The Light That Guards the Valley - Episode 2: The Placebo

SEASON 1 - EPISODE 2

THE PLACEBO

"Rasanya seperti dimaafkan oleh seseorang yang pernah kau sakiti seumur hidupmu."

...

BAB 1: FREKUENSI GANJIL

Tangan kananku berdenyut lagi.

Bukan rasa sakit. Jika ini rasa sakit, aku bisa menelannya. Aku punya toleransi tinggi terhadap nyeri fisik. Dulu, aku pernah menjahit lukaku sendiri saat jatuh dari motor karena malas ke puskesmas. Sakit itu valid. Sakit itu nyata. Sakit memberitahumu bahwa kau masih hidup dan tubuhmu sedang berjuang mempertahankan integritasnya.

Tapi ini bukan sakit. Ini jauh lebih buruk. Rasanya enak.

Rasanya seperti baru saja dicelupkan ke dalam air hangat bersuhu empat puluh derajat setelah seharian kedinginan di bawah hujan badai. Rasanya seperti dimaafkan oleh seseorang yang pernah kau sakiti seumur hidupmu. Rasanya seperti pulang ke rumah yang tidak pernah kau miliki.

Dan aku membencinya setengah mati.

Aku duduk di balkon apartemen lantai 15 di Kalibata City. Unit studio sempit yang kusewa dengan harga teman dari seorang kawan lama yang bangkrut main kripto. Di bawah sana, Jakarta sedang memamerkan wajah aslinya. Lautan lampu merah dan kuning yang merayap lambat. Klakson bersahutan seperti orkestra orang-orang stres. Asap knalpot mengepul, naik ke atas, bercampur dengan udara lembap yang membuat baju lengket.

Kekacauan yang indah.

Aku menghirup udara kotor itu dalam-dalam. Aku butuh polusi ini. Aku butuh kekasaran ini untuk melawan “kesucian” palsu yang menjalar di tanganku.

Aku menatap sela-sela jari manis dan kelingking tangan kananku. Di sana, di bawah lapisan epidermis yang tipis, ada garis itu. Warnanya biru. Electric blue. Bukan biru langit siang hari, tapi biru reaktor nuklir yang bocor. Biru steril rumah sakit masa depan.

Bip. Bip.

Berkedip pelan. Seirama dengan detak jantungku. Atau mungkin, jantungkulah yang sekarang dipaksa mengikuti iramanya.

“Diem lo, anjing,” desisku pada tanganku sendiri.

Suaraku parau. Tenggorokanku kering karena terlalu banyak merokok dan kurang minum air putih. Tapi aku tidak peduli. Aku mengambil plester luka dari meja. Plester kain cokelat yang tebal. Aku melilitkannya ke jari manis dan kelingking. Satu lapis. Dua lapis. Tiga lapis.

Selesai. Secara visual, cahayanya tertutup. Tapi persepsinya tidak hilang.

Meski mataku tidak melihatnya, otakku tahu dia ada di sana. Cahaya ini tidak hanya memancarkan foton. Dia memancarkan frekuensi. Dengungan rendah yang konstan. Seperti suara kulkas tua di malam hari, tapi nadanya ada di dalam kepala.

Ngiing...

Sebenarnya, tanda-tanda itu sudah ada sejak lama. Jauh sebelum aku melihat garis biru ini di kamar mandi kafe Cikini sore itu.

Aku ingat minggu pertama setelah kami pulang dari Skandinavia. Aku tidur di apartemen lamaku. AC mati karena token listrik habis. Jakarta sedang panas-panasnya, suhu mencapai 34 derajat di malam hari. Tapi aku terbangun menggigil. Bukan menggigil demam. Menggigil kedinginan yang menusuk tulang.

Dalam mimpi itu, aku tidak melihat Rusa. Aku melihat diriku sendiri. Aku berdiri di tengah lapangan salju yang luas. Tapi saljunya bukan air beku. Saljunya adalah abu. Abu putih sisa pembakaran. Dan aku sedang memakannya. Aku menyendok abu itu ke mulutku, lagi dan lagi. Rasanya manis. Seperti susu kental manis yang basi.

“Enak, Mas?” tanya suara Elisabeth di mimpi itu. Dia tidak ada di sana, tapi suaranya datang dari dalam perutku sendiri.

Aku terbangun dengan mulut terasa manis. Rasa manis kimiawi yang tidak mau hilang walau aku sudah sikat gigi tiga kali. Waktu itu aku pikir itu cuma efek samping obat tidur. Aku menyangkal. Aku penulis fiksi, aku jago mengarang alasan.

Lalu kejadian di KRL dua minggu lalu. Aku berdiri berdesakan di gerbong jam pulang kerja. Bau keringat, bau parfum murah, bau kelelahan. Tiba-tiba, seorang bapak tua di depanku—yang terlihat sangat lelah, memegang tas kerja yang kulitnya mengelupas—menoleh padaku. Matanya kosong. Tapi saat dia menatapku, dia tersenyum. Senyum yang damai sekali. Dan aku merasakan “aliran” aneh dari dadaku ke dia. Seperti ada kabel USB yang tercolok. Rasa capek bapak itu hilang seketika, digantikan oleh wajah segar yang aneh. Sementara aku? Aku mendadak lemas sampai hampir pingsan.

Aku menyedot rasa sakitnya. Atau mungkin, aku menularkan kekebasanku padanya. Aku turun di stasiun berikutnya, muntah di tempat sampah.

Sekarang aku tahu. Itu bukan kebetulan. Itu uji coba. Dia sedang memeriksa sistem. Memastikan kabel-kabel di tubuhku tersambung sebelum dialiri tegangan tinggi.

