The Light That Guards the Valley - Episode 1: The Incubator
SEASON 1 - EPISODE 1
THE INCUBATOR
"Jangan tertipu oleh cahayanya. Itu bukan hidayah, itu wabah."
BAB 1: DIAGNOSIS AWAL
Aku seharusnya menolak.
Itu pikiran pertamaku saat kakiku menyentuh tanah beku ini.
Skandinavia bukan tempat liburan. Ini adalah lemari pendingin raksasa. Tempat
di mana Tuhan menyimpan sisa-sisa ciptaan-Nya yang gagal.
Angin di sini tidak bertiup. Dia menggigit. Dia merobek.
Di depanku, Martin berdiri. Gagah. Bodoh. Dia mengenakan
jaket North Face oranye menyala. Seperti rambu lalu lintas berjalan. Di
lehernya tergantung kamera DSLR dengan lensa seharga ginjal manusia. Dia pikir
dia pemimpin ekspedisi National Geographic. Padahal aslinya dia adalah pewaris
tunggal imperium properti yang mengajar Biologi di sekolah elit milik ayahnya
sekadar untuk mengisi waktu luang. Orang kaya yang mencoba membeli krisis paruh
baya dengan peralatan mahal karena hidupnya terlalu mulus. Untuk Hobby yang
mahal.
“Gila. Udaranya seger banget, Coy,” kata Martin. Dia
merentangkan tangan. Menghirup napas dalam-dalam. “Di Jakarta mana dapet yang
beginian. Asep doang isinya.”
Aku menyalakan rokok. Zippo-ku berbunyi klik. Suara
paling merdu sejauh ini.
“Lo ati-ati, Tin,” jawabku. Asap rokokku langsung hilang
ditelan angin. “Paru-paru lo kaget ntar. Biasa isep knalpot Kopaja, tiba-tiba
dapet oksigen murni. Bisa meledak.”
Martin tertawa. Tawanya keras. Mengganggu kesunyian hutan
cemara di sekeliling kami.
“Ah. Lo mah negatif mulu, To,” sahutnya. Dia menoleh ke
belakang. Ke arah mobil sewaan kami. “Lis! Al! Buruan turun. Jangan manja.”
Dua wanita itu turun.
Alena. Empat puluh tahun. Kacamata tebal. Wajahnya kaku
seperti dipahat dari batu kapur. Dia arkeolog. Dia di sini bukan untuk
menikmati pemandangan. Dia di sini untuk membuktikan tesis doktoralnya yang
mungkin tidak akan dibaca siapa pun. Dia menyeret koper besarnya di atas salju.
“Bantuin kek,” gerutu Alena. “Ini berat, tau. Isinya alat
ukur semua.”
“Ya elah, Mbak Al,” Martin menyahut tapi tidak bergerak. “Kan
kita emansipasi. Mandiri dong.”
Lalu Elisabeth.
Anak itu melompat turun. Jaketnya warna pastel. Topi rajut
dengan bola bulu di atasnya. Dia tersenyum. Selalu tersenyum. Giginya rapi.
Matanya berbinar. Dia seperti tokoh kartun yang tersesat di film horor.
“Wuih! Keren banget!” Elisabeth berteriak. Suaranya
melengking. “Sumpah ini aesthetic parah. Kak Martin, fotoin gue dong di
deket pohon itu. Buat story.”
Aku membuang puntung rokok. Menginjaknya.
Inilah tim impianku. Seorang narsistik, seorang robot
akademis, dan seorang influencer wannabe. Dan aku? Penulis cerita
thriller yang terjebak di tengah-tengah sitkom tragis ini.
Kami berjalan menuju penginapan. Sebuah kabin kayu tua di
pinggir Lembah Tira. Penginapan ini Martin yang mendapatkan. Dari sebuah situs Travellers.
Dusun ini kecil. Terlalu kecil. Rumah-rumah kayu berjejer
jarang-jarang. Warnanya merah tua atau hitam. Tidak ada orang di jalan.
Tirai-tirai jendela tertutup rapat. Tapi aku bisa merasakannya. Mata-mata yang
mengintip dari balik celah kayu. Penduduk lokal. Mereka tidak suka tamu.
Aku tahu tatapan itu. Itu tatapan predator melihat daging
segar yang bodoh.
Malam pertama di kabin. Suasana canggung.
Kayu bakar meletup-letup di perapian. Martin sibuk
membersihkan lensanya. Lagi. Padahal belum dipakai memotret apa pun selain
selfie muka dia sendiri. Alena membuka laptop. Mengetik data entah apa.
Elisabeth duduk di karpet. Menatap api.
“Jadi,” Martin memecah hening. “Besok kita mulai trekking
jam lima pagi. Gue mau dapet golden hour.”
“Kepagian, Mas,” protes Elisabeth. Bibirnya manyun. “Dingin
banget kali jam segitu. Matahari aja belum bangun.”
“Justru itu seninya, Lis,” Martin sok menasehati. “Kita mau
cari Rusa Lusantara. Hewan nokturnal atau krepuskular. Keluar pas
remang-remang. Kalo siang bolong mah dia tidur.”
Aku tertawa kecil. Sinis. Tidak bisa ditahan.
“Kenapa lo ketawa, To?” Martin melirik tajam.
“Gak ada,” jawabku sambil mengaduk kopi. “Lucu aja. Lo
ngomongin hewan mitos kayak ngomongin kucing garong.”
“Ini bukan mitos,” potong Alena. Tanpa mengalihkan mata dari
layar laptop. “Ada catatan sejarahnya. Tiga puluh tahun lalu. Ledakan populasi
fauna albino di sektor ini. Kemungkinan mutasi genetik akibat deposit mineral
tanah.”
“Buset. Berat amat bahasanya, Mbak,” celetuk Elisabeth. “Intinya
ada rusanya kan?”
“Ada,” tegas Martin. “Dan gue bakal jadi orang pertama yang
dapet fotonya high-res. Bukan foto buram kayak penampakan UFO.”
Aku menyesap kopi yang ku bawa. Pahit. Sedikit hangat.
“Kalian sadar gak sih?” tanyaku pelan.
Mereka bertiga menoleh.
“Sadar apaan?” tanya Martin.
“Kenapa penduduk sini gak ada yang mau nganter kita?”
Hening sejenak.
“Mereka sibuk kali,” jawab Martin enteng.
“Sibuk ngumpet,” koreksiku. “Gue tadi sempet ngobrol sama
penjaga toko pas mau beli bir. Pake bahasa Inggris pas-pasan. Pas gue sebut
Lusantara, muka dia pucet. Dia balikin duit gue. Dia usir gue. Akhirnya gue
seduh kopi sachet yang gue bawa.”
Elisabeth memeluk lututnya. Wajahnya sedikit berubah.
“Ih. Mas Okto jangan nakutin dong.”
“Gue gak nakutin, Lis. Gue observasi,” kataku. “Orang sini
takut. Mereka gak anggep itu hewan lindung. Mereka anggep itu Legenda. Kutukan.
Terus kita berempat, turis dari tropis, mau masuk hutan cari masalah.”
“Itu namanya takhayul, To,” Martin berdiri. Berkacak
pinggang. “Kita ini orang modern. Lo penulis fiksi sih. Kebanyakan ngayal.
Segala dikaitin sama klenik.”
“Bukan klenik, Tin. Psikologi massa,” balasku. “Kalo satu
kampung takut sama satu hal, biasanya ada alesan logisnya. Dan alesannya
biasanya berdarah.”
Martin mendengus. “Ah. Males gue debat sama lo. Pokoknya
besok jam lima standby. Titik.”
