The Light That Guards the Valley - Episode 3: The Genesis

SEASON 1 - EPISODE 3

THE GENESIS

"Semua kiamat dimulai dari rasa bosan."

0

BAB 1: KATALOG BENCANA

Semua kiamat dimulai dari rasa bosan.

Orang miskin sibuk bertahan hidup, jadi mereka tidak punya waktu untuk mengundang bencana. Tapi orang kaya? Ah, orang kaya punya terlalu banyak waktu luang dan terlalu sedikit masalah nyata. Jadi mereka harus menciptakan masalah sendiri agar merasa hidup.

Martin adalah definisi dari masalah itu.

Namanya Martin Baskara. Umur 35 tahun. Pewaris tunggal dari kerajaan bisnis properti yang tidak perlu disebutkan namanya. Dia tidak perlu bekerja seumur hidupnya. Bunganya deposito-nya saja cukup untuk membiayai gaya hidup hedonis tujuh turunan. Tapi Martin punya penyakit kronis orang kaya: Dia ingin diakui sebagai “Seniman”.

Dia membeli kamera Leica seharga mobil LCGC, lensa tele seharga rumah subsidi, dan gear hiking yang bahkan belum pernah menyentuh tanah beku. Dia ingin menjadi Fotografer Alam Liar. Wildlife Photographer, katanya. Terdengar gagah di bio Instagram.

Cerita ini bermula enam bulan yang lalu. Di sebuah sore yang mendung di Jakarta Selatan.

Aku sedang berada di apartemen Martin—penthouse yang sama tempat aku menginap kemarin malam. Tapi waktu itu, tempat ini belum terasa seperti benteng pertahanan. Waktu itu, tempat ini cuma terasa seperti museum ego.

“Liat ini, To. Gila gak?”

Martin menyodorkan iPad Pro-nya ke mukaku. Aku sedang sibuk menghabiskan croissant mahal yang dia sajikan.

“Apaan?” tanyaku dengan mulut penuh. “Foto sunset lagi? Bosen gue, Tin. Feed lo isinya oranye semua.”

“Bukan, bego. Baca artikelnya. Ini dari forum cryptozoology Skandinavia. Gue harus pake VPN buat akses ini.”

Aku menyipitkan mata, menatap layar retina display itu. Sebuah laman web dengan desain tahun 2000-an. Latar hitam, tulisan hijau neon. Norak. Judulnya: THE LUSANTARA LEGEND: BIOLUMINESCENT FAUNA ANOMALY IN NORTHERN SECTOR.

Ada sebuah foto buram di sana. Grainy. Hitam putih. Foto seekor rusa yang berdiri di tengah kabut. Tanduknya terlihat “terbakar” oleh cahaya putih yang over-exposed.

“Rusa lampunatal?” komentarku asal. “Editan sotosop ini mah. Anak magang di kantor gue juga bisa bikin ginian lima menit.”

“Gue udah cek metadatanya, Okto,” Martin menyahut berapi-api. Dia mengambil kembali iPad-nya, menatap foto itu seperti menatap foto pacar pertama. “Ini raw file. Diambil tahun 90-an pake kamera analog. Gak ada jejak digital manipulasi.”

“Terus? Lo mau bilang Rusa Rudolf itu nyata?”

“Bukan Rudolf. Ini cryptid. Hewan yang belum terklasifikasi sains,” Martin berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tengahnya yang luas. “Bayangin, To. Kalo gue bisa dapet foto ini... foto high definition, berwarna, tajem... nama gue bakal dicatet di National Geographic. Gue bukan cuma fotografer hobi lagi. Gue penemu.”

Aku meletakkan cangkir kopiku. Menatap teman kayaku ini dengan tatapan kasihan. Dia tidak butuh uang. Dia butuh validasi. Dia butuh dunia mengakui bahwa dia bukan cuma “Anak Papi”.

“Skandinavia itu jauh, Tin. Dingin. Dan lo tau sendiri lo alergi dingin. Di Puncak aja lo pake jaket tiga lapis,” sindirku.

“Makanya gue butuh tim!” Martin berhenti mondar-mandir. Dia menunjuk papan tulis kaca di dinding.

Di sana, dia sudah menulis skema kasar. PROJECT LIGHT. Budget: Unlimited. Team:

  1. Leader/Photo: Me (Martin)
  2. Science/Research: Alena (?)
  3. Logistics: ?
  4. Journalist: ?

Aku membaca daftar itu. Mataku berhenti di nama Alena.

“Alena? Maksud lo Alena si dosen kaku itu? Temen kuliah lo yang nerd abis?”

“Iya! Dia kan Arkeolog merangkap Geolog. Gue udah kontak dia. Awalnya dia nolak mentah-mentah. Katanya buang-buang waktu ngurusin takhayul,” Martin tertawa kecil. “Tapi pas gue kirim data soal anomali mineral di lokasi itu... dia langsung tertarik. Dia bilang, ‘Kalo beneran ada hewan bercahaya, berarti tanahnya mengandung unsur tanah jarang (rare earth) yang tinggi.’ Jadi dia setuju ikut. Demi sains.”

