PAKET: Cinta dari Celah Sempit

PAKET

by L.T. Oktonawa

Bab 1: Kotak Pandora Kardus Cokelat

Bunyi motor itu.

Aku kenal bunyinya. Knalpot cempreng yang dipaksakan nge-bass. Suara rem yang berdecit malas. Lalu, standar motor yang dihantam ke aspal. Ctak.

Itu suara Tuhan.

Bukan. Itu suara kurir. Tapi bagiku sama saja.

Aku melempar selimut. Bau apek menguar. Biar saja. AC kamar berdengung lelah, suhunya 18 derajat tapi keringat dingin tetap menempel di tengkuk. Aku bangun. Kaki menyentuh lantai keramik yang dingin. Licin. Mungkin bekas tumpahan mi instan semalam yang lupa kuelap. Atau tumpahan coke.

"Paket!"

Teriakan itu. Mantra.

Jantungku berdegup. Bukan karena cinta. Karena dopamin. Hormon murah yang kubeli seharga ongkos kirim. Aku butuh itu. Aku butuh robekan selotip. Aku butuh bau kardus baru. Aku butuh rasa memiliki.

Di luar sana, orang-orang saling menyakiti dengan kata-kata dan ekspektasi. Tapi barang belanjaan tidak pernah menuntut. Mereka datang, diam, dan menjadi milikku sepenuhnya. Kotak-kotak itu adalah satu-satunya teman yang bisa kupilih, satu-satunya kejutan yang bisa kukontrol. Setidaknya, itulah yang kupikirkan sampai hari ini.

Aku menyambar hoodie gombrong di gantungan pintu. Menutupi tubuh kurus yang jarang kena matahari. Rambutku lepek. Masa bodoh. Kurir itu tidak peduli. Tetangga tidak peduli. Komplek perumahan subsidi ini mati. Deretan rumah tipe 36 yang pucat. Jarak antar pintu rapat, tapi penghuninya jauh.

Kunci pintu utama kuputar. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Slot atas. Slot bawah. Rantai.

Aku paranoid? Mungkin.

Dunia luar itu jahat. Matahari itu jahat. Orang-orang itu jahat. Hanya di sini aku aman. Di dalam kotak beton ini. Bersama tumpukan kotak kardus lain yang menggunung di sudut ruang tamu. Kuburan belanjaan. Sebagian belum kubuka. Sebagian sudah jadi sampah.

Aku membuka pintu sedikit. Celah sempit. Cukup untuk tangan keluar.

"Atas nama Kak Aminah?"

Suara laki-laki. Berat. Serak.

Aku tidak melihat wajahnya. Aku tidak mau lihat. Aku cuma melihat tangan yang menyodorkan kotak seukuran sepatu. Kukunya hitam. Ada bekas luka bakar di pergelangan tangannya.

"Ya. Taruh situ aja." Suaraku kecil. Pecah. Tenggorokan kering karena belum minum sejak bangun.

"Tanda tangan dulu, Kak."

Sial.

Biasanya tidak perlu. Biasanya mereka lempar saja. Atau taruh di rak sepatu yang sudah penuh debu. Kenapa yang ini rewel?

Aku membuka pintu lebih lebar. Terpaksa. Cahaya matahari menusuk mata. Silau. Sakit. Aku menyipit. Kurir itu memakai helm full face. Kaca gelap. Jaketnya bukan jaket ojol biasa. Jaket kulit hitam, lusuh. Baunya aneh. Bukan bau matahari dan debu jalanan.

Bau tanah basah.

Dia menyodorkan hp-nya. Layar retak. Aku mencoret asal di layar itu dengan jari telunjuk yang gemetar.

"Makasih."

Dia tidak menjawab. Dia hanya diam. Helm itu menatapku. Aku bisa merasakan matanya di balik kaca gelap itu. Menelanjangi kecemasanku. Menertawakan hoodie-ku yang kotor.

Aku menyambar paket itu. Banting pintu. Kunci.

Satu. Dua. Tiga. Slot atas. Slot bawah. Rantai.

Aman.

Napas memburu. Punggungku menempel di daun pintu. Dingin kayu menjalar ke tulang belakang. Pergi. Cepat pergi. Aku menunggu suara motor itu menyala.

Hening.

Satu detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik.

Kenapa dia belum pergi?

Aku menahan napas. Telingaku menempel ke pintu. Tidak ada suara langkah kaki. Tidak ada suara mesin. Apa dia masih berdiri di sana? Di depan pintu? Menunggu?

Menunggu apa?

Aku mau mengintip lewat lubang kunci, tapi takut. Takut ada mata lain yang juga sedang mengintip dari luar. Saling bertatapan.

Satu menit berlalu.

Brrumm.

Bunyi motor menjauh. Pelan. Tanpa digas kencang. Seperti sengaja supaya tidak terdengar.

Kakiku lemas. Aku merosot duduk di lantai. Memeluk paket itu. Kotaknya ringan. Terlalu ringan. Apa yang kupesan? Skincare? Baju dinas malam? Lensa kontak? Aku lupa. Tiap malam, saat insomnia menyerang, jari-jariku menari di layar hp. Checkout. Checkout. Checkout. Lupa apa isinya, yang penting beli.

Aku membawa kotak itu ke kamar. Zona nyamanku.

Kamar ini berantakan. Ring light berdiri seperti tiang gantungan di sudut. Laptop menyala, menampilkan dashboard media sosial. Angka followers. Angka likes. Angka-angka semu yang mendefinisikan eksistensiku. Di layar itu, aku cantik. Aku mulus. Aku bahagia.

Di sini, aku cuma daging yang ketakutan.

Aku duduk di kasur. Mengambil cutter di meja nakas. Mata pisau berkarat sedikit.

Sreeet.

Suara irisan selotip. Bunyi paling indah di dunia.

Kardus terbuka. Tidak ada bubble wrap. Aneh. Biasanya seller pelit pun kasih koran bekas. Ini kosong.

Cuma ada satu kotak kecil lagi di dalamnya. Kotak beludru merah. Mirip kotak cincin, tapi lebih besar sedikit. Kotor. Beludru itu ada bercak noda gelap. Seperti minyak... atau darah kering?

Jantungku mulai tidak enak. Ritmenya kacau.

Apa aku pesan perhiasan antik? Seingatku tidak. Saldo rekeningku sedang kritis. Aku tidak mungkin beli barang mewah.

Tanganku berkeringat. Licin saat memegang kotak beludru itu. Baunya menyengat. Bau zat besi. Amis.

Aku membukanya.

Bukan cincin.

Nafasku berhenti total.

Di atas bantalan busa putih yang sudah menguning, tergeletak benda kecil itu. Warnanya putih kekuningan, kontras dengan noda merah kecokelatan yang mengering di sekitarnya.