Ngiing...

Suara itu makin keras. Mereka memanggil. Mereka menawarkan kedamaian. Mereka berbisik bahwa aku tidak perlu lagi menulis cerita-cerita gelap tentang pembunuhan dan trauma. Mereka bilang aku bisa menulis tentang pelangi dan padang rumput abadi. Tawaran yang menggiurkan bagi orang depresi. Tapi bagi penulis thriller? Itu adalah kematian karier. Tanpa konflik, aku tidak punya cerita. Tanpa rasa sakit, aku cuma halaman kosong.

Jadi aku melawan. Setiap kali rasa hangat itu menjalar naik ke pergelangan tangan, aku membalasnya dengan ingatan buruk. Aku mengingat hari pemakaman ayahku. Aku mengingat tagihan kartu kredit yang menumpuk. Aku mengingat wajah Alena yang sombong saat merendahkan profesiku. Aku mengingat betapa muaknya aku pada kemacetan Jakarta.

Dan itu berhasil. Cahaya itu meredup sedikit. Mundur. Ketakutan pada negativitasku. Aku adalah antibodi yang terbuat dari sinisme murni.

Ponselku yang tergeletak di atas meja bundar bergetar hebat. Layarnya menyala, menampilkan nama yang paling malas kulihat saat ini.

Martin (National Geographic KW)

Aku membiarkannya bergetar tiga kali. Menimbang-nimbang. Apakah aku butuh asupan ego orang lain malam ini? Mungkin ya. Mungkin kekonyolan Martin bisa menjadi distraksi yang bagus. Martin adalah obat paling ampuh buat penyakit “terlalu banyak mikir”. Dia jarang mikir soalnya.

Aku menggeser tombol hijau.

“Halo, Tin. Ngapain nelpon malem-malem? Kangen lo sama gue?” sapaku datar, berusaha terdengar senormal mungkin.

Suara bising langsung menyerbu telingaku. Dentuman bass yang berat. Suara gelas beradu. Tawa-tawa melengking wanita. Martin pasti sedang berada di habitat aslinya: Tempat di mana harga satu botol minuman bisa buat bayar kosan tiga bulan.

“Najis,” teriak Martin di seberang sana, berusaha mengalahkan suara musik EDM. “Gue cuma mau pamer, To! Lo harus tau! Foto pameran gue laku keras, anjir! Ada kolektor bule, tua banget orangnya, dia mau beli seri hutan berkabut itu seratus juta! Seratus juta, Man! Gila gak gue?”

Aku menyalakan rokok. Menghisapnya dalam-dalam. Seratus juta untuk foto hutan kosong yang sebenarnya berisi monster tak kasat mata. Ironi ini rasanya lezat sekali. Kolektor itu bukan membeli seni. Dia membeli bukti tempat kejadian perkara.

“Gila lo emang,” jawabku. “Selamat ya. Jangan lupa sedekah biar gak kualat. Duit panas tuh. Diambil dari tempat setan.”

“Panas apaan! Ini art, To! Art!” Martin tertawa. Tawanya lepas. Bebas. Tidak ada beban.

Itulah kenapa Martin selamat. Egonya adalah benteng. Dia terlalu mencintai dirinya sendiri, sehingga tidak ada ruang bagi entitas lain untuk masuk. Cahaya itu akan terpeleset dari permukaan jiwa Martin yang licin dan berminyak.

“Eh, lo di mana? Sini gabung ke SCBD. Gue traktir sampe pagi. Ada cewek-cewek cakep nih, temennya Elisabeth katanya. Model semua.”

Jantungku berhenti satu ketukan mendengar nama itu. Asap rokok tertahan di paru-paru.

“Elisabeth di situ?” tanyaku cepat. Nada bicaraku berubah tajam.

“Kagak. Dia mah gak asik sekarang,” jawab Martin dengan nada mencibir. “Dia sibuk pacaran kali. Si Rian, cowoknya yang musisi indie itu, kemaren nge-chat gue nanyain Elisabeth. Katanya si Lis berubah banget sejak balik dari Skandinavia.”

“Berubah gimana?” Aku mencecar. Firasatku mulai bekerja. Alarm bahaya di kepalaku berbunyi nyaring, mengalahkan dengungan di telinga.

“Makin sayang katanya. Makin perhatian. Dulu kan si Elisabeth agak cuek ya, si Rian yang ngejar-ngejar. Sekarang kebalik. Elisabeth nempel mulu. Katanya Rian gak boleh sendirian. Cih, bucin. Norak.”

Otakku berputar cepat. Menganalisis informasi itu seperti detektif yang menemukan sidik jari di TKP.

Rian. Aku tahu Rian. Kami pernah bertemu beberapa kali di acara komunitas seni. Dia adalah definisi dari stereotip “Softboy Senopati”. Rambut gondrong tanggung, kacamata bulat, selalu bawa gitar akustik, dan feeds Instagram-nya isinya kutipan puisi sedih dengan filter hitam putih. Rian adalah tipe orang yang butuh validasi konstan. Dia tipe yang akan membuat lagu tentang betapa sepinya hidup ini padahal dia punya seribu followers.

Dia kosong. Dia punya lubang besar di dadanya yang dia sebut “seni”, padahal itu cuma rasa tidak aman. insecurit.

Target empuk. Makanan siap saji buat Elisabeth.

Kalau Elisabeth “makin sayang” sama Rian, itu bukan cinta. Itu kolonisasi. Itu invasi.