“Oke. Lo sama Alena. Terus? Itu logistik sama jurnalis kosong.”

Martin menatapku. Senyumnya lebar. Senyum yang biasanya berarti dia mau minta tolong hal yang merepotkan.

“Jurnalis... gue mikir lo, To.”

“Ogah,” potongku cepat. “Gue penulis fiksi, Tin. Gue nulis novel pembunuhan, bukan laporan perjalanan hiking. Lagian gue lagi deadline.”

“Gue bayar double dari advance buku lo,” tembak Martin.

Aku terdiam. Integritas seniman memang mahal, tapi tagihan listrik lebih mendesak. Tapi saat itu, bukan uang yang membuatku ragu. Ada firasat aneh di perutku saat melihat foto rusa buram di iPad itu.

“Gue pikir-pikir dulu,” elakku. “Terus itu logistik siapa? Lo mau pergi bertiga doang? Sama Alena? Ntar dikira honeymoon loh. Lo kan naksir dia dari jaman ospek.”

Wajah Martin memerah sedikit. “Sialan lo. Kagak lah. Alena galak gitu. Makanya gue butuh satu orang lagi. Cewek kalau bisa, biar Alena ada temennya. Tapi susah nyarinya. Temen-temen sosialita gue mana ada yang mau diajak kedinginan di hutan.”

Martin duduk kembali di sofa, membuka Instagram-nya. Dia punya followers lumayan banyak—sekitar 50 ribu. Isinya foto-foto traveling estetik dengan caption puisi hasil copy-paste Google.

“Gue sempet posting soal rencana ini di Story kemaren. Iseng doang,” kata Martin sambil scrolling. “Banyak yang DM mau ikut. Tapi kebanyakan model-modelan yang cuma mau numpang foto.”

Dia berhenti scrolling. Mengetuk salah satu profil.

“Eh, tapi ada satu nih. Dia sering komen di foto gue. Analisis fotonya tajam. Dia bukan cuma muji ‘keren kak’, tapi dia bahas komposisi, lighting... pinter kayaknya.”

Martin memperlihatkan profil itu padaku.

@elisabeth_lntr Bio: Just a dust in the wind. Nature lover. 23yo. Feed-nya rapi. Foto-foto pemandangan, buku puisi, dan kopi. Wajahnya jarang terlihat, tapi dari beberapa foto yang ada, dia terlihat manis. Polos. Tipe anak baik-baik.

“Elisabeth,” eja Martin. “Dia DM gue tadi pagi. Katanya dia mau ikut. Dia sanggup bayar tiket dan akomodasi sendiri. Dia bahkan nawarin diri buat ngurusin tiket dan visa kita semua. Katanya dia biasa traveling sendiri.”

“Menarik.”

“Anehnya,” tambah Martin, mengerutkan kening sedikit. “Dia tau persis kita mau ke Sektor Utara. Padahal gue belum nyebut lokasi spesifik di Story gue. Gue cuma bilang ‘Arctic Trip’. Tapi di DM, dia langsung ngirim itinerary lengkap rute Lembah Tira.” Martin mengangkat bahu, mengabaikan instingnya sendiri. “Mungkin dia riset dari foto referensi gue. Anaknya proaktif banget, To. Jarang ada cewek secerdas ini.”

“Wow! Semakin menarik,” ujarku. “Anak orang kaya juga?”

“Kayaknya. Liat tasnya di foto ini. Itu Hermes asli, To. Bukan KW Mangga Dua.”

Aku menatap foto profil Elisabeth. Wajahnya tersenyum. Senyum yang... entahlah. Terlalu simetris? Terlalu ramah? Saat itu aku tidak melihat apa-apa. Aku cuma melihat gadis muda yang bosan dan punya banyak uang, sama seperti Martin.

“Yaudah, angkut aja,” kataku enteng. Kalimat yang akan kusesali seumur hidupku. “Lumayan kan, jadi ada seksi repot. Alena pasti seneng ada babu... eh, asisten.”

Martin mengangguk-angguk setuju. “Bener juga. Dia masih muda, staminanya pasti bagus. Mahasiswa tingkat akhir katanya. Itung-itung magang.”

Martin mengetik balasan di DM. Jari jempolnya menari di atas layar, mengetik undangan kematian kami.

“Hi Elisabeth! Sure, let’s meet up. We need a logistic officer. Kalo lo serius, kita ngopi bareng Alena lusa.”

Send.

Martin meletakkan ponselnya. Dia bersandar puas. “Beres. Tim terbentuk. Tinggal lo, To. Ayolah. Lo gak mau liat dunia luar? Lo gak bosen nulis soal mayat di Jakarta mulu?”