Itu bukan batu, bukan manik-manik. Benda itu memiliki akar yang bergerigi tajam, dengan serabut daging mati yang masih menempel, seolah baru saja dicabut paksa dari gusi yang berdarah.

Gigi.

Sebuah geraham kecil yang retak di bagian mahkotanya.Dan di sebelahnya, melingkar rapi seperti cincin, adalah seikat rambut. Hitam. Panjang. Kusut. Diikat dengan benang merah tipis.

Aku melempar kotak itu.

Benda itu jatuh ke lantai. Gigi itu menggelinding. Berhenti tepat di dekat kaki meja rias.

"Anjing."

Aku mundur sampai punggung menabrak kepala ranjang. Mataku melotot ke arah gigi itu. Benda mati. Tapi rasanya dia hidup. Rasanya dia sedang menatapku.

Ini apa? Prank?

Siapa yang kirim? Haters?

Aku merangkak, mengambil kardus pembungkus tadi. Mencari label pengiriman.

Kosong.

Tidak ada nama pengirim. Tidak ada alamat toko. Tidak ada barcode ekspedisi.

Hanya ada satu stiker putih polos di tengah. Tulisan tangan. Tinta spidol hitam. Tebal. Agak miring ke kiri.

UNTUK AMINAH YANG CANTIK

Perutku mual.

Tulisan itu. Aku kenal tulisan itu? Tidak. Tapi rasanya familiar. Rasanya intim. Terlalu intim.

Aku menyambar hp. Buka aplikasi belanja. Cek riwayat pesanan. Sedang dikemas. Sedang dikirim. Tiba di tujuan. Semua wajar. Baju. Makanan kucing (padahal aku tidak punya kucing, cuma suka kasih makan kucing liar). Sabun cuci muka.

Tidak ada yang jual gigi. Tidak ada yang jual rambut.

Tanganku gemetar hebat. HP hampir jatuh. Aku harus lapor polisi? Lapor apa? "Pak, saya dapat kiriman gigi?" Mereka akan tertawa. Atau mereka akan minta bukti ancaman. Ini ancaman bukan? Ini teror.

Aku memungut gigi itu dengan tisu. Jijik. Rasanya mau muntah. Teksturnya keras, dingin. Aku memasukkannya kembali ke kotak beludru. Rambut itu juga. Baunya...

Aku mendekatkan rambut itu ke hidung. Ragu-ragu.

Baunya sampo.

Sampo stroberi murah.

Lututku lemas seketika.

Itu sampo yang kupakai. Merek yang sama. Wangi yang sama.

Aku lari ke kamar mandi. Bercermin. Menarik rambutku sendiri. Panjang, hitam, kusut. Sama. Persis.

Apa ini rambutku? Kapan dia ambil? Aku tidak pernah potong rambut di salon. Aku potong sendiri. Di sini. Di kamar mandi ini. Potongan rambut selalu kubuang ke kloset atau tempat sampah.

Siapa yang mengaduk tempat sampahku?

Atau lebih parah... siapa yang memotongnya saat aku tidak sadar?

Tidak mungkin. Pintu dikunci. Jendela diteralis. Tidak ada celah. Tikus saja susah masuk, apalagi orang.

Malam datang terlalu cepat. Langit di luar jendela berubah ungu lebam, lalu hitam pekat. Lampu jalan di komplek ini mati dua, sisanya kedip-kedip seperti mau mati juga.

Aku menyalakan semua lampu. Ruang tamu. Dapur. Kamar mandi. Lorong. Tidak boleh ada sudut gelap. Listrik boros, masa bodoh. Kegelapan menyembunyikan monster. Cahaya membakar mereka. Logika kanak-kanak, tapi itu yang kupunya.

Pukul 23.15.

Aku duduk di sofa ruang tamu. Menghadap pintu. Cutter di tangan kanan. HP di tangan kiri. Televisi menyala, volume kecil. Sinetron bodoh. Aku butuh suara manusia lain.

Tok.

Satu ketukan. Pelan. Di kaca jendela depan.

Aku membeku.

Itu bukan angin. Angin tidak mengetuk berirama.

Tok. Tok.

Jelas. Kaca bergetar sedikit.

Gorden tertutup rapat. Gorden tebal warna abu-abu. Aku tidak bisa lihat keluar.

"Siapa?" teriakku. Suaraku sumbang. Terdengar menyedihkan di telingaku sendiri.

Hening.

Aku berdiri. Kaki seperti jeli. Aku melangkah mendekati jendela. Cutter kuacungkan ke depan. Konyol. Kalau dia di luar, cutter ini buat apa? Buat potong gorden?

Aku menyibakkan gorden sedikit. Sangat sedikit.

Gelap. Teras kosong. Pagar tertutup. Tidak ada orang.

Hanya ada satu amplop cokelat tergeletak di lantai teras. Tepat di depan pintu.

Kapan dia taruh?

Aku tidak dengar pagar dibuka. Pagar itu berkarat. Engselnya menjerit kalau didorong. Tadi tidak ada suara jeritan besi. Bagaimana dia bisa masuk ke teras tanpa buka pagar? Lompat? Pagar itu tinggi, ujungnya runcing.

Keingintahuan adalah penyakit. Dan aku sakit parah.

Aku membuka kunci pintu. Slot atas. Slot bawah. Rantai. Tangan gemetar bikin proses ini lama. Sialan. Cepat.

Pintu terbuka. Angin malam menampar wajah. Dingin.

Aku menyambar amplop itu secepat kilat. Masuk lagi. Banting pintu. Kunci lagi.

Satu. Dua. Tiga.

Punggung menempel pintu lagi. Jantung rasanya mau meledak. Sakit di dada kiri.

Amplop ini tipis. Tidak ada tulisan apa-apa. Polos.

Aku merobeknya kasar.

Isinya selembar foto. Foto polaroid.

Gambar di foto itu buram karena minim cahaya. Grainy. Kualitas rendah. Tapi objeknya jelas.

Seorang perempuan sedang tidur. Mulut sedikit terbuka. Selimut motif beruang menutupi sampai dada. Rambut berantakan di bantal.

Itu aku.

Itu selimutku. Itu bantalku.

Aku membalik foto itu. Ada tulisan lagi. Spidol hitam yang sama.

TIDURMU NYENYAK SEKALI, SAYANG.

Mataku beralih dari foto ke kamar tidurku. Pintunya terbuka.

Foto ini diambil dari sudut lemari pakaian. Dari atas.

Sudut high angle.

Siapapun yang memotret ini, dia tidak berdiri di lantai. Dia tidak mengintip dari jendela.

Dia ada di atas lemari.

Atau dia melayang.

Atau dia tinggi sekali.

Aku berlari ke kamar. Mengecek lemari. Kosong. Mengecek kolong kasur. Kosong. Mengecek jendela. Terkunci rapat. Teralis utuh. Tidak ada bekas congkelan.