Elisabeth sedang menanam benih. Dia butuh letnan. Dia butuh seseorang yang punya pengaruh, tapi jiwanya lembek. Dan jika Rian sudah terinfeksi, artinya Jakarta sudah punya Pasien Nomor Dua.

“Tin,” potongku, mengabaikan ocehan Martin soal harga whisky. “Rian tinggal di mana sekarang? Masih di Cipete?”

“Mana gue tau. Kenapa lo nanyain Rian? Lo mau nikung? Wah, parah lo, To. Tikung temen sendiri.”

“Gue serius, setan. Gue butuh ngomong sama dia soal... royalti foto. Kan ada muka dia dikit di salah satu foto dokumentasi lo yang dulu.”

Bohong. Rian bahkan tidak ikut ke Skandinavia. Tapi Martin terlalu mabuk dan terlalu narsistik untuk mengingat detail kecil. Dia hanya peduli kalau fotonya laku. Kebohongan kecil untuk menyelamatkan nyawa orang bodoh.

“Ah elah. Ribet lo. Ganggu party gue aja,” gerutu Martin. “Bentar gue cek history chat gue. Dia pernah shareloc pas mau pinjem lensa.”

Hening sejenak. Aku mendengar Martin bicara pada seseorang di sana—mungkin salah satu model itu—dengan nada menggoda. Lalu bunyi ting masuk ke WhatsApp-ku.

Sebuah titik lokasi. Jalan Damai, Cipete Selatan.

“Udah tuh. Tapi lo ke sini dulu dong abis itu! Jangan jadi introvert mulu!”

“Liat nanti,” jawabku singkat.

Aku mematikan telepon. Melempar ponsel ke kasur.

Aku berdiri. Mematikan rokok di asbak yang sudah penuh puntung. Tanganku berdenyut lagi. Kali ini lebih kencang. Ngiing-nya berubah nada. Menjadi lebih tinggi. Seolah-olah tangan ini tahu aku akan pergi menemui saudaranya. Seolah-olah dia bersemangat untuk reuni.

Aku mengambil jaket denim hitamku. Memakai helm full-face. Aku menatap cermin di dekat pintu keluar. Mata itu menatap balik. Mata yang lelah, ada lingkaran hitam di bawahnya. Tapi di kedalamannya, ada kilat kecil yang bukan berasal dari lampu ruangan.

“Ayo kita kerja,” bisikku pada bayanganku sendiri.

Aku keluar dari unit apartemen. Lorong Kalibata City sepi dan berbau pembersih lantai murahan. Lampu lorong berkedip sekali saat aku lewat. Lift turun dengan lambat. Di dalam lift, ada seorang bapak tua yang membawa kantong kresek Indomaret. Dia menatap tanganku yang diperban.

“Sakit, Mas?” tanyanya ramah. Basa-basi khas orang Indonesia.

Aku menatap plester di tanganku. Di baliknya, kulitku terasa panas membara. Berteriak minta dilepas.

“Enggak, Pak,” jawabku sambil tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai mata. Senyum seorang pembohong profesional. “Lagi masa penyembuhan.”

Penyembuhan. Kata yang lucu. Elisabeth berpikir dia sedang menyembuhkan dunia. Aku berpikir aku sedang menyembuhkan diri dari kewarasan.

Pintu lift terbuka di lantai dasar. Udara panas Jakarta langsung menampar wajah. Aku berjalan menuju parkiran motor. Malam ini panjang. Dan aku punya firasat, ini akan menjadi malam pertama di mana aku tidak lagi menjadi penonton.

Malam ini, penulis turun tangan untuk mengedit naskah. Sebelum ceritanya berubah menjadi tragedi romantis yang memuakkan.


BAB 2: RUMAH KACA

Cipete, Jakarta Selatan. Pukul 23.00.

Jalan Damai. Nama yang ironis untuk tempat kejadian perkara malam ini.

Jalanan ini kecil, hanya muat dua mobil yang berpapasan dengan canggung. Kiri kanannya dipenuhi rumah-rumah mewah berpagar tinggi dan kafe-kafe hidden gem yang menjual kopi seharga makan siang buruh.

Aku memarkir motor di depan sebuah gerbang kayu rendah yang catnya mulai mengelupas. Berdasarkan titik lokasi yang dikirim Martin, ini tempatnya. Sebuah paviliun kontrakan yang menyempil di antara dua rumah gedongan. Tipikal tempat tinggal musisi indie yang ingin terlihat down-to-earth tapi tetap butuh akses cepat ke keriaan Senopati.

Suasananya sepi. Terlalu sepi. Biasanya jam segini, suara knalpot motor atau musik sayup-sayup dari kafe terdekat masih terdengar. Tapi di radius sepuluh meter dari paviliun ini, suaranya mati. Seperti ada kubah kedap suara yang menaungi tempat ini.

Aku melepas helm. Menggantungnya di spion. Tanganku di dalam saku jaket berdenyut makin kencang. Panas. Rasanya seperti menggenggam batu bara yang sedang membara.

Aku melangkah masuk ke halaman kecil. Hal pertama yang kusadari adalah tanamannya. Rian terkenal hobi mengoleksi tanaman hias—Monstera, Janda Bolong, Lidah Mertua. Tapi dia juga terkenal sebagai “pembunuh tanaman” berdarah dingin karena sering lupa menyiram. Tanaman di kontrakannya biasanya lebih mirip spesimen herbarium kering.

Namun malam ini, tanaman-tanaman di teras itu... tegak.