Aku menatap Martin. Lalu menatap iPad yang masih menampilkan foto rusa buram itu. Jujur? Aku bosan. Hidupku stagnan. Buku terakhirku penjualannya lesu. Pacarku baru saja minta putus karena aku “terlalu pesimis”.

Mungkin perjalanan ke ujung dunia adalah apa yang kubutuhkan. Mungkin udara dingin bisa membekukan hatiku yang rewel ini.

“Oke,” jawabku akhirnya. “Gue ikut. Tapi gue gak mau bawa keril. Gue cuma bawa laptop sama rokok.”

“Deal!” Martin bersorak. Dia menuangkan wine ke gelas kami.

Kami bersulang. Gelas kristal beradu. Ting.

Bunyi yang sama dengan lonceng kematian.

Saat itu, di apartemen mewah yang dingin oleh AC sentral itu, kami merasa seperti petualang yang akan menaklukkan dunia. Kami tidak tahu bahwa di seberang sana, di layar ponsel seorang gadis bernama Elisabeth, balasan DM Martin baru saja membuka kotak Pandora.

Dan Rusa itu... di dalam foto hitam putih yang buram itu... Aku bersumpah, kalau aku melihatnya lebih teliti waktu itu... Aku akan sadar bahwa matanya tidak menatap kamera. Matanya menatapku.



BAB 2: KOPI DARAT DI LEMBAH SILIKON

Dua hari kemudian. Di sebuah coffee shop di daerah Senopati yang namanya susah dieja dan kopinya seharga UMR harian buruh kasar.

Tempat ini adalah ekosistem habitat Martin. Dinding semen ekspos yang sengaja dibuat tidak rapi (estetika orang kaya yang ingin terlihat miskin), tanaman monstera di setiap sudut, dan lagu indie folk yang diputar dengan volume pas—cukup keras untuk terdengar estetik, cukup pelan untuk menguping pembicaraan meja sebelah tentang startup yang mau IPO.

Aku datang sepuluh menit lebih awal. Kebiasaan lama wartawan magang yang belum hilang. Tapi ternyata aku bukan yang pertama.

Di meja sudut dekat jendela, Alena sudah duduk. Dia terlihat kontras dengan pengunjung lain yang rata-rata memakai outfit “skena” Jakarta Selatan. Alena memakai kemeja batik formal, celana bahan, dan kacamata tebal. Laptopnya bukan MacBook berstiker Quotes, melainkan ThinkPad hitam tebal yang terlihat seperti bisa dipakai untuk memukul maling.

“Hai, Al,” sapaku sambil menarik kursi di depannya.

Alena mendongak. Matanya menyipit di balik lensa. “Oktonawa,” katanya datar. Tanpa senyum. “Penulis fiksi kriminal yang bukunya diskon lima puluh persen di Gramedia bulan lalu. Gue sempet liat di tumpukan obral.”

“Riset lo tajem juga,” balasku, pura-pura tidak tersinggung, meski ulu hatiku nyeri sedikit. “Dan lo Alena. Dosen Geologi yang katanya lebih galak dari ibu tiri Cinderella. Martin bilang mahasiswa lo sering nangis di toilet abis bimbingan.”

Alena mendengus. Sudut bibirnya naik sedikit. Hampir tersenyum. “Gue gak galak. Mahasiswa gue aja yang lembek. Generasi stroberi. Diteken dikit, bonyok.” Dia kembali mengetik di laptopnya. “Gue cuma punya waktu satu jam. Kalo si Martin telat lagi, gue cabut. Gue ada jadwal nguji sidang.”

“Dia yang punya acara, dia yang telat. Klasik Martin,” kataku sambil memesan Americano pada pelayan yang lewat.

Lima menit kemudian, pintu kafe terbuka. Lonceng di atas pintu berbunyi. Ting.

Bukan Martin yang masuk. Tapi sepasang muda-mudi.

Si perempuan—Elisabeth—memakai dress putih selutut dengan kardigan krem. Rambutnya hitam panjang, dibiarkan tergerai rapi. Tas Hermes kecil terselip di lengannya. Dia terlihat seperti putri keraton modern. Bersih. Wangi. Mahal.

Dan di sebelahnya, ada seorang laki-laki yang terlihat seperti... aksesori-nya. Dia memakai kemeja flanel kebesaran, celana kargo, dan kacamata bulat ala John Lennon. Rambutnya gondrong tanggung yang diikat asal. Dia membawa totebag kanvas bertuliskan nama band indie antah berantah.

Gestur tubuh mereka aneh. Si laki-laki membukakan pintu, tapi dia berjalan setengah langkah di belakang Elisabeth. Seperti ajudan. Atau mungkin, seperti hewan peliharaan yang patuh.

Elisabeth melihat ke arah meja kami. Lalu tersenyum. Senyum itu... merekah. Seperti iklan pasta gigi.