Dia masuk kamar. Membanting pintu.
Debat? Aku bahkan bisa mengalahkan argument Martin dalam
satu kali kesempatan. Aku tidak sedang berdebat. Aku hanya... hanya
menyampaikan fakta.
Alena menutup laptopnya. “Gue tidur duluan. Jangan berisik.”
Dia menyusul Martin ke kamar sebelah.
Tinggal aku dan Elisabeth.
Api mulai meredup. Bayangan di dinding kabin memanjang.
Menjadi bentuk-bentuk aneh.
“Mas Okto beneran percaya itu hantu?” tanya Elisabeth.
Suaranya kecil.
Aku menatapnya. Anak ini terlalu polos. Dia tidak cocok di
sini. Dia cocoknya di mal. Minum boba. Ketawa sama teman-temannya. Bukan di
ujung dunia mencari monster.
“Gue gak percaya hantu, Lis,” jawabku jujur. “Gue percaya
manusia itu rapuh. Dan hutan ini... hutan ini gak peduli sama kita.”
Elisabeth diam. Dia menatap jendela gelap. Di luar sana,
kabut mulai turun. Tebal. Putih. Seperti susu basi yang tumpah dari langit.
“Tapi...” Elisabeth bergumam. Matanya tidak berkedip menatap
kegelapan di luar jendela. “Kalo legendanya bener... katanya rusanya indah
banget ya, Mas? Bersinar.”
Nada suaranya berubah.
Tadi dia takut. Sekarang ada nada lain. Penasaran.
Kerinduan.
“Katanya sih gitu,” jawabku singkat.
“Gue pengen liat,” bisiknya. “Sekali aja. Gue pengen liat
sesuatu yang... ajaib. Hidup gue bosen, Mas. Kuliah. Tugas. Skripsi. Gitu-gitu
doang. Di sini kayaknya beda.”
Aku merasakan alarm di kepalaku berbunyi.
Ini adalah tanda pertama. Dalam setiap novelku, ini adalah foreshadowing.
Karakter yang merasa hidupnya kosong adalah target paling mudah. Bukan target
pembunuh berantai. Tapi target obsesi.
“Lis,” panggilku. “Jangan aneh-aneh. Ikutin Martin aja
besok. Jangan jalan sendirian.”
Elisabeth menoleh padaku. Dia tersenyum lagi. Tapi senyumnya
beda. Sedikit lebih lebar. Sedikit lebih kosong.
“Iya, Mas Okto bawel. Tenang aja kali.”
Dia bangkit. Berjalan ke kamarnya.
Aku sendirian di ruang tengah. Aku menatap jendela tempat
Elisabeth tadi memandang.
Di luar sana. Di batas hutan. Ada kerlap-kerlip biru samar.
Sangat kecil. Mungkin cuma pantulan cahaya bulan di es. Atau mungkin mata.
Aku mematikan lampu. Menelan sisa kopi. Rasanya
seperti menelan firasat buruk.
Besok kami masuk hutan. Dan aku yakin, kami tidak akan
keluar dengan jumlah orang yang sama.
BAB 2: MASA INKUBASI
Jam lima pagi. Langit di luar masih
berwarna abu-abu kotor. Seperti warna paru-paru perokok pasif.
Dinginnya kurang ajar. Ini bukan dingin yang membuatmu ingin
minum cokelat panas. Ini dingin yang membuatmu ingin memukul orang.
Aku menyeret kakiku keluar kamar. Martin sudah siap tempur.
Dia berdiri di depan peta topografi yang ditempel di dinding kayu dengan
selotip. Dia menunjuk-nunjuk garis kontur seolah dia jenderal yang sedang
merencanakan invasi ke Normandia.
“Rute kita lewat punggung bukit ini,” kata Martin.
Telunjuknya menari di atas kertas. “Terus turun ke lembah sisi utara. Menurut
data satelit, di situ vegetasinya paling rapet. Habitat ideal buat herbivora
besar.”
Aku menuang kopi instan ke cangkir. Airnya tidak mendidih
sempurna. Kopinya menggumpal. Rasanya seperti tanah.
“Lo yakin satelit bisa tembus kabut setebel ini, Tin?”
tanyaku.
Martin menoleh. Wajahnya tersinggung.
“Teknologi, To. Lo tau LIDAR gak? Itu bisa nembus kanopi
pohon. Lagian gue udah download peta offline.”
Alena keluar dari kamar mandi. Wajahnya basah. Tanpa make-up.
Pucat dan kaku. Dia terlihat seperti mayat yang baru saja dibaptis.
“Suhu minus dua,” lapor Alena. “Kelembapan delapan puluh
persen. Ini aneh. Harusnya lebih kering.”
“Mungkin karena uap dari neraka bocor,” gumamku pelan.
Pintu kamar Elisabeth terbuka.
Anak itu keluar. Dan astaga. Dia berseri-seri. Pipinya merah
merona alami. Matanya... matanya terlalu lebar. Terlalu awas. Seolah dia baru
saja menenggak lima kaleng minuman energi.
“Selamat pagi semua!” serunya. Ceria.
Terlalu ceria untuk jam lima pagi di neraka beku.
“Lo gak kedinginan, Lis?” tanya Martin. Bahkan dia sedikit
heran.
“Enggak dong,” jawab Elisabeth. Dia memutar tubuhnya.
Memamerkan jaket puffer pink-nya. “Gue semangat banget, Mas. Semalem gue
mimpi indah. Gue mimpi rusanya dateng.”
Aku berhenti mengaduk kopi.
“Mimpi?” tanyaku.
“Iya,” Elisabeth mengangguk antusias. “Dia diri di depan
jendela kamar gue. Natap gue. Terus dia bilang ‘ayo main’. Lucu banget deh.”
Hening.
Martin tertawa canggung. “Haha. Bunga tidur itu mah. Lo
terlalu excited kali.”
Aku tidak tertawa. Alena juga tidak. Dia menatap Elisabeth
dengan tatapan klinis. Seperti menatap spesimen di cawan petri.
“Yaudah. Briefing kelar. Cabut sekarang,” perintah
Martin.
Kami masuk ke hutan.
Hutan Skandinavia berbeda dengan hutan tropis. Di Indonesia,
hutan itu berisik. Suara serangga, burung, monyet, angin di daun. Hutan itu
hidup.
Di sini? Hutan ini mati.
Pohon-pohon cemara menjulang lurus seperti tiang penjara.
Tanahnya tertutup jarum-jarum pinus cokelat dan salju keras. Tidak ada semak
belukar. Jarak pandang jauh, tapi menipu. Karena semua pohon terlihat sama.
Deja vu permanen.
Kami berjalan beriringan. Martin di depan sebagai penunjuk
jalan (atau korban pertama, harapku). Alena di belakangnya membawa GPS.
Elisabeth di tengah. Aku paling belakang, sebagai penyapu ranjau mental.
Satu jam berjalan. Tidak ada suara selain krak krak
sepatu bot kami menginjak salju beku.
Martin berhenti sejenak. Dia tidak lagi memotret wajahnya
sendiri. Dia berjongkok, lensa makronya hampir menyentuh permukaan salju.
“Teksturnya aneh,” gumam Martin. “Liat deh. Kristal esnya
gak simetris. Bergerigi tajem kayak silet. Cahayanya biasan juga beda. Gue
harus dapet angle ini buat tekstur.” Shutter kameranya berbunyi
beruntun. Cepat. Obsesif.
