata menetes di
pipinya.
Saat Elisabeth sampai di sebelahku, dia menghela napas
panjang. “Hah... akhirnya,” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.
“Berat ya perpisahan?” tanyaku iseng.
Elisabeth menoleh. Wajahnya cerah, penuh semangat. Tidak ada
jejak kesedihan. “Bukan berat pisahnya, Mas. Berat dramanya,” dia tertawa
kecil. Renyah. Polos. “Rian tuh emang gitu. Clingy banget. Kalau
diturutin terus, aku gak bakal ke mana-mana. Sekali-kali dia harus belajar
mandiri.”
Dia menatap gelang tali hitam di tangannya. Dia tidak
membuangnya. Dia memutarnya sedikit agar bandul pick gitarnya tidak
nyangkut di lengan bajunya. “Jelek banget sebenernya ya, Mas?” tanyanya sambil
nyengir. “Tapi yaudahlah, kasian kalau gak dipake.”
Aku tertawa. “Lumayan. Ada sentuhan grunge dikit.”
“Yuk, Mas! Kak Martin udah jalan tuh!”
Elisabeth berjalan mendahului aku. Dia terlihat bahagia. Dia
terlihat seperti gadis muda normal yang tidak sabar ingin melihat salju,
melihat rusa, dan merasakan petualangan. Dia murni. Dia bersemangat.
Aku menoleh ke belakang sekilas. Ke arah Rian yang masih
berdiri di balik pembatas kaca pengantar. Dia terlihat kecil. Dia terlihat...
hampa.
Saat itu, aku merasa kasihan padanya. Aku pikir Rian adalah
pihak yang kalah karena ditinggalkan. Aku tidak tahu bahwa nasib Rian justru
lebih baik saat itu. Dia aman di Jakarta dengan kesedihannya yang sederhana.
Sementara Elisabeth? Gadis polos yang berjalan riang di
depanku ini sedang berjalan menuju sesuatu yang akan mengubahnya selamanya. Dia
tidak tahu bahwa gelang tali hitam itu mungkin adalah benda terakhir yang
mengikatnya pada kemanusiaan.
“Ayo, To! Jangan ngelamun!” teriak Martin dari depan pintu
pemeriksaan.
“Iya, bawel,” gumamku.
Aku menyusul mereka. Paspor dicap. Bumm.
Kami resmi meninggalkan Indonesia. Meninggalkan Rian. Dan
berjalan menuju takdir yang sudah menunggu di balik kabut utara.
BAB 4: ALARM DARI NERAKA
Perhatian penumpang, kita akan
segera mendarat...
Suara pengumuman di bandara itu bergema dalam mimpiku.
Berulang-ulang. Tapi nadanya makin lama makin rendah. Makin berat. Hingga
akhirnya suara itu bukan lagi suara manusia, melainkan suara dengungan listrik
statis.
Ngiiiing...
Mimpi tentang bandara yang dingin itu pecah berantakan.
Aku tersentak bangun. Napasku tertahan di tenggorokan,
seolah-olah aku baru saja ditarik paksa dari dasar kolam es. Jantungku
memukul-mukul rusuk dengan panik.
Tidak. Jelas itu bukan mimpi. Itu adalah kilas balik memori
otakku.
Mataku terbuka lebar, menatap langit-langit apartemen yang
gelap.
Bukan langit Oslo. Bukan langit bandara Soekarno-Hatta. Ini
langit-langit gypsum mewah apartemen Martin di Senopati.
Aku duduk tegak di sofa, keringat dingin membasahi
punggungku. AC sentral apartemen ini disetel di suhu 18 derajat, tapi rasanya
seperti berada di dalam oven.
“Hah... hah...”
Aku meraba wajahku. Masih utuh. Tidak ada es, tidak ada
kabut. Aku melihat ke sekeliling. Ruangan ini sunyi. Gelap. Hanya diterangi
oleh lampu indikator TV dan cahaya kota Jakarta yang masuk samar-samar dari
jendela besar.
Di sofa seberang, Martin masih tertidur. Posisinya tidak
berubah sejak tiga jam yang lalu. Mulutnya sedikit terbuka, mendengkur halus.
Dia tidur nyenyak sekali. Tidur orang kaya yang tidak punya beban. Egonya
adalah benteng yang begitu tebal sampai-sampai mimpi buruk pun tidak muat masuk
ke kepalanya.
Tapi aku tidak bangun karena mimpi buruk. Tubuhku bukan
alarm jam. Tubuhku adalah radar.
Aku menunduk melihat tangan kananku. Di sana, di dalam
kegelapan ruang tengah itu, perban yang membalut jariku tidak bisa
menyembunyikan apa pun.