Dia berjalan mendekat. “Hai! Ini meja Kak Martin ya?” tanyanya ramah. Suaranya lembut, sopan.

Alena menatapnya dari atas ke bawah. Tatapan judgemental khas akademisi melihat sosialita. “Martin belum dateng. Lo siapa? Model yang mau ikut foto?”

Gadis itu tertawa kecil. Tidak tersinggung. “Bukan, Kak. Aku Elisabeth. Yang DM Kak Martin di Instagram. Katanya disuruh dateng ke sini buat ngomongin ekspedisi.”

Dia menoleh ke laki-laki di sebelahnya. “Oh iya, kenalin. Ini Rian. Pacar aku. Dia yang nganterin aku ke sini.”

Rian tersenyum canggung. Dia mengulurkan tangan, tapi gerakannya ragu-ragu. “Rian, Kak,” suaranya pelan. “Musisi.”

Aku menyalami tangan Rian. Tangannya lembap. Keringat dingin. Dia menatapku, lalu menatap Alena, lalu menatap sekeliling kafe yang mewah ini. Aku mengenali tatapan itu. Itu tatapan insecurity. Dia merasa kecil di sini. Dia merasa tidak pantas duduk di meja ini.

“Duduk,” kata Alena singkat.

Elisabeth duduk dengan anggun. Rian duduk di sebelahnya, tapi kursinya digeser sedikit ke belakang, seolah dia tidak ingin menghalangi cahaya yang menyinari Elisabeth.

“Kak Martin mana?” tanya Elisabeth.

“Biasa. Macet di ego-nya sendiri,” jawabku. “Jadi, Lis. Lo nemu IG Martin dari mana? Algoritma?”

“Oh, itu,” Elisabeth merapikan rambutnya. “Aku suka fotografi alam. Terus pas lagi scroll explore, muncul foto Kak Martin yang di Bromo. Tone warnanya bagus banget. Moody gitu. Terus aku komen, eh dibales. Terus kita jadi sering DM-an bahas lokasi foto.”

“Kak Martin humble banget ya orangnya,” tambah Rian tiba-tiba. Mencoba ikut dalam obrolan. “Padahal followers-nya banyak. Tapi mau balesin DM orang biasa kayak kita.”

Aku menahan tawa sinis. Martin bukan humble, Yan. Martin itu haus pujian. Dia akan membalas siapa saja yang memuja karyanya.

“Terus lo Oktonawa kan?” Elisabeth menoleh padaku. Matanya berbinar. “Kak Martin bilang ke aku. Dan Aku tau! Aku pernah liat buku Kakak di tag Best Seller AMAZON. Yang judulnya ‘The Blood Red Brush’, kan? Sumpah itu plot twist-nya keren banget. Aku gak nyangka pembunuhnya ternyata si naratornya sendiri.”

Aku terdiam. Buku itu terbit dua tahun lalu. Dan itu bukan best seller. Itu buku gagal yang cuma laku hanya sedikit. Tidak mungkin dia melihatnya di tag best seller kecuali dia hacker yang merubah angka di Platfrom sebesar Amazon. Anak ini... dia melakukan riset. Dia tahu cara membelai ego penulis gagal sepertiku.

“Makasih,” jawabku kaku.

Tepat saat itu, pintu terbuka lagi. Martin masuk dengan heboh, memakai kacamata hitam di dalam ruangan dan jaket kulit yang jelas terlalu panas untuk cuaca Jakarta.

“Wassup, Guys! Sorry telat! Macet parah di Antasari! Ada truk guling!” serunya lantang.

Dia langsung menuju meja kami. Matanya langsung tertuju pada Elisabeth. “Wah! Elisabeth ya? Asli lo lebih bening dari foto profil lo.”

Elisabeth tersipu. “Kak Martin bisa aja.”

Martin duduk, mengambil buku menu, dan benar-benar mengabaikan keberadaan Rian. Dia tidak menyapa Rian. Dia tidak melihat Rian. Bagi Martin, Rian hanyalah background noise. Ornamen kursi.

Rian bergerak gelisah di kursinya. Dia membetulkan letak kacamatanya. Wajahnya masam, tapi dia tidak berani protes.

“Udah kenalan kan? Sip. Gak usah basa-basi. To the point aja,” Martin meletakkan iPad-nya di meja. Menampilkan peta Skandinavia. “Rencana kita simpel. Terbang ke Oslo, sewa mobil, jalan ke utara sampe ke Lembah Tira. Di sana kita camping atau sewa kabin. Alena riset tanah, gue foto rusa, Okto ngelamun cari inspirasi. Dan Elisabeth...”

Martin menatap Elisabeth intens. “Lo yakin mau ikut? Ini bukan glamping di Sentul loh. Di sana dingin, becek, gak ada sinyal. Lo anak rumahan kayaknya. Sanggup?”