Daun monsteranya hijau pekat, mengkilap seolah baru dipoles minyak kelapa. Lidah mertuanya berdiri kaku seperti tentara yang sedang apel pagi. Dan ada lumut-lumut halus yang tumbuh di pot tanah liat, memancarkan pendaran samar. Mereka tidak cuma hidup. Mereka overdosis kehidupan. Energi di tempat ini terlalu padat, tumpah ruah sampai ke klorofil tanaman.

“Yan? Rian?” panggilku.

Tidak ada jawaban. Pintu depan sedikit terbuka. Berderit pelan ditiup angin malam yang mendadak terasa dingin, kontras dengan udara Jakarta yang gerah.

Bau itu langsung menyergapku begitu aku menginjakkan kaki di teras. Bukan bau rokok. Bukan bau apek khas kamar bujangan. Bau melati. Tapi bukan melati segar. Ini bau bunga melati yang sudah direndam gula selama sebulan. Manis, pekat, dan ada sedikit aroma... busuk. Aroma daging yang mulai rusak tapi ditutupi parfum mahal.

“Masuk aja... pintunya gak dikunci kok...”

Suara Rian terdengar dari dalam. Lembut. Terlalu sopan. Terlalu tenang.

Aku mendorong pintu kayu itu. Engselnya tidak berbunyi. Ruang tengahnya gelap gulita. Tidak ada lampu yang dinyalakan. Tirai jendela tertutup rapat.

Tapi ruangan itu tidak gelap. Ada cahaya biru yang menerangi sudut ruangan. Cahaya itu berasal dari sosok yang duduk di sofa bean bag di pojok.

Itu Rian.

Dia bertelanjang dada. Hanya memakai celana pendek kolor. Dia duduk bersila, memetik gitar akustiknya. Tapi tidak ada suara yang keluar. Dia hanya memetik udara di atas senar. Jari-jarinya menari dalam keheningan total.

“Yan...” suaraku tercekat.

Rian berhenti memetik. Dia mengangkat wajahnya pelan. Gerakannya patah-patah tapi smooth. Seperti video game yang berjalan di 60fps sementara dunia nyata cuma 30fps. Ada lag di antara niat dan gerakannya.

“Hai, Mas Okto,” sapanya. “Elisabeth bilang Mas Okto bakal dateng. Katanya Mas Okto kangen.”

Aku berdiri mematung di ambang pintu, menahan napas. Seluruh lengan kiri Rian, lehernya, sampai sebagian wajah kirinya, dipenuhi urat-urat biru neon yang bercahaya terang. Polanya fraktal, bercabang-cabang seperti akar pohon listrik yang menembus kulit. Dia sendiri lampunya.

“Lo... lo kenapa, Yan?” tanyaku bodoh. Pertanyaan retoris. Aku tahu jawabannya. Aku cuma butuh konfirmasi visual untuk meyakinkan diriku bahwa aku tidak gila sendirian.

Rian tersenyum lebar. Senyum itu merobek wajahnya yang dulu selalu murung. “Aku sembuh, Mas.”

Dia meletakkan gitarnya. Berdiri. Cahaya di tubuhnya menerangi ruangan suram itu menjadi biru laut. Bayangannya di dinding terlihat panjang dan menari-nari, seolah punya nyawa sendiri.

“Sembuh dari apa?” tanyaku, mundur selangkah. Tanganku meraba saku belakang celana. Mencari pulpen besi yang selalu kubawa. Senjata improvisasi yang menyedihkan.

“Dari sepi,” jawabnya. Matanya... Tuhan, matanya sudah hilang. Hitam total. Sklera putihnya lenyap, digantikan oleh kekosongan yang menyerap cahaya. “Selama ini aku ngerasa kurang, Mas. Aku ngerasa gak pantes buat Elisabeth. Aku ngerasa musikku jelek. Aku ngerasa kosong melompong. Mas Okto tau kan rasanya? Nulis cerita tapi gak ada yang baca?”

Dia melangkah maju. Lantai kayu tidak berbunyi di bawah kakinya.

“Tapi Elisabeth ngasih ini. Dia bilang ini ‘Placebo’ buat jiwa. Tapi ternyata ini obat beneran. Sekarang sepi itu ilang. Rame di sini.” Dia menunjuk kepalanya dengan telunjuk yang ujungnya bersinar. “Kita semua nyanyi bareng. Harmoninya indah banget.”

Kita. Kata ganti jamak untuk tubuh tunggal. Tanda-tanda Hive Mind. Individualitas Rian sudah dihapus, diganti dengan kesadaran kolektif.

“Lo diinfeksi, Yan. Itu parasit,” kataku tajam, berusaha memecah trans-nya. “Itu bukan obat. Itu virus. Lo cuma jadi inang buat Elisabeth.”

Rian menggeleng pelan. Wajahnya sedih, seperti melihat anak kecil yang tidak paham matematika dasar. “Parasit itu ngambil, Mas. Ini ngasih. Liat aku. Aku kuat. Aku gak butuh tidur lagi. Aku gak butuh validasi dari likes Instagram lagi. Aku utuh.”

Dia makin dekat. Hawa dingin menguar dari tubuhnya. Dingin yang sama dengan dingin Skandinavia. Uap napas keluar dari mulutnya, padahal ini Jakarta.

“Mas Okto juga punya kan?” Rian memiringkan kepalanya, menatapku lekat. “Aku bisa denger dengingnya. Ngiiiing... Tapi kok punya Mas Okto bunyinya sember? Kayak radio rusak. Kayak sinyal yang jamming. Berisik banget.”

Dia menatap saku jaketku, tempat aku menyembunyikan tanganku yang diperban.