Sementara itu, Alena tidak hanya berjalan. Setiap sepuluh
meter, dia menancapkan probe logam ke tanah, melihat angka di alat ukurnya,
lalu mengerutkan kening. Dia mengambil sampel tanah beku, memasukkannya ke
dalam tabung reaksi kecil yang dia labeli dengan spidol permanen.
“Mineralnya kacau,” bisik Alena pada dirinya sendiri. “Ini
bukan granit biasa. Kandungan logam tanah jarangnya terlalu tinggi. Pantesan
kompas gila.”
“Sepi amat yak,” celetuk Elisabeth. Dia memecah keheningan. “Gak
ada burung apa?”
“Migrasi, Lis,” jawab Martin tanpa menoleh. “Musim gini
burung pinter cabut ke selatan. Cuma kita doang yang bloon jalan ke utara.”
Tumben Martin sadar diri.
Tiba-tiba Alena berhenti.
“Tunggu,” katanya. Dia berlutut. Memeriksa tanah di dekat
akar pohon besar.
“Kenapa, Al? Nemu emas?” tanya Martin.
“Liat ini,” tunjuk Alena.
Kami mendekat. Di atas salju putih, ada bercak hitam. Bukan
tanah. Itu seperti... abu. Atau jamur hitam yang tumbuh membentuk lingkaran
sempurna.
“Jamur Armillaria?” tebak Martin. “Tapi kok warnanya
gini?”
Alena mengeluarkan pisau lipat dan pinset steril dari saku
rompinya. Dengan gerakan cepat dan terlatih, dia mengikis lapisan hangus itu,
memindahkannya ke dalam kantong spesimen zip-lock.
“Bukan jamur,” kata Alena, matanya menyipit meneliti serbuk
hitam di dalam plastik bening itu. “Ini scorch mark. Bekas bakaran. Tapi
pas gue pegang, rasanya dingin.”
“Petir kali,” sahutku.
“Gak ada ozon. Dan liat polanya,” Alena menunjuk tanah. “Lingkaran
sempurna. Diameter persis tiga puluh senti. Ini aneh. Gue bakal bawa ini ke lab
nanti. Strukturnya gak kayak karbon biasa.”
Elisabeth maju. Dia berjongkok di sebelah Alena. Wajahnya
mendekat ke bercak hitam itu.
“Baunya enak,” bisik Elisabeth.
Aku mengerutkan kening. “Hah? Bau apaan?”
“Kayak... melati,” jawab Elisabeth. Dia tersenyum. “Wangi
banget. Kalian gak cium?”
Aku mengendus udara. Nihil. Cuma bau getah pinus dan
keringat Martin.
“Gue gak cium apa-apa, Lis,” kata Martin. “Hidung lo mampet
kali.”
“Enggak ih. Sumpah wangi,” Elisabeth ngotot. Dia malah mau
menyentuh bercak hitam itu.
“Jangan dipegang!” bentakku. Refleks.
Elisabeth kaget. Dia menarik tangannya. Menatapku dengan
wajah terluka.
“Galak amat sih, Mas Okto.”
“Itu bisa aja beracun, Lis,” jelasku. “Atau radioaktif. Lo
mau tangan lo busuk?”
“Okto bener,” tambah Alena. Dia berdiri. Membersihkan
pisaunya dengan salju. “Jangan sentuh apa pun yang lo gak tau. Kita lanjut.”
Kami berjalan lagi. Tapi atmosfernya berubah. Elisabeth
mulai bersenandung. Hmm-hmm-hmm... Nadanya asing. Bukan lagu pop. Bukan
lagu rohani. Nadanya monoton, berulang-ulang, membuat gigi ngilu.
“Lagu apaan tuh, Lis?” tanyaku. Mencoba terdengar santai.
“Gak tau,” jawabnya enteng. “Tiba-tiba ada di kepala gue. Catchy
ya?”
“Creepy iya,” gumamku.
Dua jam kemudian. Medan makin sulit. Tanah mulai menanjak.
Bebatuan granit licin tertutup lumut es. Napas kami mulai memburu. Martin sudah
berhenti bicara soal fotografi. Dia sibuk ngos-ngosan.
“Istirahat bentar,” perintah Martin. Dia duduk di atas batu
besar. Minum dari botol airnya rakus.
Aku bersandar di pohon. Menyalakan rokok. Nikotin adalah
satu-satunya teman yang setia di sini.
“Sinyal ilang total,” lapor Alena, menatap ponsel
satelitnya. “Bahkan GPS mulai ngaco. Koordinatnya loncat-loncat.”
“Efek medan magnet kutub,” Martin sok tau. “Biasa itu.”
Aku melihat sekeliling. Di mana Elisabeth?
“Lis?” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Elisabeth!” puku lebih keras.
“Apa sih, Mas? Gue di sini.”
Suaranya datang dari balik gundukan batu, sekitar sepuluh
meter dari kami. Dia sedang berdiri menghadap tebing. Punggungnya membelakangi
kami.
“Ngapain lo di situ? Kencing?” tanya Martin.
Elisabeth tidak berbalik.
“Ada yang manggil gue,” katanya. Datar.
Bulu kudukku berdiri. Bukan karena dingin.
“Gak ada yang manggil lo, Lis. Kita semua di sini,” kataku.
Aku membuang rokokku. Melangkah mendekat.
“Ada,” Elisabeth menunjuk ke arah celah tebing yang gelap. “Suaranya
alus banget. Kayak lonceng. Ting... ting...”
“Itu angin, Lis,” kata Alena. Nadanya mulai khawatir. “Efek
akustik celah batu. Acoustic pareidolia.”
“Bukan,” bantah Elisabeth.
Dan tiba-tiba, kabut turun.
Bukan turun pelan-pelan. Kabut itu jatuh. Seperti
tirai panggung yang dilepas talinya. Dalam hitungan detik, dunia berwarna
putih. Jarak pandang nol. Aku bahkan tidak bisa melihat ujung tanganku sendiri.
“Woy! Jangan gerak!” Teriak Martin. Suaranya terdengar jauh
dan teredam, padahal dia cuma berjarak lima meter.
“Semua pegangan tangan!” Teriakku. “Bikin rantai!”
Aku meraba-raba ke depan. Menabrak batu.
“Alena! Martin!”
“Gue di sini!” balas Martin. “Alena sama gue! Lis! Elisabeth
lo mana?!”
Hening.
Tidak ada jawaban dari arah tebing.
“Lis! Jawab, bego! Jangan maen petak umpet!” Teriakku. Panik
mulai merayap naik, dingin dan tajam.
Lalu aku mendengarnya. Suara tawa. Kecil. Renyah. Bahagia.
“Ketemu,” bisik suara Elisabeth. Jauh. Terlalu jauh.
“Elisabeth! Berhenti!” Aku nekat berlari ke arah suaranya.
Menembus kabut buta.
Bruk.
Aku menabrak sesuatu yang keras. Pohon.
Sakitnya luar biasa. Kepalaku pening. Aku jatuh terduduk di
salju.
“Okto! Lo di mana anjir?!” Teriak Martin.
“Gue jatoh! Gue ke arah Elisabeth tadi!” balasku sambil
memegangi jidat.
Angin berhembus kencang. Sekali hentak. Dan semendadak
datangnya, kabut itu menipis. Menyisakan wisma-wisma tipis yang melayang di
udara.
Aku berdiri. Pusing. Martin dan Alena ada di belakangku,
wajah mereka pucat pasi.
Kami bertiga menatap ke arah tebing tempat Elisabeth berdiri
tadi.
Kosong.
Hanya ada jejak kaki di salju. Jejak sepatu bot Elisabeth.
Jejak itu mengarah ke tepi jurang. Dan berhenti. Tidak ada jejak balik. Tidak
ada jejak terpeleset.