Sebelum Elisabeth menjawab, Rian menyela. “Itu dia, Kak. Aku sebenernya khawatir. Elisabeth kan gampang masuk angin. Fisiknya gak sekuat itu. Apa gak bahaya ya cewek sendiri?”

Martin akhirnya menoleh ke Rian. Menurunkan kacamata hitamnya sedikit. “Sori, bro. Lo siapa ya? Supirnya?”

Duar. Tembakan langsung ke ulu hati. Wajah Rian memerah padam. Telinganya seperti terbakar.

“Dia pacar aku, Kak,” Elisabeth menjawab cepat, tapi nadanya ringan. Dia menepuk tangan Rian pelan. “Rian emang protektif banget. Sweet sih, tapi kadang berlebihan.”

Dia menatap Rian. Senyumnya masih ada, tapi matanya... matanya menyuruh Rian diam. “Sayang, kan aku udah bilang. Aku butuh me time. Aku butuh inspirasi buat lukisan aku. Kamu kan juga mau tur ke Bandung sama band kamu. Kita sama-sama cari karya.”

“Tapi, Yang...” Rian mencoba membantah.

“Sssst,” Elisabeth meletakkan jarinya di bibir Rian. “Nanti aku bawain oleh-oleh batu kristal buat koleksi kamu. Oke?”

Rian terdiam. Dia menunduk. Kalah telak. Di depan Martin yang kaya dan Alena yang pintar, Rian merasa suaranya tidak berharga. Dia merasa kecil.

Elisabeth kembali menatap Martin. Dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tas Hermes-nya. “Aku udah cek, Kak. Tiket ke Oslo bulan depan lagi promo. Aku juga udah list perlengkapan. Tenda thermal, ransum, P3K. Terus aku juga udah cek visa. Kalau Kak Martin sama Kak Alena belum punya visa Schengen, aku bisa bantu urusin lewat kenalan papaku di kedutaan. Tiga hari jadi.”

Martin melongo. “Wow. Gue kira lo cuma modal tampang. Ternyata lo logistic wizard.”

“Aku serius, Kak,” Elisabeth tersenyum lagi. “Rasanya kayak... panggilan. Kayak ada yang nunggu di sana.”

“Panggilan?” tanya Alena skeptis.

“Iya. Kayak pulang kampung,” jawab Elisabeth pelan.

Aku memperhatikan interaksi mereka. Martin yang terpesona. Alena yang mulai respek. Dan Rian... Rian yang semakin tenggelam di kursinya, meremas tali totebag-nya.

Rian menatap Elisabeth dengan tatapan... takut kehilangan. Dia tahu Elisabeth jauh di atas liganya. Dan dia takut ekspedisi ini akan membuat Elisabeth sadar bahwa dia bisa mendapatkan yang lebih baik daripada musisi indie gagal.

Dan Martin? Martin menikmati dominasinya.

“Oke!” Martin menepuk meja. “Lo diterima, Lis! Selamat bergabung di Tim Ekspedisi Hore!”

Martin mengangkat gelas iced latte-nya. “Bersulang buat Rusa Cahaya!”

Alena dan Elisabeth mengangkat gelas. Aku mengangkat gelasku pelan. Rian? Dia tidak punya gelas. Dia tidak memesan apa-apa karena harga kopi di sini seratus ribu.

“Mas Okto?” panggil Elisabeth. “Gak ikut cheers?”

Aku menatap matanya. “Gue gak biasa ngerayain sesuatu yang belum kejadian,” jawabku.

Elisabeth tertawa kecil. Lalu, saat dia menurunkan gelasnya, aku melihat sekilas pantulan di kacamata hitam Martin yang tergeletak di meja.

Pantulan wajah Elisabeth. Di pantulan itu, dia sedang melihat ke arah Rian. Tatapan matanya bukan tatapan cinta. Itu tatapan seseorang yang melihat... cadangan makanan. Tatapan predator yang menyimpan mangsanya untuk dimakan nanti kalau lapar.

“Jadi,” kata Alena menutup laptopnya. “Kapan kita berangkat?”

“Tanggal 13,” jawab Elisabeth mantap. “Bulan mati. Langit paling gelap.”

Rian berdiri. “Aku tunggu di mobil ya, Yang.” Dia keluar. Tidak tahan lagi dengan atmosfer di meja ini.

Martin tertawa kecil setelah Rian pergi. “Pacar lo lucu, Lis. Insecure banget.”

Elisabeth tersenyum tipis. Menyesap kopinya. “Dia emang gitu, Kak. Butuh banyak reassurance. Butuh diisi terus. Kalau kosong dikit, dia goyah.”

“Butuh diisi”. Pemilihan kata yang aneh.

Saat itu aku tidak sadar. Tapi tiga bulan kemudian, saat aku melihat Rian dengan tangan melepuh di Cipete, aku baru paham. Elisabeth tidak mencari pacar. Dia mencari wadah yang kosong untuk diisi. Dan Rian... Rian adalah pot bunga yang sempurna.