“Sini, Mas. Biar aku benerin frekuensinya. Biar kita satu nada. Elisabeth pasti seneng kalau kita nyanyi bareng. Dia sayang sama Mas Okto. Katanya Mas Okto itu backup yang spesial.”

Rian menerjang. Bukan serangan mematikan layaknya monster di film aksi. Dia tidak memukul. Dia mencoba memelukku. Pelukan persaudaraan yang dipaksakan. Pelukan asimilasi.

“LEPAS!” teriakku.

Refleksku bekerja, tapi bukan untuk mengambil senjata. Saat Rian mencoba memelukku, aku merasakan gelombang "kedamaian" yang mematikan itu hendak menelan egoku. Rasanya seperti mau tenggelam di lautan sirup yang lengket.

Jiwaku memberontak. Sinisku, traumaku, dan kebencianku berteriak menolak "kesembuhan" palsu itu. Dan tangan kananku merespon amarah itu.

NOISE. Bukan pukulan fisik. Aku menampar lengan Rian dengan telapak tanganku yang terbuka lebar. Saat kulit kami bersentuhan, tidak ada suara plak. Yang ada adalah suara jeritan frekuensi yang saling membunuh.

KRRRAAAK!

Seperti suara mikrofon yang didekatkan ke speaker sampai menjerit feedback. Cahaya biru Rian yang harmonis bertabrakan dengan cahaya biruku yang rusak.

“AAAARGHH!”

Rian menjerit. Bukan jeritan marah. Itu jeritan kesakitan murni. Jeritan seseorang yang jiwanya baru saja dicabut paksa.

Dia terpental mundur, jatuh berguling ke sofa, menabrak meja kopi sampai gelas-gelas pecah. Dia memegangi lengan kirinya yang tadi kusentuh.

Aku terbelalak melihatnya. Cahaya biru di lengan Rian padam total di bagian bekas tamparanku. Kulitnya melepuh hitam, berasap, dan berbau hangus. Urat-urat bercahaya di sekitar luka itu berkedip panik, chaos, tidak beraturan. Seperti lampu natal yang konslet.

Rian menangis. Dia meringkuk seperti janin. Air matanya keluar, tapi warnanya bening, bukan biru. Dia kembali menjadi manusia sejenak. “Sakit... sakit... kok sepi lagi? Kok suaranya ilang? JANGAN ILANG! JANGAN TINGGALIN AKU!”

Dia mencakar-cakar lukanya sendiri, mencoba menyalakan kembali cahayanya yang mati. Dia tidak peduli pada luka bakarnya. Dia panik karena koneksi-nya terputus di area itu. Dia panik karena di titik itu, dia kembali merasakan kehampaan yang selama ini dia hindari.

Aku menatap tangan kananku. Plester lukaku hangus terbakar. Asap tipis keluar dari sela-sela jariku. Tanganku tidak sakit. Justru... tanganku terasa puas. Berdenyut nikmat. Seperti baru saja makan kenyang.

Ini bukan sekadar infeksi gagal. Ini antibodi. Ini firewall.

Kekacauan pikiranku, sinisku, kebencianku, traumaku... itu semua adalah racun bagi mereka. Cahaya mereka butuh ketenangan dan kepasrahan mutlak untuk mengalir. Cahayaku adalah chaos, penolakan, dan ego yang retak. Aku adalah glitch di dalam sistem operasi mereka yang sempurna.

Saat aku menyentuhnya, aku tidak menyalurkan cahaya. Aku menyalurkan noise. Aku menyalurkan keraguan. Dan bagi makhluk yang terbuat dari kepastian mutlak, keraguan adalah asam sulfat.

“Pergi...” desis Rian di antara isak tangisnya. Matanya berkedip liar, kadang hitam total, kadang cokelat normal. Dia sedang glitch. Sistemnya crash. “Pergi, Mas... kamu ngerusak lagunya... suaranya jadi jelek... pergi...”

Aku mundur perlahan. Napasku memburu. Jantungku berdetak gila-gilaan.

Aku baru saja menemukan senjataku. Tapi aku juga baru saja menyadari hal yang jauh lebih mengerikan.

Rian tidak diserang. Dia tidak diperkosa oleh alien ini. Dia menerima cahaya itu dengan sukarela. Dia menyerahkan kemanusiaannya demi rasa nyaman. Demi rasa diterima. Dan saat aku memutus koneksinya, dia tidak berterima kasih. Dia marah. Dia merasa seolah aku baru saja membunuh Tuhannya.

Aku berbalik dan lari. Aku lari keluar dari paviliun itu, menyambar helmku.

Di belakangku, aku mendengar Rian mulai bernyanyi lagi. Suaranya sumbang, pecah, dan penuh tangisan. Dia mencoba menyambung kembali lagu yang terputus dengan nada-nada putus asa.

Aku memacu motor membelah kegelapan Cipete. Aku butuh tempat ramai. Aku butuh tempat paling dangkal dan paling berisik di Jakarta untuk mencuci otakku dari apa yang baru saja kulihat.

Tujuanku sekarang jelas: SCBD. Aku harus mencari Martin. Si Narsistik bebal itu. Bukan untuk menyelamatkannya. Tapi karena aku butuh tameng. Dan malam ini, ketidaktahuan Martin adalah satu-satunya perisai yang bisa melindungiku dari lagu siren Elisabeth.

Aku bukan pahlawan. Aku adalah pengacau sinyal. Dan malam ini, siaran mereka baru saja kuganggu.


BAB 3: PERISAI BEBAL

Jalan Layang Non-Tol Antasari. Pukul 23.30.