Keringat dingin membasahi punggung.

Aku melihat sekeliling ruangan. Kamar ini 3x3 meter. Tidak ada tempat sembunyi.

Kecuali...

Mataku tertuju ke plafon.

Ada satu kotak akses ke atap di sudut langit-langit. Tripleknya sedikit miring. Ada celah hitam selebar jari di sana.

Gelap.

Dan dari celah itu, aku merasa ada yang sedang melihatku.

Tidak. Itu cuma sugesti. Itu cuma bayangan. Plafon itu sudah miring sejak aku pindah setahun lalu. Rumah subsidi kualitas rendah. Fondasi turun. Wajar.

Wajar, kan?

Aku mundur keluar kamar. Menutup pintu kamar rapat-rapat. Menguncinya dari luar.

Malam ini aku tidur di ruang tamu. Dengan lampu menyala. Dengan cutter di tangan.

Tapi sebelum itu, aku butuh bukti. Polisi butuh bukti.

Aku mengambil HP. Buka aplikasi marketplace.

Cari: CCTV Wi-Fi. Night Vision. Motion Detector. Pengiriman Instan.

Beli.

Besok, rumah ini akan jadi benteng. Tidak akan ada lagi tikus yang bisa masuk tanpa kulihat.

Tapi malam ini... malam ini panjang sekali.

Dan di dalam kamar yang terkunci itu, aku mendengar sesuatu. Lirih. Sangat lirih.

Seperti suara kuku menggaruk gypsum.

Sreeek... sreeek...

Aku membesarkan volume TV.

Aku tidak dengar. Aku tidak dengar. Aku tidak dengar.


Bab 2: Penjara Kaca dan Mata-Mata Kecil

Paket itu datang lagi. Kali ini pesanan sadar.

Empat kotak putih. CCTV Wi-Fi. 1080p. Night Vision.

Aku menyobek segelnya kasar. Tidak ada waktu baca manual. Ketakutan membuatku jadi teknisi dadakan. Aku panjat kursi. Bor menyalak. Drrrrt. Debu tembok masuk mata. Pedih. Masa bodoh.

Satu di ruang tamu. Sapu bersih pintu utama dan jendela. Satu di dapur. Satu di lorong. Satu lagi di kamar tidur. Tepat di atas lemari, menodong ke kasurku.

Koneksi hidup. Layar HP-ku jadi papan catur. Empat kotak. Empat sudut neraka kecilku.

Kotak 1: Sofa abu-abu. Kotak 2: Piring kotor. Kotak 3: Lorong gelap. Kotak 4: Kasurku.

"Aman," bisikku. Bohong. Ini cuma plasebo digital.

Siang bolong aku ke polsek. Matahari menyengat, tapi aku menggigil.

Di meja piket, polisi muda itu duduk santai. Nametag-nya: VERREL. Wajahnya terlalu bersih, rambutnya terlalu klimis untuk mengurusi orang gila sepertiku. Dia main HP, rokok mengepul. Dan dia pakai rompi anti peluru. Kevlar.

"Jadi, Mbak diteror?" tanyanya tanpa menoleh.

"Iya. Paket aneh. Gigi. Rambut. Foto saya tidur." Aku banting barang bukti ke meja.

Verrel melirik malas. Dia pungut plastik berisi gigi itu dengan ujung jari, jijik. "Gigi asli?"

"Masih ada akarnya. Bau amis."

Dia terkekeh, melempar plastik itu kembali ke meja. "Mainan resin ini, Mbak. Atau properti syuting? Jaman sekarang orang rela ngelakuin apa aja demi konten FYP." Verrel menatapku tajam, sorot matanya bukan cuma malas, tapi lelah.

"Denger, Mbak Aminah. Sebulan ini ada lima laporan teror kayak gini. Ujung-ujungnya apa? Mantan iseng, atau halusinasi karena kurang tidur. Gak ada kerusakan pintu, gak ada jendela dicongkel. Kalau saya kirim tim forensik cuma buat sebutir gigi mainan, saya yang dipecat."

"Jadi nunggu saya mati dulu?"

"Jangan drama. Kita tampung laporannya. Saran saya: ganti kunci, pasang CCTV."

"Sudah!"

"Ya bagus. Kalo ada rekaman malingnya masuk, bawa sini. Kalo cuma foto ginian... susah. Siapa tau Mbak lupa kunci pintu, terus temen iseng masuk."

Aku sambar tasku. Keluar. Banting pintu.

Polisi sampah. Hukum cuma buat orang yang punya duit atau punya mayat. Aku belum punya dua-duanya.

Malam kedua.

Rumahku jadi kokpit pesawat tempur. Laptop, tablet, HP. Semua nyala. Menampilkan satu hal: live feed rumah sendiri.

Jam 01.15.

Mata sepet. Kopi habis. Jantung berpacu lebih cepat dari jam dinding. Hening. Cuma suara dengung kulkas dan napasku yang putus-putus.

Ting.

WhatsApp masuk.

Aji: Kamu kenapa sih yank? Spam chat gak jelas. Obat abis?

Darahku naik. Aji pacarku, tapi empatinya nol.

Aminah: Serius, Ji. Ada yang masuk. Verrel si polisi itu gak guna. Sini temenin. Aku takut.

Aji: Gak bisa. Lembur. Besok pagi aku mampir. Kunci pintu. Tidur. Jangan halu.

HP kulempar ke kasur. Aji gak akan datang. Aku sendiri.

Fokus. Layar CCTV. Mata berpindah cepat. Tamu. Dapur. Lorong. Kamar.

Tunggu. Kamera 1. Ruang Tamu. Gorden jendela bergerak. Sedikit. Tapi pasti. Seperti ada tangan yang menyibak dari balik kain.

Aku zoom. Pecah. Piksel buram menari. Angin? Mustahil. AC mati. Aku turun dari kasur. Sambar cutter. Lari kecil ke ruang tamu. Kosong. Jendela terkunci rapat. Gorden diam. Paranoia? Mungkin.

Aku ke dapur. Ambil air. Tangan gemetar bikin air tumpah ke dagu. Saat mau balik ke kamar, HP di saku celana bergetar panjang. Alarm aplikasi.

MOTION DETECTED: BEDROOM - 01:20 AM

Jantungku berhenti. Kamar tidur? Aku baru saja keluar dari sana lima detik lalu!

Tangan gemetar membuka notifikasi. Putar klip rekaman. Mode Night Vision. Hitam putih.

Detik 01: Aku keluar kamar bawa cutter. Detik 03: Kamar kosong. Detik 05: Kolong kasur bergerak.

Mataku melotot. Napas tercekat. Tangan. Tangan panjang, kurus, pucat. Jari-jarinya terlalu banyak ruas. Keluar dari celah dipan. Meraba lantai.