BAB 3: TERMINAL PERPISAHAN

Terminal 3 Ultimate Soekarno-Hatta.

Tempat ini selalu mengingatkanku pada rumah sakit kelas VVIP. Dingin, steril, penuh dengan orang-orang yang menunggu nasib, dan bau kopi mahal yang bercampur dengan parfum duty-free.

Hari itu tanggal 13. Martin benar-benar menepati janjinya soal “Unlimited Budget”. Dia membelikan kami tiket Business Class Qatar Airways. “Biar kaki lo gak bengkak, To,” katanya saat menyerahkan boarding pass. “Gue butuh lo fresh di sana buat nulis jurnal perjalanan yang epik.”

Kami berkumpul di dekat check-in counter khusus kelas bisnis. Karpetnya empuk, antreannya sepi. Martin sibuk dengan kamera GoPro-nya yang dipasang di tongsis. “Halo, Guys! Hari ini The Expedition Team berangkat! Next Stop: Singapore then Oslo! Doain kita dapet jackpot ya!” serunya ke kamera, mengabaikan tatapan orang-orang yang lewat. Martin hidup di dunianya sendiri, di mana dia adalah tokoh utamanya.

Alena sibuk menimbang koper hardcase-nya yang berisi alat-alat geologi. “Kelebihan dua kilo,” gumamnya panik, keningnya berkerut. “Sial. Gue harus keluarin jaket cadangan. Martin, ini bagasi lo masih sisa banyak gak? Gue titip sampel tabung reaksi dong.”

“Boleh, masukin aja, Al. Asal jangan meledak,” sahut Martin santai.

Dan di pojokan, agak menjauh dari keriuhan kami, ada drama Korea versi anggaran rendah yang sedang berlangsung.

Elisabeth dan Rian.

Mereka berdiri di dekat pilar. Kontras visual mereka sangat mencolok. Elisabeth dengan coat krem panjang yang stylish dan koper Rimowa mengkilap. Rian dengan hoodie abu-abu kumal, celana kargo kedodoran, dan mata yang merah berair.

Aku mengamati mereka dari balik ponselku. Bukan mau menguping, tapi posisi berdiriku memang strategis.

“Kamu beneran gak bisa undur seminggu lagi, Yang?” Rian merengek. Suaranya kecil, getarannya menyedihkan. Dia memegang kedua tangan Elisabeth erat-erat, seolah takut gadis itu akan menguap jadi asap. “Minggu depan kan aku ulang tahun... masa aku tiup lilin sendiri?”

Elisabeth tersenyum. Senyum yang sabar. Sangat sabar. Seperti seorang ibu muda yang sedang membujuk balitanya agar tidak menangis saat ditinggal ke pasar.

“Gak bisa dong, Rian,” jawabnya lembut. Tangannya terulur, merapikan poni Rian yang berantakan. “Tiketnya kan udah dibeli Kak Martin. Mahal loh ini. Masa aku minta reschedule cuma gara-gara ulang tahun? Gak profesional dong.”

“Tapi aku bakal kangen banget...”

“Cuma dua minggu, Sayang. Bukan dua tahun. Kamu kan bisa latihan band. Fokus bikin lagu. Nanti pas aku pulang, kamu nyanyiin buat aku. Oke?”

Elisabeth mendominasi percakapan itu dengan mudah. Dia mengatur emosi Rian, memvalidasinya sedikit, lalu mengarahkannya agar tidak mengganggu rencananya. Itu bukan manipulasi jahat. Itu cuma... management. Dia manajer dalam hubungan ini.

Rian menunduk. Kalah lagi. Dia merogoh saku hoodie-nya. Mengeluarkan sesuatu. Sebuah gelang. Terbuat dari tali prusik hitam sederhana dengan bandul pick gitar plastik. Gelang buatan tangan. Khas anak indie Senopati.

“Ini buat kamu,” kata Rian, memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Elisabeth.

Gelang tali hitam itu melingkar di sebelah jam tangan Cartier emas Elisabeth. Benda itu terlihat sangat tidak pada tempatnya. Seperti menempelkan stiker timbul hadiah chiki di atas kap mobil Ferrari. Murahan, jelek, dan merusak pemandangan.

Elisabeth menatap gelang itu. Ada jeda sepersekian detik di matanya—kilatan penilaian. Dia tahu itu merusak estetika outfit-nya. Tapi kemudian, dia tersenyum manis.

“Makasih ya, Rian. Lucu banget,” katanya.

“Itu pick gitar kesayangan aku. Yang aku pake pas nulis lagu pertama buat kamu. Biar aku jagain kamu di sana.”

“Iya. Aku pake terus kok,” jawab Elisabeth. Dia mengangkat tangannya, menggoyangkan gelang itu sedikit. “Udah ya? Anak-anak udah mau masuk imigrasi. Gak enak ditungguin.”