Aku memacu motor matic-ku secepat yang diizinkan nyali. Angin malam menampar wajahku lewat celah visor helm yang terbuka sedikit. Biasanya, angin malam Jakarta terasa lengket dan berdebu. Tapi malam ini, angin itu terasa tajam. Menusuk. Menghujam.

Di spion, aku terus melirik ke belakang. Paranoid. Setiap lampu mobil yang menyorot dari belakang terlihat seperti mata Rusa itu. Setiap kilatan lampu jalanan berwarna biru—hiasan kota yang norak—terlihat seperti urat nadi Rian yang melepuh.

Aku gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena adrenalin sisa konfrontasi tadi. Aku baru saja membakar tangan seseorang. Aku baru saja melihat “mukjizat” berubah menjadi daging gosong hanya dengan sentuhan.

“Fokus, Okto. Fokus,” gumamku pada diri sendiri.

Tujuanku adalah SCBD. Sudirman Central Business District. Atau kalau kata anak-anak gaul: So-called Cool, But Dangerous. Tempat di mana uang tidak punya nomor seri dan moralitas seringkali ditinggal di valet parking.

Aku butuh keramaian. Aku butuh kedangkalan. Dan tidak ada tempat yang lebih dangkal daripada sebuah lounge mahal di Jumat malam.

Aku sampai di area Fairgrounds. Parkiran penuh dengan mobil-mobil Eropa yang harganya bisa buat beli satu desa di Jawa. Motor bututku terlihat seperti noda di atas taplak meja putih saat aku selipkan di antara deretan Vespa matic dan Harley.

Suara dentuman bass sudah terdengar dari luar. Menggetarkan dada. Aku berjalan masuk. Security bertubuh besar menatapku dari atas ke bawah. Jaket denim kucel, celana jeans belel, sepatu converse dekil. Jelas bukan target pasar mereka.

“Mau ke mana, Mas?” tanyanya, menghalangi jalan dengan lengan sebesar paha.

“Ketemu Martin,” jawabku, menyebut nama itu seperti mantra. “Yang reservasi sofa VIP. Fotografer.”

Wajah security itu berubah sedikit. Dia menekan earpiece-nya. “Tamu Pak Martin. Satu orang. Penampilan... seniman.”

Dia mengangguk, lalu membuka tali pembatas beludru merah. “Silakan, Mas.”

Ah, Martin. Bahkan namanya saja sudah jadi tiket terusan.

Aku melangkah masuk ke dalam kegelapan yang dihiasi lampu strobo. Udara di dalam berbau alkohol mahal, parfum niche, dan asap rokok elektrik. Musik EDM memukul gendang telinga tanpa ampun. Orang-orang berdansa, tertawa, berteriak, mencoba melupakan betapa kosongnya hidup mereka di hari kerja.

Mataku menyapu ruangan. Mencari satu titik narsistik yang paling terang. Itu dia.

Di sofa tengah yang paling strategis, Martin duduk seperti raja kecil. Dia memakai kemeja sutra bermotif abstrak yang kancing atasnya dibuka terlalu rendah. Di tangan kanannya ada gelas whisky kotak. Di kiri dan kanannya, ada tiga wanita cantik dengan gaun minim yang tertawa pada setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Aku menghampirinya, menerobos kerumunan orang yang sedang joget.

“Martin!” teriakku, mencoba mengalahkan suara DJ.

Martin menoleh. Matanya yang sedikit merah karena alkohol berbinar saat melihatku.

“NAH! INI DIA SANG PENULIS!” serunya sambil berdiri, merentangkan tangan seolah menyambut nabi yang baru turun gunung. “Woi, geser dong, kasih kursi buat temen gue yang paling dark se-Jakarta Selatan ini!”

Para wanita itu bergeser dengan enggan, memberiku celah sempit di sofa kulit. Aku duduk. Napasku masih memburu. Keringat dingin mengucur di pelipis.

“Minum, bro! On me!” Martin menyodorkan gelas baru berisi cairan amber. “Lo telat! Tadi ada toast buat gue. Foto gue laku, man! Seratus juta! Gila gak?!”

Aku mengambil gelas itu. Menenggaknya sekali teguk. Cairan panas membakar tenggorokanku, tapi itu menenangkan sarafku yang bergetar.

“Gila,” jawabku singkat. “Lo emang gila.”

“Iya dong! Seniman harus gila!” Martin tertawa, lalu merangkul salah satu wanita di sebelahnya. “Kenalin nih, Okto. Penulis thriller. Kalo lo macem-macem, nanti dijadiin karakter korban pembunuhan di bukunya. Hahaha!”

Wanita itu menatapku. Cantik. Riasannya sempurna. Tatapannya glassy, khas orang mabuk. Aku menatap kulitnya. Lehernya. Lengannya. Bersih. Tidak ada urat biru. Tidak ada pendaran cahaya. Hanya kulit manusia biasa yang tertutup foundation.

Aku menghela napas lega. Aman. Setidaknya di meja ini, virus itu belum masuk.

“Tin,” aku mendekatkan mulutku ke telinga Martin. “Gue abis dari tempat Rian.”

Martin berhenti tertawa. Dia menoleh padaku, alisnya terangkat. “Oh ya? Gimana si sadboy? Masih idup? Atau lagi nangis di pojokan?”

“Dia... sakit, Tin,” bisikku. “Kulitnya aneh. Kayak kena radiasi. Dia... dia gak bener.”

Martin mendengus. “Penyakit kulit? Kurap? Kudis? Makanya suruh mandi. Seniman kan jorok. Udah ah, jangan bahas orang sakit. Kita lagi celebrate!”