Kepala menyembul. Rambut panjang gimbal menutupi muka. Sosok itu merangkak keluar. Patah-patah. Seperti serangga raksasa. Dia berdiri. Tinggi. Kurus kering. Baju hitam ketat. Dia berdiri di tengah kamarku. Lalu mendongak. Menatap lurus ke kamera CCTV.

Dia melambai. Pelan. Mengejek.

Dia tahu aku nonton.

Sekarang... dia ada di dalam kamar itu. Kunci pintu depan ada di meja rias di dalam kamar. Kunci pintu belakang juga sama.

Aku terkunci. Bersama dia.

Sreeek.

Suara seretan kaki. Bukan dari kamar. Dari atas. Plafon dapur.

Aku mendongak pelan. Ventilasi udara berkarat. Ada mata. Putih. Tanpa pupil. Menatapku dari celah jeruji besi. Mulutnya menyeringai. Gigi runcing kekuningan.

Ctak.

Listrik mati. Gelap total. Sinyal Wi-Fi putus. "Aminah..." Bisikan itu. Serak. Dekat. Di telinga.

Aku lari buta. Tabrak meja makan. Kursi jatuh. Gaduh. Pojok dapur. Aku meringkuk di samping kulkas. Tutup telinga. "Tolong... tolong..."

Tap. Tap. Tap. Langkah kaki cepat di lantai keramik. Bukan sepatu. Kuku. Mendekat.

Aku memejamkan mata rapat-rapat. Menunggu sakit. Menunggu pisau. Hening. Satu menit. Dua menit. Tidak ada sentuhan.

Aku nyalakan senter HP. Baterai 12%. Cahaya menyapu dapur. Kosong.

Tapi di pintu kulkas, ada yang baru. Foto polaroid. Masih basah. Ditempel pakai ludah.

Aku mendekat. Foto itu buram kena flash. Gambar seorang perempuan meringkuk di pojok dapur. Aku. Barusan. Dan di belakangku... sosok hitam itu berdiri membungkuk. Wajahnya menempel di rambutku.

Dia tidak pergi. Dia main-main.

Bip. HP getar. Listrik nyala mendadak. Silau. Foto di kulkas hilang. Tidak ada jejak.

Gila? Apa aku gila?! Tanganku gemetar buka HP. Koneksi CCTV balik. Cek Kamera 4. Kamar tidur.

Darahku surut. Kasurku rapi. Seprai bunga biru sudah hilang. Diganti seprai merah darah. Licin. Rapi. Tanpa kerutan.

Dan di tengah kasur... Boneka beruang masa kecilku duduk manis. Lehernya terlilit kabel charger HP. Matanya menatap kamera.

Boneka itu... harusnya ada di kardus gudang. Di atas plafon. Yang dipaku mati.

Dia sudah turun.


Bab 3: Tamu Tak Diundang dan Tetangga yang Tuli

Matahari terbit. Cahayanya abu-abu, menembus gorden yang kusingkap sedikit.

Aku masih di posisi yang sama. Duduk di lantai ruang tamu, punggung menempel pada kaki sofa. Pisau dapur di pangkuan. Mata merah, perih, bengkak.

Aku selamat.

Atau mungkin dia sengaja membiarkanku hidup untuk satu ronde lagi.

Di layar HP, feed CCTV kamar tidur masih menampilkan pemandangan yang sama. Seprai merah darah. Boneka beruang yang terjerat kabel. Benda itu diam. Menatap lensa kamera dengan mata kancing plastik yang mati.

Aku tidak berani masuk ke sana. Aku kencing di botol air mineral kosong di dapur karena takut ke kamar mandi. Bau pesing bercampur bau keringat dingin memenuhi ruang tamu.

Brak. Brak. Brak.

Pintu depan digedor. Keras.

Aku tersentak. Pisau teracung otomatis.

"Aminah! Buka!"

Suara Aji.

Napas yang tertahan di dada perlahan keluar. Aji. Dia datang. Dia nyata.

Aku merangkak, memindahkan kursi pengganjal pintu. Tangan gemetar memutar kunci. Slot atas. Slot bawah. Rantai.

Pintu terbuka.

Aji berdiri di sana. Wajahnya kusut. Masih pakai kemeja kerja kemarin yang sudah lecek. Dia menatapku dari atas ke bawah. Tatapan jijik bercampur kaget.

"Astaga. Kamu kayak mayat hidup."

Dia masuk tanpa permisi. Bau parfum murah dan rokok menyeruak. Dulu bau ini menenangkan. Sekarang, bau ini membuatku waspada.

"Kamu dari mana?" tanyaku. Suaraku serak, seperti parutan kelapa.

"Kerja lah. Lembur. Kan aku udah bilang di WA." Dia melempar tas kerjanya ke sofa. Tas itu berat. Bunyinya buk saat mendarat.

Isinya apa? Laptop? Atau... alat pemotong? Tali?

Otakku mulai menyusun skenario. Aji punya kunci cadangan. Aji tahu letak sekring listrik. Aji tahu aku sendirian.

"Kamu bohong," bisikku.

Aji berhenti melangkah. Dia menoleh. "Apa?"

"Kamu bohong. Semalam kamu ke sini, kan?"

Aji mengerutkan kening. "Ngaco. Aku di kantor sampai jam 3 pagi. Terus tidur di mushola kantor sebentar. Nih, liat log absen kalau nggak percaya."

Dia merogoh saku celana. Mengeluarkan HP.

Gerakannya cepat. Tanganku mencengkeram pisau lebih erat di balik punggung.

"Ngapain kamu pegang pisau?" Matanya menyipit. Dia melihat gagang kayu yang menyembul dari balik pinggangku.

"Jaga diri. Ada orang masuk semalam, Ji. Dia ganti seprai kasurku. Dia taruh boneka."

Aji menghela napas panjang. Napas orang yang lelah menghadapi drama. "Mana? Coba liat."

Dia berjalan menuju kamar tidur. Langkahnya mantap. Tidak ada rasa takut. Tentu saja dia tidak takut. Kalau dia pelakunya, kenapa harus takut?

Aku mengikutinya dari jarak aman. Tiga langkah di belakang. Pisau siap di tangan.

Aji berdiri di ambang pintu kamar. Dia diam.

"Anjir..." gumamnya.

Dia melihat seprai merah itu. Dia melihat boneka beruang itu.

"Kamu beli seprai baru lagi? Kapan? Perasaan duit kamu lagi seret."

Pertanyaan bodoh.

"Bukan aku yang beli! Orang itu yang pasang! Dia masuk, Aji! Dia ngumpet di kolong kasur!"

Aji masuk ke kamar. Dia menyentuh seprai merah itu. Mengelusnya.

"Bahannya bagus. Satin. Mahal nih."

"Aji! Dengerin aku!" Aku menjerit. "Ada orang gila di rumah ini!"