Jejak itu putus begitu saja.
“Lis...” Martin berlari ke tepi jurang. Melihat ke bawah.
Lembah di bawah sana curam. Hutan lebat. Gelap.
“Gak mungkin,” gumam Martin. “Gak mungkin dia lompat. Gue
gak denger suara jatoh. Gak ada teriakan.”
Alena memeriksa tanah. Wajahnya lebih pucat dari salju.
“Liat ini,” tunjuk Alena gemetar.
Di sebelah jejak kaki terakhir Elisabeth. Ada jejak lain.
Bukan jejak manusia. Bukan jejak serigala.
Itu jejak kuku belah. Besar. Tapi anehnya, jejak itu tidak
menekan salju. Jejak itu melelehkan salju sampai ke tanah dasar.
Membentuk cetakan kuku rusa yang hangus di atas tanah beku.
Dan baunya. Kali ini aku menciumnya. Wangi melati yang
busuk. Manis, tapi bikin mual.
“Elisabeth...” panggilku pelan ke arah hutan yang diam.
Hutan itu menatap balik. Dan untuk pertama kalinya sejak
sampai di sini, aku merasa kami bukan lagi peneliti. Kami adalah mangsa yang
kehilangan satu anggota kawanannya.
“Cari dia,” desis Martin. Matanya liar. “Kita cari dia
sekarang. Sinyal GPS mati. Kita manual. Lo ke kiri, gue ke kanan. Alena lo diem
di sini jaga pos.”
“Jangan misah, goblok!” bentakku. “Lo mau ilang juga? Kita
bareng. Kita ikutin jejak ini.”
Tapi jejak itu... jejak kuku hangus itu... Hanya ada satu
pasang. Lalu menghilang.
Seolah-olah makhluk itu—dan Elisabeth—terbang ke langit.
BAB 3: DELIRIUM
Tiga hari.
Tiga hari adalah waktu yang dibutuhkan manusia untuk mati
tanpa air. Tiga hari juga waktu yang dibutuhkan untuk harapan membusuk menjadi
keputusasaan.
Kami tidak tidur. Kami tidak benar-benar bangun. Kami ada di
semacam limbo. Neraka beku.
Setelah Elisabeth lenyap ditelan kabut, Martin menjadi gila.
Bukan gila metafora. Dia benar-benar histeris. Dia berteriak sampai pita
suaranya sobek. Dia mencoba turun ke jurang tanpa tali, kalau saja aku tidak
menendang kakinya sampai dia jatuh terjerembap.
“Kita harus lapor! Kita butuh helikopter! Anjing pelacak!”
Martin meracau. Air matanya membeku di pipi.
Kami kembali ke dusun dengan merangkak. Kalah.
Hari Pertama: Penolakan.
Polisi lokal datang. Dua orang. Tua dan gemuk. Mereka tidak
terlihat seperti tim SAR profesional. Mereka terlihat seperti bapak-bapak yang
jam tidur siangnya diganggu.
“Hilang di Sektor Utara?” tanya salah satu polisi dengan
bahasa Inggris patah-patah. Dia menggeleng. “Tempat buruk. Tanah labil. Banyak
lubang es.”
“Temen gue bukan jatoh ke lubang!” bentak Martin. “Dia
diculik! Gue liat jejaknya! Ada binatang buas!”
Polisi itu saling pandang. Tatapan mereka kosong.
“Tidak ada binatang buas di sini, Tuan. Hanya rusa dan
kelinci. Mungkin dia jalan sendiri. Hipotermia membuat orang bingung. Mereka
buka baju. Mereka lari ke hutan.”
Paradoksikal undressing. Aku tahu istilah itu. Tapi
itu bohong. Elisabeth tidak kedinginan. Dia dijemput.
Tim pencari dikerahkan sore harinya. Mereka menyisir pinggir
hutan. Teriak-teriak. Membawa anjing. Tapi anjing-anjing itu aneh. Mereka tidak
mau masuk ke garis pepohonan tertentu. Mereka merengek, ekor diselip di antara
kaki, lalu kencing di tempat.
Anjing tahu apa yang manusia tolak untuk akui. Ada sesuatu
yang salah di sana.
Hari Kedua: Marah.
Alena membongkar semua barang Elisabeth. Dia mencari
petunjuk. Buku harian. Catatan. Apa saja.
“Gak masuk akal,” gumam Alena. Matanya merah. Kantung
matanya hitam. “Dia gak punya riwayat gangguan mental. Dia sehat. Kenapa dia
halusinasi suara lonceng?”
“Mungkin karena tempat ini terkutuk, Al,” jawabku. Aku duduk
di sofa, merokok batang ke dua puluh. Kabin ini bau asap, tapi tidak ada yang
peduli.
“Gak ada kutukan!” Alena melempar buku catatan Elisabeth ke
dinding. “Ini pasti gas alam. Metana? Karbon monoksida? Kita semua keracunan.
Makanya kita liat aneh-aneh.”
“Gue gak liat apa-apa, Al,” sanggahku. Bohong. “Cuma
Elisabeth yang liat.”
“Lo bohong,” desis Alena. Dia menunjuk mukaku. “Lo penulis.
Lo pasti seneng kan? Ini materi bagus buat buku lo. Lo nikmatin ini.”
Aku menatapnya datar.
“Gue lebih milih nulis komedi romantis di Bali daripada ada
di sini liat muka lo yang stress, Al.”
Dia menangis. Meraung. Suara tangisannya diredam bantal
sofa.
Hari Ketiga: Depresi.
Tim SAR menghentikan pencarian sementara. Badai salju
datang. Visibilitas nol. Mereka bilang, “Kita lanjut besok kalau cuaca membaik.”
Bahasa birokrat untuk: “Temanmu sudah mati. Kita cuma cari
mayat nanti.”
Martin duduk di depan perapian yang mati. Dia memegang syal
Elisabeth. Dia tidak bicara lagi. Tatapannya kosong. Dia sudah menyerah. Dia
membayangkan bagaimana cara menjelaskan ini ke orang tua Elisabeth di Jakarta.
Malam turun. Gelap. Pekat.
Aku mencoba memejamkan mata, tapi suara itu menggangguku.
Awalnya kupikir itu suara angin yang menyelip di celah jendela. Tapi nadanya
terlalu ritmis. Hummmm... Hummmm... Seperti suara trafo listrik yang mau
meledak, tapi dalam frekuensi rendah yang membuat gigi ngilu. Dan bukan cuma
suara. Di sudut mataku, bayangan di dinding kabin bergerak. Bukan karena api
perapian—apinya sudah mati.
Cahaya biru samar merembes masuk dari celah bawah pintu
depan. Berdenyut. Bip. Bip. Seolah ada kode morse yang dikirimkan khusus
untukku. Dadaku sesak, bukan karena asap rokok, tapi karena insting. Ada
sesuatu di luar sana yang tahu aku belum tidur.
Aku berdiri seperti robot. Tanganku bergerak sendiri
mengambil pisau lipat Martin di meja. Aku tidak sadar kenapa aku mengambilnya,
aku hanya tahu aku harus bersenjata. Martin mendongak saat aku membuka
kunci pintu. Matanya merah dan bengkak.
“Mau ke mana lo?” tanya Martin. Suaranya serak.
“Ada suara,” jawabku pelan, hampir tak terdengar. “Gue harus
cek. Gue denger sesuatu di luar.”
“Jangan jauh-jauh. Kalo lo ilang juga, gue tinggal.”
“Sip.”