Cahaya itu menyala. Terang. Jauh lebih terang dari
sebelumnya.
Bip... Bip... Bip...
Denyutannya cepat. Panik. Agresif. Warnanya biru elektrik
yang menyakitkan mata. Cahaya itu menembus pori-pori perban, memantul di meja
kaca, menciptakan bayangan hantu yang berkedip di dinding.
Rasanya panas. Seperti ada besi solder yang ditanam di bawah
kulitku. Ini bukan sekadar denyutan “halo”. Ini adalah respons.
Cahaya di tanganku bereaksi terhadap sesuatu. Atau seseorang.
Sama seperti anjing yang melolong sebelum gempa bumi, parasit di tanganku ini
tahu ada lonjakan energi besar di dekat sini. Energi yang kacau.
Tiba-tiba, ponselku yang tergeletak di meja bergetar
panjang. Layarnya menyala, membelah kegelapan.
Bukan panggilan telepon. Itu notifikasi WhatsApp Group.
Grup lama kami yang sudah jadi kuburan digital. “Ekspedisi
Hore Skandinavia”
Jantungku berdegup kencang. Siapa yang mengirim pesan jam
empat pagi? Martin sedang tidur di depanku. Elisabeth sudah keluar grup.
Tinggal satu nama. Alena.
Aku ingat di bar tadi, status Alena sempat Typing...
lama sekali, lalu mati. Aku pikir dia batal mengirim pesan. Ternyata, dia tidak
sanggup mengetik. Notifikasi itu muncul sekarang. Sebuah Voice Note.
Jari-jarinya pasti sudah tidak berfungsi saat itu. Jari-jari
yang biasanya lincah memegang pipet dan pena, mungkin sudah kaku atau...
melepuh. Jadi dia merekam suara terakhirnya.
Status VN itu aneh. Tidak ada durasi yang jelas, barnya
berkedip-kedip glitch. Dan statusnya: Forwarded many times.
Diteruskan berkali-kali? Ke mana? Ke siapa? Atau... sistem WhatsApp sedang
bingung membaca frekuensi suara yang bukan berasal dari pita suara manusia?Aku
melirik Martin sebentar. Dengkurannya masih stabil. Dia tidak mendengar
notifikasi itu. Aku mengecilkan volume, lalu mendekatkan speaker ke telinga.
Menekan tombol Play.
Detik 1-5: Suara gemerisik kasar. Seperti seseorang yang
menjatuhkan HP ke meja yang penuh barang pecah belah. Prang! Klontang!
Suara gelas ukur pecah? Mikroskop jatuh?
Detik 6-10: Suara napas. Berat. Basah. Seperti orang asma
yang paru-parunya penuh cairan.
Lalu di detik ke-11, suara Alena muncul. Tapi bukan suara
dosen galak yang kukenal. Suaranya bergetar hebat, diselingi rintihan menahan
sakit. Dan dia tidak memanggilku. Dia memanggil teman lamanya.
“Martin... Martin, angkat telepon gue...”
Suaranya pecah, berubah jadi batuk basah.
“Lo salah, Tin... datanya salah... ini bukan mineral...
ini frekuensi... alat gue meledak... mata gue... arghhh!”
Suara teriakan tertahan. Seperti seseorang yang mencoba
mencongkel sesuatu dari wajahnya sendiri.
“Cahayanya gak mau masuk... dia marah... dia membakar...
tolong gue, Tin... panas...”
Klik. Audio berhenti.
Aku melempar ponselku ke sofa seolah benda itu baru saja
menyengatku. Hening.
Hanya ada suara dengkuran Martin yang damai.
Alena meminta tolong pada Martin. Pada logika yang dia
percaya. Pada teman lamanya. Tapi Martin tidur. Martin tidak mendengar. Martin
kebal.
Hanya aku yang mendengar. Hanya si “penulis pembual” ini
yang mendengar detik-detik runtuhnya logika seorang ilmuwan.
Tanganku yang bercahaya berdenyut sakit sekali. Nyut!
Seolah-olah dia ikut merayakan kemenangan atas logika Alena yang hancur.
Aku menatap Martin dengan nanar. Masa lalu yang indah di
bandara tadi sudah hilang tak berbekas. Elisabeth yang polos sudah mati. Rian
yang cengeng sudah menjadi monster.
Dan Alena... Sains baru saja kalah. Dan dia baru saja
mengirimkan sinyal SOS terakhir sebelum sinyalnya padam selamanya.
Aku berdiri. Berjalan ke jendela. Menatap Jakarta di bawah
sana. Fajar belum datang. Langit masih hitam pekat.
Aku harus menemukannya. Sekarang. Sebelum dia benar-benar
hangus terbakar oleh penolakannya sendiri.
Lanjut ke Episode 4...