Aji berbalik. Wajahnya merah. "Kamu yang gila, Aminah! Liat diri kamu! Rambut gimbul, bau pesing, bawa-bawa pisau! Kamu lupa minum obat berapa hari?"

"Aku nggak gila!"

"Terus ini apa?" Aji menunjuk boneka beruang itu. "Ini boneka kamu jaman SD kan? Yang kamu simpen di gudang atas? Siapa yang bisa ambil kalau bukan kamu sendiri? Kamu manjat plafon malem-malem pas lagi kumat, terus lupa. Iya kan?"

"Enggak!"

"Ngaku aja. Dulu juga gitu. Kamu belanja online jutaan, terus pas barang dateng kamu nangis-nangis bilang nggak pesen. Amnesia disosiatif. Kata dokter gitu kan?"

Dada kiriku nyeri. Aji menggunakan masa laluku sebagai senjata. Dia memutarbalikkan fakta.

"CCTV..." kataku terbata. "Aku punya rekaman CCTV. Orang itu keluar dari kolong kasur."

Aku menyodorkan HP-ku. Membuka aplikasi. Galeri rekaman.

File Corrupted.

Layar hitam. Ada tulisan peringatan merah. File tidak bisa diputar.

Aku coba file lain. Rekaman saat mati lampu.

File Corrupted.

Tanganku dingin. "Tadi ada... sumpah tadi ada..."

Aji tertawa sinis. "Tuh kan. Halu. Udahlah, Min. Kamu butuh psikiater, bukan polisi. Ayo mandi. Bau banget sumpah. Kita ke rumah sakit."

Dia maju selangkah hendak memegang tanganku.

Aku mundur. Mengacungkan pisau. "JANGAN SENTUH!"

Aji berhenti. Matanya melotot. "Oke. Oke. Tenang. Taruh pisaunya."

"Keluar."

"Min..."

"KELUAR! Kamu sekongkol sama dia kan? Atau kamu pelakunya? Kamu yang edit CCTV-nya? Kamu orang IT, Ji. Kamu bisa kan ngerusak file dari jauh?"

Aji menggeleng tak percaya. "Wah, sakit jiwa beneran ni orang. Aku mau nolongin kamu, Min."

"Keluar atau aku teriak!"

Aji mengangkat tangan. Menyerah. "Oke. Aku pergi. Terserah. Mati aja sekalian sama halusinasi kamu."

Dia menyambar tasnya di sofa. Berjalan ke pintu.

Sebelum keluar, dia berhenti. Tanpa menoleh, dia bicara.

"Kunci cadangan yang kamu kasih ke aku, udah ilang seminggu lalu. Jatuh di jalan kayaknya. Jadi kalau ada yang masuk, mungkin yang nemu kunci itu. Pikirin itu."

Blam.

Pintu tertutup.

Aku sendirian lagi.

Lututku lemas. Aku jatuh terduduk.

Kunci cadangan hilang? Seminggu lalu? Dan dia baru bilang sekarang?

Atau dia bohong?

Kepalaku pening. Siapa yang harus dipercaya? Rekaman CCTV rusak. Bukti fisik dianggap prank. Pacar sendiri menganggapku gila.

Aku merangkak ke pintu. Menguncinya lagi.

Siang itu berjalan lambat seperti siksaan. Aku tidak berani tidur. Aku minum kopi sachet tiga bungkus tanpa gula. Jantungku berdetak menyakitkan, seperti mau robek dari tulang rusuk.

Aku memutuskan untuk memeriksa sekeliling rumah. Mencari celah. Aji bilang kunci hilang. Berarti pelakunya masuk lewat pintu depan?

Tapi CCTV ruang tamu tidak merekam siapa pun masuk. Pintu tidak pernah terbuka di rekaman, kecuali saat kurir datang dan saat aku ambil foto.

Lalu lewat mana?

Aku berjalan memutari rumah. Sempit. Jarak dinding rumahku dengan tembok tetangga cuma satu meter. Gang tikus yang lembap, penuh lumut.

Di dinding samping kamar tidur, ada jendela kecil. Jendela ventilasi. Tingginya dua meter dari tanah. Terlalu kecil untuk manusia dewasa. Kucing mungkin bisa.

Aku mendongak. Di atas jendela itu, ada pipa talang air. Pipa paralon abu-abu yang menjalar naik ke atap.

Pipa itu kotor. Ada bekas lumpur.

Bekas telapak tangan?

Aku menyipitkan mata. Matahari silau. Ya, ada noda cokelat di pipa putih itu. Seperti bekas cengkeraman tangan yang kotor oleh tanah basah.

Dia memanjat?

"Mbak Aminah!"

Aku meloncat kaget. Jantung hampir copot.

Di balik pagar tembok samping yang rendah, muncul kepala Ibu Tejo. Tetangga sebelah. Rambutnya disanggul asal-asalan, daster batik kedombrongan.

"Eh, Bu... Bu Tejo. Kaget saya."

Bu Tejo tidak tersenyum. Wajahnya masam.

"Mbak, tolong dong kalau malam itu jangan gaduh. Saya punya bayi, lho. Kaget terus."

"Gaduh gimana, Bu? Saya sendirian..."

"Halah. Itu lho, lari-lari. Gluduk-gluduk. Kayak kuda." Bu Tejo menunjuk ke atas. "Di atas plafon. Di genteng. Kenceng banget suaranya. Masa tikus segede itu? Suami saya mau naik ngecek takut gentengnya pecah, tapi hujan deras."

Darahku berhenti mengalir.

Di atas plafon.

Aji bilang boneka itu dari gudang atas plafon. Bu Tejo dengar suara lari di genteng/plafon.

"Jam berapa, Bu?" tanyaku pelan.

"Ya tengah malem. Jam satu, jam dua. Tiap malem lho, Mbak. Seminggu ini. Kalau Mbak lagi senam atau apa, mbok ya siang aja."

Seminggu ini.

Sesuai dengan hilangnya kunci Aji. Sesuai dengan awal teror paket itu.

"Maaf, Bu. Nanti saya cek. Mungkin musang."

Bu Tejo mendengus. "Musang kok pake sepatu boot suaranya berat gitu. Awas lho, nanti plafonnya jebol."

Kepalanya menghilang dari balik tembok.

Aku berdiri mematung di gang sempit itu. Menatap atap rumahku sendiri. Genteng tanah liat yang kusam, berlumut.

Ada sesuatu di sana.

Bukan hantu. Bukan Aji.

Ada orang di atas sana.

Dia tidak masuk lewat pintu. Dia masuk dari atas. Membuka genteng? Masuk ke rongga plafon?

Lalu, bagaimana dia masuk ke kamar?

Lubang plafon di kamar tidur!

Triplek yang miring itu. Yang kulihat di Bab 1. Celah hitam selebar jari.