Aku berdiri di beranda. Salju turun tipis-tipis. Hutan di
depan sana tampak seperti dinding hitam raksasa.
Aku menyalakan rokok terakhirku. Menghisap dalam-dalam.
Membiarkan nikotin menenangkan saraf yang bergetar.
Lalu, di antara batang-batang pohon itu. Cahaya itu muncul
lagi.
Biru. Electric blue. Berdenyut.
Kali ini tidak samar. Kali ini jelas. Seperti lampu neon
yang dinyalakan di kamar gelap.
Jantungku berhenti satu ketukan.
Rusa itu berdiri di batas hutan. Sekitar lima puluh meter
dariku. Kepalanya tegak. Tanduk kristalnya bercahaya terang, menerangi salju di
sekitarnya menjadi biru muda. Matanya yang hitam menatap lurus ke arahku.
Dia tidak lari. Dia menunggu.
“Halusinasi,” bisikku gemetar. Aku mencoba tertawa, tapi
suaraku tercekik. “Ini pasti efek karbon monoksida kayak kata Alena. Atau gue
kena cabin fever. Rusa gak bisa nyala, Okto. Rusa gak punya lampu neon
di kepala.”
Tanganku meraba gagang pintu di belakangku. Logikaku
menjerit histeris: Putar gagangnya. Masuk. Kunci. Bangunin Martin. Seret dia
pulang besok pagi.
Itu adalah pilihan waras. Pilihan orang yang ingin hidup
panjang. Tapi kakiku... kakiku dipaku ke lantai kayu beranda. Mataku tidak bisa
lepas dari cahaya biru itu.
Cahaya itu tidak menyilaukan, tapi menghisap. Rasanya
seperti menatap ke bawah jurang, dan jurang itu memanggil namamu. Ada rasa
penasaran yang sakit—penyakit lama seorang penulis—yang mulai merayap naik dari
perut ke dada. Kalau ini halusinasi, kenapa bayangannya jatuh sempurna di
atas salju? bisik sisi gelapku. Kalau ini palsu, kenapa bulu kudukmu
berdiri karena takut, bukan karena dingin?
Aku sadar, seumur hidup aku menulis soal monster fiksi.
Sekarang, monster sungguhan sedang menatapku. Jika aku masuk kembali ke dalam
kabin, aku akan selamat, tapi aku akan mati penasaran seumur hidup. Dan bagi
orang sepertiku, ketidaktahuan lebih buruk daripada kematian.
“Persetan,” desisku. Aku membuang rokok yang bahkan belum
habis separuh. Tanganku melepas gagang pintu. Aku mengeratkan jaket, menyerah
pada gravitasi kegelapan itu.
Rusa itu berjalan. Aku mengikuti. Seperti adegan ulang di
mimpi buruk. Tapi kali ini nyata. Dinginnya nyata.
Dia membawaku bukan ke tebing tempat Elisabeth hilang. Dia
membawaku memutar. Melalui jalan setapak yang tertutup semak berduri. Rusa itu
menembus semak dengan mudah, tanduknya yang bercahaya seolah membakar rintangan
di depannya. Aku harus berjuang, jaketku robek beberapa kali.
Kami naik. Terus naik. Ke tempat yang lebih tinggi dari
lokasi pencarian tim SAR.
Sekitar satu jam berjalan. Kakiku mati rasa. Rusa itu
berhenti di depan celah sempit di antara dua batu granit raksasa. Celah itu
hanya selebar badan manusia.
Dia menoleh padaku. Cahaya tanduknya berkedip pelan. Seolah
berkata: Masuk.
Lalu dia masuk. Menghilang di balik batu.
Aku menelan ludah. Menggenggam pisau lipat di saku. Aku
menyelipkan badanku ke celah itu. Sempit. Dinding batunya licin dan berlendir.
Di ujung celah, ada cahaya terang.
Aku keluar. Dan aku ternganga.
Ini bukan lembah biasa. Ini adalah atrium
tersembunyi. Dinding tebing melingkar tinggi melindunginya dari angin dan
badai. Di sini tidak ada salju. Tanahnya hangat. Ada rumput. Rumput hitam yang
aneh.
Dan di tengahnya. Ada kolam itu. Kolam dengan air yang
bercahaya biru terang. Sumber dari segala penyakit ini.
Di pinggir kolam, duduk seseorang. Dia sedang menyisir
rambutnya dengan jari.
“Elisabeth?”
Dia menoleh. Wajahnya... Tuhan. Wajahnya tenang. Terlalu
tenang. Kulitnya pucat, transparan, memperlihatkan pembuluh darah biru di
bawahnya. Matanya hitam total, pupilnya melebar maksimal, menelan iris
cokelatnya.
Tidak ada tanda-tanda trauma. Tidak ada tanda-tanda
ketakutan. Dia terlihat seperti ratu di istana neraka ini.
“Mas Okto,” sapanya. Suaranya lembut. Menggema aneh. “Udah
gue duga lo yang bakal dateng.”
Aku mendekat pelan-pelan. Pisau di saku terasa berat.
“Lis... lo gapapa? Martin gila nyariin lo. Tim SAR nyerah. Kami
pikir lo mati.”
Elisabeth tertawa. Tawa kecil yang sama yang kudengar di
kabut waktu itu.
“Mati?” Dia berdiri. Bergerak luwes. Terlalu luwes. “Gue
baru idup, Mas. Di sini anget. Liat.”
Dia menunjuk kolam. Rusa itu sedang minum di sana. Tanduknya
bersinar makin terang setiap kali lidahnya menyentuh air.
“Itu racun, Lis,” kataku. Suaraku gemetar. “Itu bukan air
ajaib. Itu limbah. Kita harus pulang. Sekarang. Gue gendong lo kalo perlu.”
Aku maju selangkah. Elisabeth mengangkat tangan. Gerakannya
membuatku berhenti. Ada otoritas absolut dalam gestur itu.
“Jangan, Mas,” katanya. “Jangan rusak momen ini.”
“Lis, sadar! Lo halusinasi! Hipotermia bikin otak lo kacau!”
Dia menatapku tajam.
“Kalau gue halusinasi,” katanya pelan, “Kenapa lo bisa liat
rusa itu, Mas?”
Aku terdiam. Mati kutu.
“Martin gak bisa liat,” lanjut Elisabeth. Dia berjalan
mendekatiku. Bau melati busuk itu menguar dari tubuhnya. “Alena gak bisa liat.
Tim SAR gak bisa liat. Anjing-anjing itu cuma bisa cium baunya, tapi gak bisa
liat wujudnya.”
Dia berdiri tepat di depanku. Menatap mataku dalam-dalam.
“Cuma orang yang retak yang bisa liat cahaya yang
masuk lewat celah, Mas Okto. Lo retak. Sama kayak gue. Makanya lo di sini.”
Kata-katanya menembus dadaku lebih tajam dari dingin
Skandinavia. Dia benar. Aku melihat rusa itu karena aku juga sakit. Jiwaku
sakit.
“Kita pulang, Lis,” pintaku lagi. Tapi kali ini nadaku
memohon. Lemah. “Tolong. Kasian Martin.”
Elisabeth terdiam sejenak. Dia menoleh ke rusa itu. Rusa itu
mengangkat kepala. Menatap kami. Lalu mengangguk pelan.
“Gue bakal balik,” kata Elisabeth akhirnya. “Gue kangen
nyokap.”
Aku menghela napas lega. “Oke. Ayo. Kita jalan sekarang.”
“Tapi,” potong Elisabeth. Dia mencengkeram lengan jaketku.
Kuat sekali. Kukunya menembus kain tebal. “Ada syaratnya.”