Dia menuang lagi alkohol ke gelasku. Ketidakpedulian Martin begitu tebal, begitu solid. Dia tidak mau mendengar hal negatif yang bisa merusak suasana hatinya. Egonya adalah benteng baja yang tidak bisa ditembus oleh empati, apalagi oleh entitas metafisik.

Inilah kenapa Martin kebal. Cahaya Rusa itu butuh celah. Butuh kerinduan. Butuh rasa “kurang”. Martin tidak merasa kurang. Dia merasa dia adalah pusat alam semesta. Cahaya itu akan terpeleset dari jiwanya yang licin dan berminyak oleh kesombongan.

Tiba-tiba, ponselku di atas meja bergetar. Layar menyala. Notifikasi Instagram.

@elisabeth_lntr mentioned you in their story.

Darahku membeku. Musik di sekitarku seolah meredup, menjadi latar yang jauh. Fokusku hanya pada layar ponsel itu.

Dengan jari gemetar, aku membukanya.

Latar belakang hitam polos. Tidak ada gambar. Hanya suara. Aku mendekatkan ponsel ke telinga.

Ngiiiing...

Suara dengungan frekuensi tinggi. Sama persis dengan suara yang ada di kepalaku. Lalu, di detik terakhir, ada suara bisikan wanita. Jernih sekali.

“Mas Okto nakal. Jangan dirusak mainan aku dong. Nanti aku marah loh. :)”

Dan ada teks kecil di pojok kanan bawah, tersembunyi, warnanya biru tua yang hampir tidak terlihat di latar hitam. Sebuah koordinat lokasi. Dan tulisan: “I see you.”

Tanganku yang diperban di dalam saku jaket mendadak terasa panas luar biasa. Bukan hangat. Panas menyengat. Zrrrt. Seperti ada listrik statis yang menyengat pahaku.

Elisabeth tahu. Dia tahu aku baru saja menyakiti Rian. Koneksi mereka two-way. Rian adalah salah satu mata-matanya. Dan sekarang, Ratu Sarang tahu ada virus di dalam jaringannya.

Aku menatap Martin yang sedang sibuk membuat Instagram Story, merekam botol whisky mahalnya dengan flash menyala. “Hello World! Tonight we feast!” teriak Martin ke kamera hp-nya.

Dia target berikutnya. Elisabeth tidak akan menginfeksi Martin—dia tidak bisa. Tapi dia akan mencoba menyingkirkan Martin. Karena Martin adalah saksi mata. Saksi mata yang kebal dan punya bukti foto.

Dan aku? Aku satu-satunya yang sadar bahwa kami sedang dibidik.

“Tin,” aku mencengkeram bahu Martin. Keras. Kuku-kukuku menancap di kemeja sutranya.

Martin kaget, hampir menjatuhkan ponselnya. “Apaan sih, anjir? Mabok lo? Sakit bego!”

Aku menatap matanya. Tajam. Menyalurkan seluruh ketakutan purba yang kurasakan.

“Dengerin gue,” kataku, suaraku rendah dan menekan. “Mulai sekarang. Detik ini juga. Lo jangan pernah jalan sendirian. Ke toilet pun gue ikut. Lo harus terus sama gue. Atau di tempat rame kayak gini.”

“Hah? Lo naksir gue? Sori ya, gue masih normal, To. Gila lo.” Martin mencoba bercanda, tapi tawanya tertahan.

“Gue serius, bangsat. Ada yang nargetin kita. Fans gila Elisabeth. Pengintai. Stalker.”

Aku menggunakan bahasa yang dimengerti Martin. Martin takut pada fans gila. Martin takut popularitasnya menjadi bumerang.

Martin melihat mataku. Dia melihat pupilku yang mengecil, keringat di dahiku, dan tangan kiriku yang gemetar memegang gelas. Dia melihat ketakutan yang nyata. Dan itu menular. Egonya goyah sedikit.

“Oke... oke... santai, bro,” Martin melepaskan cengkeramanku perlahan. Wajahnya berubah sedikit serius. “Lo creepy banget sumpah. Yaudah, malem ini lo nginep tempat gue. Tapi lo tidur di sofa. Awas lo macem-macem.”

Aku menghela napas panjang. Menyandarkan punggung ke sofa kulit. Setidaknya satu bidak catur aman malam ini.

Aku menenggak habis whisky-ku. Mataku menatap ke langit-langit lounge yang gelap, membayangkan di luar sana, di antara gedung-gedung pencakar langit Jakarta, Elisabeth sedang berdiri di atas rooftop. Gaun putihnya berkibar, matanya hitam total, merajut jaring-jaring cahaya biru yang akan mencekik kota ini pelan-pelan.

Perang sudah dimulai. Dan senjataku cuma satu: Tangan cacat yang bisa membakar “kebahagiaan” palsu mereka, dan seorang teman narsistik yang terlalu bodoh untuk mati.


BAB 4: INSOMNIA DI ATAS AWAN

partemen Martin ada di lantai 45 sebuah gedung pencakar langit di Senopati. Tempat ini adalah manifestasi fisik dari ego Martin. Lantai marmer dingin yang sepertinya tidak pernah disentuh debu, jendela kaca raksasa yang memisahkan kami dari polusi Jakarta, dan koleksi patung abstrak yang dia beli hanya karena harganya mahal.

Pukul 03.15 pagi.