Dia mencium pipi Rian sekilas. Ciuman cup-cup cepat. “Dah. Kamu pulang gih. Ati-ati di jalan. Kabarin kalo udah sampe kost.”

Elisabeth berbalik. Dia berjalan menuju kami dengan langkah ringan. Tas Hermes-nya berayun di lengan. Dia meninggalkan Rian yang masih berdiri mematung di sana, melambaikan tangan dengan lemah, air mata menetes di pipinya.

Saat Elisabeth sampai di sebelahku, dia menghela napas panjang. “Hah... akhirnya,” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.

“Berat ya perpisahan?” tanyaku iseng.

Elisabeth menoleh. Wajahnya cerah, penuh semangat. Tidak ada jejak kesedihan. “Bukan berat pisahnya, Mas. Berat dramanya,” dia tertawa kecil. Renyah. Polos. “Rian tuh emang gitu. Clingy banget. Kalau diturutin terus, aku gak bakal ke mana-mana. Sekali-kali dia harus belajar mandiri.”

Dia menatap gelang tali hitam di tangannya. Dia tidak membuangnya. Dia memutarnya sedikit agar bandul pick gitarnya tidak nyangkut di lengan bajunya. “Jelek banget sebenernya ya, Mas?” tanyanya sambil nyengir. “Tapi yaudahlah, kasian kalau gak dipake.”

Aku tertawa. “Lumayan. Ada sentuhan grunge dikit.”

“Yuk, Mas! Kak Martin udah jalan tuh!”

Elisabeth berjalan mendahului aku. Dia terlihat bahagia. Dia terlihat seperti gadis muda normal yang tidak sabar ingin melihat salju, melihat rusa, dan merasakan petualangan. Dia murni. Dia bersemangat.

Aku menoleh ke belakang sekilas. Ke arah Rian yang masih berdiri di balik pembatas kaca pengantar. Dia terlihat kecil. Dia terlihat... hampa.

Saat itu, aku merasa kasihan padanya. Aku pikir Rian adalah pihak yang kalah karena ditinggalkan. Aku tidak tahu bahwa nasib Rian justru lebih baik saat itu. Dia aman di Jakarta dengan kesedihannya yang sederhana.

Sementara Elisabeth? Gadis polos yang berjalan riang di depanku ini sedang berjalan menuju sesuatu yang akan mengubahnya selamanya. Dia tidak tahu bahwa gelang tali hitam itu mungkin adalah benda terakhir yang mengikatnya pada kemanusiaan.

“Ayo, To! Jangan ngelamun!” teriak Martin dari depan pintu pemeriksaan.

“Iya, bawel,” gumamku.

Aku menyusul mereka. Paspor dicap. Bumm.

Kami resmi meninggalkan Indonesia. Meninggalkan Rian. Dan berjalan menuju takdir yang sudah menunggu di balik kabut utara.



BAB 4: ALARM DARI NERAKA

Perhatian penumpang, kita akan segera mendarat...

Suara pengumuman di bandara itu bergema dalam mimpiku. Berulang-ulang. Tapi nadanya makin lama makin rendah. Makin berat. Hingga akhirnya suara itu bukan lagi suara manusia, melainkan suara dengungan listrik statis.

Ngiiiing...

Mimpi tentang bandara yang dingin itu pecah berantakan.

Aku tersentak bangun. Napasku tertahan di tenggorokan, seolah-olah aku baru saja ditarik paksa dari dasar kolam es. Jantungku memukul-mukul rusuk dengan panik.

Tidak. Jelas itu bukan mimpi. Itu adalah kilas balik memori otakku.

Mataku terbuka lebar, menatap langit-langit apartemen yang gelap.

Bukan langit Oslo. Bukan langit bandara Soekarno-Hatta. Ini langit-langit gypsum mewah apartemen Martin di Senopati.

Aku duduk tegak di sofa, keringat dingin membasahi punggungku. AC sentral apartemen ini disetel di suhu 18 derajat, tapi rasanya seperti berada di dalam oven.

“Hah... hah...”

Aku meraba wajahku. Masih utuh. Tidak ada es, tidak ada kabut. Aku melihat ke sekeliling. Ruangan ini sunyi. Gelap. Hanya diterangi oleh lampu indikator TV dan cahaya kota Jakarta yang masuk samar-samar dari jendela besar.

Di sofa seberang, Martin masih tertidur. Posisinya tidak berubah sejak tiga jam yang lalu. Mulutnya sedikit terbuka, mendengkur halus. Dia tidur nyenyak sekali. Tidur orang kaya yang tidak punya beban. Egonya adalah benteng yang begitu tebal sampai-sampai mimpi buruk pun tidak muat masuk ke kepalanya.

Tapi aku tidak bangun karena mimpi buruk. Tubuhku bukan alarm jam. Tubuhku adalah radar.