Itu bukan karena fondasi turun. Itu karena sering dibuka-tutup.

Dia turun saat aku tidur. Dia naik lagi sebelum aku bangun.

Tubuhku menggigil hebat. Panas matahari tidak terasa.

Aku berlari masuk ke rumah. Mengunci pintu belakang. Menyeret meja makan untuk mengganjalnya.

Aku masuk ke kamar tidur dengan napas tertahan. Mendongak ke langit-langit.

Triplek di pojok itu.

Sekarang, di siang hari, aku bisa melihatnya lebih jelas.

Ada bekas jari hitam di pinggiran cat putih gypsum. Bekas minyak. Bekas daki.

Dan sehelai rambut panjang menjuntai dari celah itu. Bergoyang pelan kena angin AC.

Dia di sana.

Mungkin sekarang pun dia sedang melihatku dari celah itu.

Aku mundur pelan-pelan. Keluar kamar.

Aku harus apa?

Naik ke atas dan melawannya? Aku cuma punya pisau dapur dan tubuh seberat 45 kilo. Dia... dari rekaman tangan itu... dia besar. Tangannya panjang. Kuat.

Lapor Verrel? Dia akan ketawa. "Ada musang di genteng lapor polisi?"

Panggil tukang? Siapa yang mau datang sore-sore begini ke perumahan sepi?

Aku harus menjebaknya.

Kalau dia memang tinggal di atas, dia butuh turun. Dia butuh makan. Dia butuh minum.

Aku melihat ke dapur. Sisa mi instan di panci semalam sudah habis. Bersih. Dijilat sampai kering.

Aku pikir aku yang makan sambil melamun. Ternyata bukan.

Dia hama. Hama manusia.

Aku punya rencana. Rencana gila.

Aku pergi ke dapur. Mengambil racun tikus. Bubuk hitam yang kubeli bulan lalu tapi belum sempat dipakai.

Aku masak mi instan lagi. Dua bungkus. Baunya harum. Menyengat.

Aku taburkan bubuk hitam itu ke dalam kuah mi. Mengaduknya rata. Warnanya jadi agak keruh, tapi tertutup bumbu kecap.

Aku taruh mangkuk itu di meja makan. Di tengah-tengah.

Lalu aku "pergi".

Aku buka pintu depan keras-keras. "Aku pergi dulu ya! Mau nginep di hotel!" teriakku pada rumah kosong.

Aku banting pintu dari luar. Menguncinya.

Tapi aku tidak pergi.

Aku mengendap-endap lewat samping rumah. Masuk lagi lewat jendela gudang belakang yang engselnya rusak—satu-satunya celah yang lupa aku perbaiki, dan aku harap dia tidak tahu aku tahu.

Aku sembunyi di dalam lemari sapu di dapur. Sempit. Bau debu.

Dari celah pintu lemari, aku bisa melihat meja makan.

Aku menunggu.

Jam 5 sore. Langit mulai gelap. Hujan turun lagi. Rintik-rintik, lalu menderas. Suara air menghantam atap seng kanopi meredam segalanya.

Kakiku kram. Semut menggigit betis. Aku tidak bergerak.

Bau debu di dalam lemari mulai mencekik. Oksigen menipis, digantikan oleh aroma pesing dari pel kain yang belum kering. Setiap detak jarum jam di dinding ruang tengah terdengar seperti palu godam yang menghantam kepalaku.

Tik. Tak. Tik. Tak.

Aku ingin batuk, tenggorokanku gatal bukan main, tapi kutahan mati-matian sampai air mata merembes keluar.

Salah sedikit, aku mati.

Jam 6 sore. Maghrib lewat. Gelap. Lampu dapur tidak kunyalakan. Hanya ada cahaya remang dari lampu jalan yang masuk lewat ventilasi.

Kreek.

Suara itu.

Bukan dari pintu.

Dari lorong.

Suara langkah kaki berat. Tidak diseret. Tapi hati-hati.

Aku menahan napas. Jantungku berdetak begitu keras sampai rasanya seluruh lemari ikut bergetar.

Sosok itu muncul dari kegelapan lorong.

Tinggi. Sangat tinggi. Kepalanya hampir menyentuh kusen pintu.

Rambutnya panjang, gimbal, menutupi wajah. Bajunya... itu baju-baju bekas milikku yang hilang dari jemuran. Daster. Kaos oversize. Dia memakainya berlapis-lapis, membuatnya terlihat bengkak dan aneh.

Baunya tercium sampai ke dalam lemari. Bau tanah basah. Bau kencing. Bau busuk daging mati.

Dia berjalan ke meja makan. Melihat mangkuk mi itu.

Dia mendengus. Seperti binatang mengendus mangsa.

Tangannya—tangan pucat dengan kuku hitam panjang itu—mengambil mangkuk.

Dia tidak pakai sendok. Dia mengangkat mangkuk itu dan menenggaknya langsung.

Bunyi slurp yang menjijikkan memenuhi dapur.

Minum. Habiskan. Matilah kau.

Tiba-tiba dia berhenti.

Dia membanting mangkuk itu ke lantai. Prang! Pecah berkeping-keping. Kuah racun berceceran.

Dia tahu.

Kepalanya berputar cepat. Mencari-cari.

Bukan ke arah pintu keluar.

Tapi lurus ke arah lemari sapu tempatku sembunyi.

Dia menggeram. Suara rendah yang bergetar di dada.

"Aminah..."

Dia tidak memanggil. Dia mengejek.

Dia berjalan mendekat.

Aku mencengkeram pisau di dada.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiba-tiba, HP-ku di saku celana berbunyi.

Bukan notifikasi WA. Bukan telepon.

Tapi suara alarm token listrik yang habis.

Tit. Tit. Tit. Tit.

Suaranya nyaring sekali di keheningan dapur.

Sosok itu berhenti tepat di depan pintu lemari.

Aku bisa melihat jemari kakinya yang telanjang, hitam, dan bengkak dari celah bawah pintu.

Dia membungkuk.

Mata putih tanpa pupil itu menempel di celah ventilasi pintu lemari. Menatap mataku.

"Kamu pelit," bisiknya. "Minya nggak enak."

Lalu dia tertawa. Suara tawa kering, seperti gesekan dahan pohon mati.

Dia memegang pegangan pintu lemari.

Dan menariknya.


Bab 4: Labirin Tanpa Cahaya

Pintu lemari terbuka.

Bau busuk itu menghantam wajahku lebih dulu daripada sosoknya. Bau got, bau keringat basi, dan bau aneh yang manis... bau darah lama.

Aku tidak berpikir. Otak reptilku mengambil alih.

Saat tangan pucat itu terulur hendak meraih rambutku, aku mengayunkan pisau dapur di tanganku. Membabi buta.

Sreeet!

Bukan suara tusukan. Suara sobekan.

"ARGH!"