Martin sudah pingsan. Dia tertidur di sofa panjang ruang tengah, masih memakai sepatu, mulut sedikit terbuka. Dengkurannya halus, teratur. Dia tidur seperti bayi yang tidak punya dosa. Atau lebih tepatnya, seperti orang yang dosanya sudah dibayar lunas dengan kartu kredit platinum.

Egonya melindunginya bahkan dalam tidur. Mimpi buruk tidak berani masuk ke kepalanya karena di sana terlalu penuh dengan bayangan dirinya sendiri.

Sementara aku? Aku duduk di kursi armchair di sudut ruangan yang gelap. Seperti gargoyle yang menjaga kastil tuannya.

Di tanganku ada segelas air mineral dingin. Alkohol tadi sudah menguap, digantikan oleh kewaspadaan yang menyakitkan. Adrenalin sisa kejadian di rumah Rian masih membanjiri darahku, membuat mataku tidak bisa terpejam.

Setiap kali aku menutup mata, aku melihat kulit Rian yang melepuh. Aku mendengar jeritannya. Dan aku merasakan kepuasan aneh yang menjalar di tangan kananku.

Kenapa? Kenapa sentuhanku membakarnya? Rian bersinar. Elisabeth bersinar. Aku bersinar. Harusnya kami satu frekuensi. Harusnya kami saling menguatkan. Tapi kenapa aku justru menjadi racun buat mereka?

Aku menatap tangan kananku yang diperban. Di balik kain itu, cahayanya berdenyut pelan. Bip... Bip... Tenang. Pasif. Seolah-olah dia tidak baru saja menghancurkan lengan seseorang beberapa jam yang lalu.

Aku tidak mengerti aturannya. Aku buta peta.

Aku mengambil ponselku dari meja kaca. Cahayanya menusuk mata di ruangan gelap ini. Aku membuka grup WhatsApp lama kami. “Ekspedisi Hore Skandinavia”.

Grup itu sepi. Kuburan digital. Elisabeth sudah keluar. Martin online 5 jam yang lalu. Tentu, sebelum dia mabuk.

Mataku tertuju pada satu nama. Alena.

Di bawah namanya, statusnya berubah. Typing...

Jantungku berhenti sebentar. Jam tiga pagi. Alena sedang mengetik. Si Arkeolog kaku yang biasanya tidur jam sepuluh malam demi ritme sirkadian yang sehat. Si wanita logis yang tidak pernah begadang kecuali untuk deadline jurnal.

Aku menunggu. Tulisan Typing... itu muncul lama sekali. Satu menit. Dua menit.

Apa yang dia tulis? Penjelasan ilmiah? Laporan medis? Atau permintaan tolong? Jari-jariku gemetar di atas layar, ingin mengetik sesuatu, ingin bertanya: “Al, lo belum tidur?”

Tapi aku tidak berani. Firasatku menahan jariku.

Tiga menit berlalu. Status Typing... itu masih ada. Seolah-olah dia sedang menekan tuts keyboard tanpa henti, atau ragu menekan tombol kirim. Atau mungkin... dia tertidur di atas ponselnya?

Atau mungkin, dia sedang menatap hasil lab dari sampel tanah hangus yang dia ambil di hutan waktu itu. Aku membayangkan Alena duduk di meja kerjanya, dikelilingi mikroskop dan spektrometer, wajahnya pucat pasi melihat struktur atom yang tidak masuk akal.

Mungkin dia baru saja menemukan bahwa debu hitam itu bukan karbon, melainkan materi organik yang tidak ada di tabel periodik bumi. Dia ingin mengetik: Okto, kita bawa pulang wabah. Tapi logika ilmuwannya menolak mempercayai itu.

Lalu, tiba-tiba. Status Typing... itu hilang. Berubah menjadi Online.

Hening. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada foto. Tidak ada teks. Hanya Online.

Lalu sedetik kemudian, statusnya berubah lagi: Last seen today at 03:20.

Dia offline. Dia tidak mengirim apa-apa.

Keringat dingin menetes di punggungku. Keheningan ini lebih menakutkan daripada teror Elisabeth. Elisabeth bising. Dia pamer. Dia mengirim ancaman. Tapi Alena? Alena diam.

Kenapa dia mengetik selama itu lalu batal? Apa yang dia hapus? Atau... apa yang mencegahnya mengirim pesan itu?

Aku melempar ponselku ke sofa seberang. Aku tidak mau melihatnya lagi.

Aku bangkit, berjalan mendekati kaca jendela besar. Menempelkan keningku yang dingin ke permukaannya. Di bawah sana, Jakarta tidur sebentar sebelum kembali menjadi monster kemacetan. Lampu-lampu kota berkedip seperti ribuan mata yang mengantuk.

Aku melihat pantulan wajahku di kaca. Kucel. Lingkaran hitam di bawah mata. Terlihat menyedihkan.

Dan aku melihat tanganku yang menempel di kaca. Pantulannya memperlihatkan pendaran biru samar dari balik perban.

Aku sendirian. Martin tidak tahu apa-apa. Rian sudah menjadi musuh. Elisabeth adalah ratu monster. Dan Alena... Alena adalah tanda tanya besar yang menakutkan.

“Apa yang sebenernya kita bawa pulang?” bisikku pada kaca yang bisu.

Tidak ada jawaban. Hanya dengungan halus di telingaku. Ngiiing...

Dan di luar sana, fajar mulai menyingsing. Langit Jakarta berubah menjadi abu-abu kotor. Matahari akan terbit. Tapi aku punya perasaan buruk... bahwa untuk kami berempat, malam yang sebenarnya baru saja dimulai.

TO BE CONTINUED

Lanjut ke Episode 3...

Dibaca ... kali
0