“Apa aja. Sumpah.”
“Lo gak boleh cerita soal tempat ini. Gak boleh cerita soal Dia.”
Dia melirik rusa itu.
“Lo harus bilang gue tersesat. Gue nemu gua anget. Gue survive.
Titik.”
“Kalo gue cerita?” tantangku.
Elisabeth tersenyum. Senyum yang membuat darahku beku.
“Kalo lo cerita... gak bakal ada yang percaya, Mas. Lo kan
penulis fiksi. Orang bakal anggep itu cuma satu lagi bualan lo. Dan...”
Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku. Berbisik.
“Dan Dia bakal dateng ke mimpi lo tiap malem. Sampe
lo gila beneran.”
Aku menelan ludah. Aku melihat rusa itu lagi. Tanduknya
berdenyut. Aku melihat kolam biru itu. Aku melihat Elisabeth yang setengah
hantu.
Pilihannya sederhana: Pulang dengan rahasia, atau mati di
sini dengan kebenaran.
“Oke,” jawabku parau. “Gue janji. Rahasia kita.”
Elisabeth melepaskan cengkeramannya. Wajahnya kembali
menjadi wajah gadis manis biasa. Senyum mengerikannya hilang, diganti senyum
lelah mahasiswa tingkat akhir.
“Makasih, Mas Okto. Yuk, gue laper nih. Pengen Indomie.”
Perubahan sikapnya yang instan itu justru hal paling
menakutkan malam ini.
Kami berjalan menjauh. Meninggalkan lembah itu. Aku tidak
menoleh ke belakang. Tapi aku tahu. Mata hitam itu menatap punggung kami sampai
kami hilang di balik kabut.
BAB 4: REMISI PALSU
Kami meninggalkan Lembah Tira seperti
buronan yang lolos dari penjara alam.
Martin menyetir mobil sewaan seolah dikejar setan.
Kecepatannya di atas rata-rata, padahal jalanan licin. Dia tidak sabar ingin
melihat aspal bandara. Dia ingin melihat peradaban.
Di kursi belakang, aku duduk di sebelah Elisabeth.
Dia tidur. Atau pura-pura tidur. Kepalanya bersandar di
jendela yang berembun. Napasnya teratur, tapi terlalu pelan. Setiap kali mobil
terguncang lubang, dia tidak bangun. Dia seperti boneka porselen yang
baterainya dicabut.
Alena duduk di depan, memegang peta fisik. GPS masih
mati-nyala tidak jelas.
“Dua jam lagi sampe bandara,” gumam Alena. Suaranya datar.
Dia belum bicara padaku sejak kejadian di kabin. Dia tahu aku menyembunyikan
sesuatu, dan sebagai ilmuwan, ketidaktahuan itu membunuhnya pelan-pelan.
“Bagus,” sahut Martin. “Gue butuh kopi Starbucks. Gue butuh
WiFi kenceng. Gue butuh lupakan tempat terkutuk ini.”
“Gue kan punya Nescafe kalo lo mau, Tin,” sahutku. “Tapi, lo
gak suka kayaknya.”
Aku menyalakan ponselku. Sinyal mulai masuk. Satu bar. Dua
bar. Notifikasi WhatsApp mulai memberondong masuk. Pesan-pesan dari editor,
tagihan kartu kredit, grup alumni.
Dunia nyata menyambutku kembali dengan trivialitasnya yang
membosankan.
Tiba-tiba, Elisabeth bergerak. Matanya terbuka. Dia tidak
menoleh padaku. Dia menatap ke luar jendela, ke barisan tiang listrik yang
berjejer di pinggir jalan raya.
“Mas Okto,” bisiknya.
“Hm?”
“Listrik di sini suaranya kasar ya,” katanya.
Aku mengerutkan kening. “Listrik ada suaranya?”
“Ada. Bzzt. Bzzt. Kayak orang marah,” dia tersenyum
tipis. “Gak kayak di lembah. Di sana suaranya nyanyi.”
Bulu kudukku meremang. Aku memilih pura-pura main HP.
Batinku beteriak. “Ada yang salah.”
Terminal Keberangkatan.
Bandara kecil di utara ini sepi, tapi fungsional.
Lampu-lampu neon putih berdengung di langit-langit. Lantai linoleum mengkilap.
Kami menyeret koper ke konter check-in. Martin
terlihat jauh lebih rileks. Dia sudah kembali menjadi “City Boy”.
“Paspor, tiket, siapin semua. Jangan ada yang ketinggalan,”
perintah Martin.
Insiden terjadi di pemeriksaan keamanan (Security Check).
Kami antre. Di depan kami ada seorang ibu dengan anak kecil,
dan seorang pria tua. Ada petugas keamanan dengan anjing pelacak. Seekor German
Shepherd gagah dengan rompi polisi.
Anjing itu mengendus-endus koper si pria tua. Diam saja.
Lalu giliran Martin. Anjing itu diam. Lalu giliran Alena. Diam.
Giliran Elisabeth.
Dia berjalan santai melewati metal detector. Tidak
ada bunyi. Aman. Tapi saat dia melangkah mendekati area pengambilan tas, anjing
pelacak itu bereaksi.
Bukan menggonggong galak. Anjing itu menjerit.
Kaik! Kaik!
Binatang itu mundur ketakutan, ekornya masuk ke
selangkangan, telinganya rebah. Dia menarik-narik talinya, berusaha menjauh
dari Elisabeth sekuat tenaga. Dia bersembunyi di balik kaki petugasnya,
gemetaran hebat. Kencing menggenang di lantai bandara.
“Hei! Roosevelt! What’s wrong?!” Petugas itu bingung.
Dia menarik anjingnya, tapi anjing itu menolak mendekat. Matanya terbelalak
menatap Elisabeth.
Semua orang menoleh. Hening.
Elisabeth? Dia hanya berdiri di sana. Memegang tas
jinjingnya. Dia menatap anjing itu. Dan dia tersenyum. Tipis sekali. Hampir
tidak terlihat.
“Anjingnya kenapa, Pak?” tanya Elisabeth polos. Bahasa
Inggrisnya logat Jakarta Selatan yang kental.
Petugas itu menatap Elisabeth, lalu menatap anjingnya yang
histeris. Wajah petugas itu pucat. Insting purba memberitahunya ada yang salah,
tapi logika modernnya tidak bisa menemukan alasannya.
“Mungkin... dia sakit. Maaf, Nona. Silakan lewat,” kata
petugas itu kaku. Dia menyeret anjingnya pergi. Anjing itu masih merengek.
Martin dan Alena bengong.
“Gila. Lo bawa apaan, Lis? Sosis?” canda Martin, mencoba
mencairkan suasana. Tapi tawanya sumbang.
“Gak bawa apa-apa kok, Mas,” jawab Elisabeth. “Mungkin dia
gak suka parfum gue.”
Aku berjalan di belakang Elisabeth. Saat kami melewati
gerbang, aku berbisik.
“Lo apain anjing itu?”
Elisabeth tidak menoleh. Dia terus berjalan menuju Duty
Free.
“Hewan itu peka, Mas,” jawabnya pelan. “Mereka tau persis.”
“Tahu… persis?” Aku menelan ludah. Tanganku berkeringat
dingin.
Ruang Tunggu.
Penerbangan kami delay satu jam. Klasik. Martin tidur
di kursi tunggu. Alena membaca majalah.
Elisabeth berdiri di depan jendela kaca besar yang menghadap
landasan pacu. Di luar sudah malam. Lampu-lampu landasan berwarna merah, hijau,
dan kuning berkedip-kedip di tengah salju yang turun.