Makhluk itu meraung. Suaranya serak, pecah, sangat manusiawi. Pisauku mengenai lengan bawahnya. Darah hitam muncrat ke wajahku. Hangat. Amis.

Dia mundur selangkah, memegang tangannya yang robek.

Itu celahku.

Aku menendang tulang keringnya sekuat tenaga, lalu menghambur keluar dari lemari sapu. Kakiku tergelincir di atas pecahan mangkuk dan kuah mi beracun yang licin. Aku jatuh berlutut. Kaca menusuk lututku. Perih.

"Jalang kecil..." geramnya.

Dia menerjang.

Aku berguling ke samping. Tangannya menghantam lantai keramik tempat kepalaku berada sedetik lalu. Brak! Lantai retak. Tenaganya gila.

Aku bangkit dan lari.

Bukan ke pintu depan—terlalu jauh, ada meja makan yang menghalangi. Bukan ke pintu belakang—terkunci dan diganjal meja.

Ke kamar.

Benteng terakhirku.

Aku berlari menyusuri lorong sempit itu. Napasku seperti peluit rusak. Di belakangku, suara langkah kaki berat mengejar. Dug. Dug. Dug. Dia tidak lari. Dia melompat-lompat besar seperti binatang buas.

"Jangan lari, Aminah! Di atas dingin! Aku butuh hangat!"

Aku membanting pintu kamar. Memutar kunci.

Brak!

Tubuhnya menabrak pintu tepat saat slot terkunci. Kayu pintu berderit ngeri. Engsel atas sedikit goyah.

"Buka!"

Brak! Brak!

Aku mundur. Menyeret lemari laci plastik ke depan pintu. Menyeret meja rias. Apa saja.

Di luar, dia mengamuk. Dia mencakar pintu. Suara kukunya... sreet... sreeet... bikin ngilu sampai ke gigi.

Lalu, tiba-tiba hening.

Hanya suara hujan deras di luar dan napasku yang memburu.

Kenapa dia berhenti?

Tit. Tit. Tit.

Suara alarm token listrik di dapur masih berbunyi samar-samar. Irama kematian.

Lalu... Pet.

Mati.

Suara alarm berhenti. Kipas angin mati. Lampu jalan di luar yang biasnya masuk lewat ventilasi pun mati.

Gelap gulita.

Satu komplek mati lampu. Badai memutus segalanya.

Sekarang, aku benar-benar buta.

Aku meraba-raba dalam gelap. Tanganku menyentuh pintu lemari pakaian. Lemari jati tua peninggalan nenek. Kokoh. Tebal.

Aku masuk ke dalamnya. Menarik pintu lemari dari dalam.

Gelap di dalam gelap. Bau kamper dan baju apek.

Aku duduk memeluk lutut di antara gantungan baju. Gamis dan jaket menyentuh wajahku seperti hantu-hantu kain.

Aku aman di sini. Dia tidak bisa masuk kamar. Pintunya kutahan pakai meja rias.

Tapi... bagaimana kalau dia tidak lewat pintu?

Mataku mendongak ke atas. Ke langit-langit lemari. Di atas lemari ini, ada plafon. Plafon dengan triplek miring itu.

Kalau dia tinggal di atas... dia bisa turun kapan saja.

Tidak. Jangan pikirkan itu.

HP-ku.

Aku meraba saku. HP masih ada. Layar retak sedikit karena tadi jatuh saat berguling. Baterai 8%.

Sinyal hilang. No Service.

Tapi aku punya modem Mi-Fi portable. Modem itu punya baterai sendiri. Aku taruh di meja nakas. Kalau dia masih nyala...

Aku menyalakan Wi-Fi di HP.

Searching... Connected.

Satu bar. Lemah. Tapi ada.

Aku membuka aplikasi CCTV. Jantungku berdegup sakit sekali. Apakah kamera-kamera itu masih nyala? Aku beli yang model baterai rechargeable untuk cadangan. Harusnya masih nyala.

Loading stream...

Layar HP menyala redup, menjadi satu-satunya sumber cahaya di dalam lemari ini. Wajahku pucat terpantul di layar.

Gambar muncul. Hitam putih. Mode Night Vision.

Kamera 1 (Ruang Tamu): Kosong. Sofa diam. Pintu utama masih terkunci rapat. Kamera 2 (Dapur): Berantakan. Pecahan mangkuk di lantai. Darah (atau kuah mi?) berceceran. Pintu lemari sapu terbuka. Kamera 3 (Lorong):

Aku menahan napas.

Di lorong, tepat di depan pintu kamarku... dia berdiri.

Sosok itu.

Dia tidak lagi menggedor pintu. Dia berdiri diam, memunggungi kamera.

Rambutnya basah dan lepek. Darah menetes dari lengan kanannya ke lantai. Tetes. Tetes. Hitam di layar night vision.

Dia memegang sesuatu di tangan kirinya.

Benda panjang. Berkilat.

Linggis.

Dia punya linggis.

Darahku membeku. Pintu kamar diganjal meja rias pun tidak akan kuat kalau dihantam linggis.

Tapi dia tidak memukul pintu.

Dia mendongak. Menatap langit-langit lorong.

Dia mengangkat linggisnya.

Krak!

Dia menusukkan ujung linggis ke plafon gypsum di lorong.

Krak! Bruk!

Dia menjebol plafon.

Serpihan gypsum berjatuhan menimpa kepalanya. Dia tidak peduli. Dia memukul lagi. Memperlebar lubang.

Apa yang dia lakukan?

Dia mau naik.

Dia mau kembali ke sarangnya.

Kenapa? Apa dia menyerah? Apa dia takut karena terluka?

Aku melihatnya melompat. Tangannya yang panjang meraih rangka kayu plafon. Dia menarik tubuhnya ke atas dengan gerakan yang tidak wajar—seperti laba-laba yang ditarik benang.

Kaki kotornya menghilang ke dalam lubang gelap di langit-langit.

Lorong kosong.

Hanya ada lubang menganga di plafon.

Aku menghela napas panjang. Air mata tumpah.

Dia pergi. Dia pergi ke atas.

Mungkin dia mau ambil obat? Atau mungkin dia mau mati di sana karena racun tikus tadi sempat tertelan sedikit?

Yang jelas, dia tidak di depan pintu kamarku lagi.

Aku melihat layar HP lagi. Baterai 5%.

Aku harus lapor polisi. Sinyal modem ini mungkin cukup untuk kirim WA ke Verrel. Atau telepon darurat.

Tapi saat jempolku mau menutup aplikasi CCTV... aku melihat pergerakan di Kamera 4.

Kamera di dalam kamarku sendiri.

Kamera yang posisinya di atas lemari pakaian tempatku sembunyi. Sudut pandangnya menyorot ke seluruh kamar.

Di layar HP, aku melihat kamar tidurku yang gelap gulita (terang karena night vision).