Aku menunduk melihat tangan kananku. Di sana, di dalam kegelapan ruang tengah itu, perban yang membalut jariku tidak bisa menyembunyikan apa pun.

Cahaya itu menyala. Terang. Jauh lebih terang dari sebelumnya.

Bip... Bip... Bip...

Denyutannya cepat. Panik. Agresif. Warnanya biru elektrik yang menyakitkan mata. Cahaya itu menembus pori-pori perban, memantul di meja kaca, menciptakan bayangan hantu yang berkedip di dinding.

Rasanya panas. Seperti ada besi solder yang ditanam di bawah kulitku. Ini bukan sekadar denyutan “halo”. Ini adalah respons.

Cahaya di tanganku bereaksi terhadap sesuatu. Atau seseorang. Sama seperti anjing yang melolong sebelum gempa bumi, parasit di tanganku ini tahu ada lonjakan energi besar di dekat sini. Energi yang kacau.

Tiba-tiba, ponselku yang tergeletak di meja bergetar panjang. Layarnya menyala, membelah kegelapan.

Bukan panggilan telepon. Itu notifikasi WhatsApp Group.

Grup lama kami yang sudah jadi kuburan digital. “Ekspedisi Hore Skandinavia”

Jantungku berdegup kencang. Siapa yang mengirim pesan jam empat pagi? Martin sedang tidur di depanku. Elisabeth sudah keluar grup.

Tinggal satu nama. Alena.

Aku ingat di bar tadi, status Alena sempat Typing... lama sekali, lalu mati. Aku pikir dia batal mengirim pesan. Ternyata, dia tidak sanggup mengetik. Notifikasi itu muncul sekarang. Sebuah Voice Note.

Jari-jarinya pasti sudah tidak berfungsi saat itu. Jari-jari yang biasanya lincah memegang pipet dan pena, mungkin sudah kaku atau... melepuh. Jadi dia merekam suara terakhirnya.

Status VN itu aneh. Tidak ada durasi yang jelas, barnya berkedip-kedip glitch. Dan statusnya: Forwarded many times. Diteruskan berkali-kali? Ke mana? Ke siapa? Atau... sistem WhatsApp sedang bingung membaca frekuensi suara yang bukan berasal dari pita suara manusia?Aku melirik Martin sebentar. Dengkurannya masih stabil. Dia tidak mendengar notifikasi itu. Aku mengecilkan volume, lalu mendekatkan speaker ke telinga. Menekan tombol Play.

Detik 1-5: Suara gemerisik kasar. Seperti seseorang yang menjatuhkan HP ke meja yang penuh barang pecah belah. Prang! Klontang! Suara gelas ukur pecah? Mikroskop jatuh?

Detik 6-10: Suara napas. Berat. Basah. Seperti orang asma yang paru-parunya penuh cairan.

Lalu di detik ke-11, suara Alena muncul. Tapi bukan suara dosen galak yang kukenal. Suaranya bergetar hebat, diselingi rintihan menahan sakit. Dan dia tidak memanggilku. Dia memanggil teman lamanya.

“Martin... Martin, angkat telepon gue...”

Suaranya pecah, berubah jadi batuk basah.

“Lo salah, Tin... datanya salah... ini bukan mineral... ini frekuensi... alat gue meledak... mata gue... arghhh!”

Suara teriakan tertahan. Seperti seseorang yang mencoba mencongkel sesuatu dari wajahnya sendiri.

“Cahayanya gak mau masuk... dia marah... dia membakar... tolong gue, Tin... panas...”

Klik. Audio berhenti.

Aku melempar ponselku ke sofa seolah benda itu baru saja menyengatku. Hening.

Hanya ada suara dengkuran Martin yang damai.

Alena meminta tolong pada Martin. Pada logika yang dia percaya. Pada teman lamanya. Tapi Martin tidur. Martin tidak mendengar. Martin kebal.

Hanya aku yang mendengar. Hanya si “penulis pembual” ini yang mendengar detik-detik runtuhnya logika seorang ilmuwan.

Tanganku yang bercahaya berdenyut sakit sekali. Nyut! Seolah-olah dia ikut merayakan kemenangan atas logika Alena yang hancur.

Aku menatap Martin dengan nanar. Masa lalu yang indah di bandara tadi sudah hilang tak berbekas. Elisabeth yang polos sudah mati. Rian yang cengeng sudah menjadi monster.

Dan Alena... Sains baru saja kalah. Dan dia baru saja mengirimkan sinyal SOS terakhir sebelum sinyalnya padam selamanya.

Aku berdiri. Berjalan ke jendela. Menatap Jakarta di bawah sana. Fajar belum datang. Langit masih hitam pekat.

Aku harus menemukannya. Sekarang. Sebelum dia benar-benar hangus terbakar oleh penolakannya sendiri.

TO BE CONTINUED

Lanjut ke Episode 4...

Dibaca 0 kali