Aku menghampirinya.
“Duduk, Lis. Masih lama.”
“Pemandangannya jelek,” gumamnya. Jidatnya menempel di kaca
dingin. “Lampu manusia itu jelek. Warnanya kotor. Terlalu merah. Terlalu
kuning.”
“Itu biar pesawat gak nabrak, Lis.”
Dia menoleh padaku. Di bawah pantulan lampu neon bandara,
kulitnya terlihat... terlalu halus. Pori-porinya seolah menghilang.
“Mas Okto tau gak?” tanyanya. “Di lembah itu, Dia
bilang sama gue... kalau dunia ini terlalu gelap. Manusia butuh penerangan
baru.”
“Stop,” potongku. Aku melihat sekeliling. Takut ada yang
dengar. “Jangan mulai.”
Elisabeth terkekeh. “Takut ya, Mas? Padahal ini kabar
gembira loh. Evolusi.”
Tiba-tiba, lampu di ruang tunggu berkedip. Zzztt.
Mati sedetik. Lalu nyala lagi. Zzztt. Mati lagi. Nyala lagi.
Orang-orang di ruang tunggu mulai bergumam kesal. “Gangguan
teknis nih.”
Aku melihat tangan Elisabeth. Dia menempelkan telapak
tangannya ke kaca jendela. Dan aku bersumpah, demi Tuhan yang sudah melupakan
kami... Aku melihat lampu LED biru di tiang luar—yang berjarak sepuluh meter
dari kaca—berkedip seirama dengan denyut nadi di leher Elisabeth.
Bip. Bip. Bip.
“Energi itu harus mengalir, Mas,” bisiknya. “Gak bisa
dibendung.”
Pengeras suara berbunyi. Panggilan terakhir untuk
penumpang tujuan Singapore...
Tidak ada penerbangan Direct ke Jakarta dari sini,
dan kami harus transit di Singapura.
“Yuk ah,” Elisabeth menarik tangannya dari kaca. Lampu di
luar kembali normal.
Dia mengambil tasnya, berjalan riang menuju gerbang
keberangkatan. Langkah kakinya ringan. Terlalu ringan.
Aku mengikutinya dengan perasaan mual. Kami akan naik kaleng
besi terbang, terkurung selama belasan jam di udara bersamanya. Bersama inkubator
berjalan ini.
Dan saat aku melangkah masuk ke garbarata, aku merasa bukan sedang pulang ke rumah. Aku merasa sedang mengantar wabah masuk ke kota.
BAB 5: METASTASIS
akarta: Tiga Bulan Kemudian.
Jakarta tidak dingin dan sunyi. Dia panas, lembap, dan
berisik. Bau knalpot, bau sampah basah, bau keringat jutaan manusia yang
berebut remah-remah kehidupan.
Aku menyukainya. Kebisingan ini membantuku melupakan
kesunyian Lembah Tira. Setidaknya, di sini hantu-hantu kalah suara dengan
knalpot brong dan klakson Kopaja.
Kehidupan kembali normal. Atau setidaknya, pura-pura normal.
Martin mengadakan pameran foto tunggal di Kemang minggu
lalu. Judulnya pretensius: “The Silent North: Mencari Jejak yang Hilang”.
Fotonya bagus-bagus, harus aku akui. Lanskap dramatis. Hutan berkabut. Potret
candid Elisabeth yang sedang tertawa di salju (sebelum dia hilang). Tapi tidak
ada rusa.
Pengunjung berdecak kagum. “Wah, soulful banget, Bro,”
kata teman-teman komunitas fotonya sambil memegang gelas wine murah. “Terasa
banget aura mistisnya. Lo dapet feel-nya.”
Mereka tidak tahu seberapa benar omongan mereka.
Aku datang sebentar, salaman, makan kue gratis, lalu cabut.
Martin mencoba menahanku ngobrol, tapi matanya... ada ketakutan di sana. Dia
tahu aku tahu. Dan dia tidak mau diingatkan. Dia memilih bersembunyi di balik
lensa kameranya.
Alena? Dia kembali ke kampus. Dia menerbitkan jurnal tentang
anomali mineral tanah di Skandinavia. Isinya penuh grafik dan data kimia yang
membosankan. Kesimpulannya: “Fenomena alam yang belum terjelaskan akibat
deposit rare-earth elements.” Aman. Akademis. Pengecut. Dia memilih
mengubur kebenaran di bawah tumpukan catatan kaki.
Dan Elisabeth... Dia menghilang lagi. Tapi kali ini di hutan
beton. Dia sibuk skripsi, katanya. Dia jarang balas chat grup. Dia keluar dari
grup WhatsApp “Ekspedisi Skandinavia” seminggu yang lalu.
Sampai sore ini.
Aku duduk di kedai kopi di daerah Cikini. Menunggu dia. Ada
jaketnya yang tertinggal di tasku sejak di bandara. Jaket puffer pink
norak itu. Bau hutan Skandinavia masih menempel samar di kainnya, meski sudah
kucuiga dua kali.
Pintu kedai terbuka. Lonceng berbunyi. Ting. Suara
itu membuatku tersentak. Mengingatkanku pada suara lonceng imajiner yang
didengar Elisabeth di hutan. Jantungku melompat kaget, menyentak rusuk.
Dia masuk. Dan bajingan... dia terlihat berbeda.
Lebih cantik. Jauh lebih cantik dari sebelumnya. Kulitnya
mulus, glowing yang tidak wajar, seolah dia memakai filter Instagram di
dunia nyata. Rambutnya hitam berkilau, tebal. Dia memakai kacamata hitam,
padahal di luar mendung mau hujan.
“Hai, Mas Okto,” sapanya. Dia duduk di depanku. Gerakannya
cair. Terlalu efisien.
“Woy. Artis kampus sibuk amat,” sindirku, berusaha terdengar
santai, menyembunyikan getar di tanganku. Aku menyerahkan kantong plastik
berisi jaketnya. “Nih. Barang bukti lo.”
“Makasih ya, Mas. Sori ngerepotin,” dia tertawa. Tawanya
renyah. Tapi matanya di balik kacamata hitam itu tidak ikut tertawa. “Gimana
naskah lo? Jadi ditulis?”
“Lagi proses,” jawabku. Aku mengamati wajahnya. “Lo...
sehat? Kulit lo bagus amat. Perawatan di mana?”
Elisabeth menurunkan kacamata hitamnya sedikit. Mengedipkan
sebelah mata.
“Sehat banget, Mas. Gak pernah ngerasa sebugar ini seumur
idup gue. Perawatannya alami. Dari sumber-nya langsung.”
Matanya. Iris cokelatnya masih ada. Tapi ada sesuatu di
belakangnya. Kedalaman yang tidak wajar. Seperti melihat dasar sumur yang
gelap, di mana ada sesuatu yang berenang di bawah sana.
“Syukurlah,” kataku kaku. “Martin nanyain lo terus tuh. Ajak
makan kek sekali-kali.”
“Males ah. Kak Martin berisik. Cerita soal heroiknya dia
mulu,” Elisabeth mendengus. “Gue lebih suka ngobrol sama lo, Mas. Lo kan keeper
of secrets gue.”
Dia menekankan kata secrets. Suaranya merendah,
membuat bulu kudukku berdiri.
Pelayan datang mengantar es kopi susu gula aren. Elisabeth
mengulurkan tangan mengambil gelasnya. Lengan kemeja putihnya tersingkap
sedikit.
Di sana. Di pergelangan tangannya bagian dalam. Ada
urat-urat halus yang menonjol. Tapi warnanya bukan hijau atau biru pembuluh
darah biasa. Warnanya Electric Blue. Biru neon. Terang.
Dan urat itu... bergerak. Berdenyut pelan. Pulse...
Pulse... Seperti ada cacing cahaya yang merayap di bawah kulitnya.
Aku terdiam. Menatap horor ke pergelangan tangannya. Napasku
tertahan di tenggorokan.
Elisabeth menyadari tatapanku. Dia tidak menarik tangannya.
Dia malah sengaja memutar pergelangan tangannya, memamerkannya padaku. Dia
tersenyum. Senyum “orang retak” itu kembali.
“Cantik kan?” bisiknya. Dia mengusap urat bercahaya itu
dengan ibu jarinya, penuh kasih sayang. “Ini nyebar, Mas. Pelan-pelan. Mulai
dari kaki, sekarang udah sampe tangan. Bentar lagi sampe jantung.”
“Lo... lo gak ke dokter?” tanyaku. Tenggorokanku kering
kerontang. “Itu infeksi, Lis.”
“Buat apa ke dokter? Ini bukan penyakit, Mas Okto. Ini upgrade,”
katanya santai. Dia meminum kopinya lewat sedotan sampai bunyi sruuuput
yang mengganggu. “Lagian, gue jadi gak gampang sakit. Gue gak pernah capek. Dan
gue bisa denger hal-hal yang orang lain gak denger.”
“Hal apa?”
“Suara bumi,” jawabnya. Tatapannya menerawang ke luar
jendela, ke jalanan Jakarta yang macet total. Langit gelap, mendung tebal
menggantung. “Bumi sakit, Mas. Jakarta ini borok yang parah. Nanah di
mana-mana. Polusi. Sampah. Kebencian. Dia gak suka.”
Dia. Rusa itu.
“Lis,” aku mencondongkan tubuh. Berbisik tajam. “Apa yang lo
bawa pulang? Apa tujuan lo?”
Elisabeth menatapku lagi. Kacamata hitamnya dia lepas
sepenuhnya. Pupil matanya melebar, menelan irisnya.
“Gue gak bawa apa-apa. Dia yang bawa gue. Gue cuma
wadah, Mas. Inkubator.”
Dia berdiri. Mengambil kantong plastik jaketnya.
“Gue balik dulu ya. Mau hujan. Dia suka hujan. Airnya
jadi seger. Konduktor yang baik.”
“Tunggu,” tahanku. “Lo mau ngapain?”
Elisabeth menoleh. Lampu jalanan mulai menyala di luar,
memantul di wajahnya yang terlalu sempurna. Di belakangnya, kilat menyambar
langit Jakarta.
“Tenang aja, Mas Okto. Gue cuma mau ‘bersihin’ tempat ini
dikit-dikit. Bagi-bagi cahaya. Sayang kalo dinikmatin sendiri.”
Dia tertawa kecil. Lalu berjalan keluar. Melangkah ringan
menembus kerumunan manusia di trotoar Cikini.
Aku melihatnya pergi. Dan di tengkuk lehernya, di bawah
rambut yang dikuncir, aku melihat cahaya biru itu berkedip. Bip. Bip. Bip.
Singkron dengan lampu neon kedai kopi yang tiba-tiba berkedip gila-gilaan.
Aku kembali menatap laptopku yang terbuka. Kursor berkedip
di halaman kosong.
Judul: Cahaya Sakit.
Aku mulai mengetik. Cepat. Panik. Jari-jariku gemetar. Aku
harus menuliskannya. Bukan untuk menghibur pembaca. Bukan untuk royalti. Tapi
sebagai peringatan. Sebuah manual bertahan hidup yang menyamar sebagai fiksi.
Bahwa invasi tidak selalu datang dari piring terbang di
langit dengan senjata laser. Kadang, invasi datang dari seorang gadis manis
yang pulang dari liburan, membawa “oleh-oleh” di dalam darahnya.
Dan jika suatu hari nanti, kalian melihat tetangga kalian,
atau teman kantor kalian, punya urat yang bersinar biru di bawah kulitnya...
Atau jika anjing kalian tiba-tiba ketakutan melihat seseorang yang tersenyum
ramah...
Jangan tanya itu tato atau bukan. Jangan ajak ngobrol.
Lari. Lari sekencang-kencangnya. Matikan lampu.
Bersembunyilah dalam gelap.
Karena Rusa itu sudah ada di sini. Dan dia sedang beternak
di dalam kota kita.
Aku menutup laptop dengan kasar. Napasku memburu. Perutku
mual. Kopi yang kupesan rasanya seperti lumpur. Aku butuh air dingin. Aku butuh
mencuci muka untuk meyakinkan diriku bahwa aku masih waras, bahwa aku masih
dipihak manusia.
Aku berjalan sempoyongan ke kamar mandi di belakang kafe.
Kamar mandinya sempit, bau karbol murahan, dengan cermin retak di atas
wastafel.
Aku memutar keran. Air dingin membasuh wajahku. Sadar,
Okto. Sadar. Lo cuma penulis. Lo bukan pahlawan. Tugas lo cuma nulis, kasih
peringatan, lalu sembunyi.
Aku mengambil tisu, mengelap wajahku. Lalu aku melihatnya di
cermin.
Bukan di wajah. Tapi di tangan kananku. Tangan yang
kugunakan untuk menulis cerita ini.
Di sela-sela jari manis dan kelingking. Ada garis tipis.
Sangat tipis.
Awalnya aku pikir itu cuma memar karena terbentur meja. Tapi
kemudian, garis itu berdenyut.
Bip.
Warnanya biru. Biru Chernobyl. Biru yang sama dengan
tanduk rusa itu. Biru yang sama dengan urat nadi Elisabeth.
Aku terdiam. Menatap tanganku sendiri seperti menatap alien.
Aku mencoba menggosoknya dengan tisu. Kuat-kuat. Sampai kulitku merah. Tapi
cahayanya tidak hilang. Justru makin terang, seolah mengejek usahaku.
Aku tertawa. Suara tawaku memantul di dinding keramik kamar
mandi yang kotor. Terdengar sumbang. Terdengar gila.
Elisabeth benar. Cahaya itu hanya bisa dilihat oleh mereka
yang retak. Dan aku? Aku sudah retak jauh sebelum aku menginjakkan kaki
di Skandinavia. Kegelapan hatiku, sinisku, trauma saat Ayah pergi dan juga obsesiku
pada hal-hal mengerikan... itu semua adalah celah pintu yang terbuka lebar.
Ini Adalah kenyataan pahit.
Rusa itu tidak bodoh. Dia tidak menaruh semua telurnya dalam
satu keranjang.
Elisabeth adalah Ratu. Sang penyebar utama. Yang kuat. Tapi
aku?
Aku melihat pantulan diriku di cermin yang retak. Mataku
terlihat normal, tapi di kedalamannya, aku melihat bayangan tanduk itu.
Aku adalah Backup Drive. Aku adalah cadangan. Jika
Elisabeth gagal, akulah Rencana B.
Dan hal yang paling mengerikan? Saat aku melihat cahaya biru
di tanganku ini... aku tidak merasa takut lagi. Aku merasa... hangat. Aku
merasa tidak sendirian.
Aku keluar dari kamar mandi. Kembali ke mejaku. Membuka
laptop lagi. Menatap kalimat terakhir yang kutulis: Lari
sekencang-kencangnya.
Aku tersenyum tipis. Menghapus kalimat itu. Dan mengetik
kalimat baru:
Atau... berhentilah berlari. Dan biarkan cahaya itu memelukmu.
Bersambung ke Episode 2...