Pintu kamar masih tertutup, terganjal meja rias. Kasur dengan seprai merah itu masih di sana.

Aman.

Tapi... tunggu.

Mataku tertuju pada lantai kamar.

Ada debu. Debu putih. Jatuh perlahan dari atas. Seperti salju.

Jatuh tepat di depan lemari pakaian tempatku sembunyi.

Aku mendongak di dalam lemari. Menatap atap lemari kayu ini.

Sreeek...

Suara itu.

Bukan dari rekaman HP. Tapi langsung di atas kepalaku.

Suara gesekan tubuh yang merayap di atas kayu.

Di atas lemari.

Dia tidak naik ke atas untuk pergi.

Dia naik ke atas lorong... untuk merayap lewat rongga plafon... dan turun ke kamar ini lewat lubang di atas lemari.

Dia sudah ada di dalam kamar.

Tepat di atas kotak kayu tempatku bersembunyi.

Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Menahan jeritan yang sudah di ujung lidah.

Di layar HP, aku melihatnya.

Dari sudut atas layar Kamera 4, sepasang kaki pucat turun perlahan. Menginjak bagian atas lemari.

Lalu dia melompat turun ke lantai kamar. Tanpa suara.

Dia berdiri di depan lemari.

Dia membelakangi lemari. Menghadap ke kasur.

Dia pikir aku sembunyi di kolong kasur? Atau di kamar mandi dalam?

Dia memegang linggis itu erat-erat. Tubuhnya gemetar. Marah.

"Keluar..." desisnya. Suaranya bergema di kamar yang sunyi.

Aku bisa mendengar suaranya dua kali. Satu dari speaker HP (ada delay sedetik), satu lagi langsung dari balik pintu tipis lemari ini.

Jarak kami cuma 2 sentimeter. Terpisah selembar kayu jati.

Jangan bergerak. Jangan bernapas. Jantung, tolong berhenti berdetak.

Dia melangkah menjauh dari lemari. Menuju kolong kasur.

Dia membungkuk. Mengintip kolong kasur.

"Kosong..."

Dia bangkit. Memukul kasur dengan linggis. Buk! Buk! Kapuk berterbangan.

"Di mana kamu, Cantik?"

Dia berbalik.

Wajahnya menghadap ke arah lemari. Menghadap ke arahku (meski terhalang pintu).

Untuk pertama kalinya, lewat layar HP, aku melihat wajahnya dengan jelas.

Wajah itu hancur. Kulitnya melepuh dan penuh koreng. Matanya liar, satu kelopaknya turun setengah. Bibirnya sobek, memperlihatkan gusi yang hitam.

Dan di lehernya... ada kalung.

Kalung liontin emas berbentuk hati.

Itu kalungku. Kalung yang hilang dua bulan lalu.

Dia memakainya.

Dia berjalan mendekati lemari.

Langkah pelan. Diseret.

Dia berhenti tepat di depan pintu lemari.

Tangannya terulur. Menyentuh gagang pintu lemari.

Di layar HP, aku melihat tangan itu memegang gagang pintu.

Di dunia nyata, aku melihat gagang pintu lemari di depanku berputar perlahan.

Klek.

Terkunci.

Aku menguncinya dari dalam tadi. Refleks.

Dia diam.

Dia tahu aku di dalam.

Dia mendekatkan wajahnya ke pintu lemari.

"Tok... tok... tok..."

Dia mengetuk pintu lemari dengan lembut pakai ujung linggis.

"Aminah... ada paket..."


Bab 5: Kotak Pandora

"Aminah... ada paket..."

Suara itu menembus pori-pori kayu jati, merayap masuk ke telingaku yang berdenging. Aku mendekap lutut erat-erat, menahan isak tangis agar tak pecah. Air mata mengalir dalam diam, membasahi lutut celanaku yang sobek.

Di luar, dia tertawa kecil. Tawa itu basah. Tawa orang yang sedang menikmati hidangan pembuka.

"Nggak mau buka? Ya sudah. Biar kurir yang simpan paketnya."

Hening.

Aku menatap layar HP yang menyala redup di pangkuan. Sinyal Wi-Fi satu bar, berkedip-kedip seperti nyawa yang sekarat.

Di layar Kamera 4, aku melihat punggungnya. Punggung yang bungkuk dan penuh luka melepuh itu. Dia berhenti mengetuk pintu lemari.

Dia melakukan sesuatu pada gagang pintu lemari.

Dia mengambil linggisnya. Menyelipkannya di antara dua gagang pintu lemari yang berbentuk cincin besi. Memutarnya. Menguncinya.

Krak.

Suara besi beradu besi terdengar nyata di telingaku.

Dia tidak mencoba masuk. Dia justru mengurungku di dalam.

"Biar kamu nggak lari, Cantik," gumamnya.

Lalu, di layar HP, aku melihatnya berjalan menjauh.

Dia tidak keluar lewat pintu kamar yang terganjal meja rias. Dia berjalan ke tengah ruangan, tepat di bawah lubang plafon yang tadi dia jebol.

Dia mendongak. Melompat. Meraih rangka kayu plafon dengan tangan panjangnya yang berlumuran darah hitam.

Sekali tarik, tubuh kurusnya melesat naik. Kakinya menendang udara, lalu menghilang ke dalam kegelapan lubang di langit-langit.

Debu gypsum berjatuhan.

Lalu sunyi.

Kamar kosong. Hanya ada seprai merah darah dan boneka beruang yang menatap hampa.

Aku menunggu. Satu menit. Dua menit.

Mataku tidak lepas dari lubang plafon di layar HP. Berharap dia tidak turun lagi.

Lima menit berlalu. Tidak ada gerakan.

Aku menghembuskan napas panjang yang gemetar.

Dia pergi. Dia kembali ke sarangnya di atap. Mungkin dia mau mengobati lukanya? Pisauku tadi menyayatnya cukup dalam. Atau mungkin dia takut karena aku diam saja?

Apapun alasannya, aku punya waktu.

Aku mencoba membuka WA. Pesan ke Verrel.

SENDING...

Lingkaran hijau berputar lambat. Sinyal buruk sekali di dalam lemari ini. Badai di luar pasti merusak menara pemancar.

"Ayo... ayo kirim..." bisikku.

FAILED. Tap to retry.

Sialan.

Aku harus keluar. Aku harus lari cari sinyal. Tapi pintu lemari diganjal linggis dari luar. Aku terperangkap.

Tidak apa-apa. Setidaknya aku aman dari dia. Dia di atap. Aku di lemari. Dia tidak bisa masuk, aku tidak bisa keluar. Kita impas. Besok pagi, Aji pasti datang. Atau tetangga curiga. Aku cuma perlu bertahan sampai pagi.

Aku menyandarkan kepala ke tumpukan baju. Aroma kamper dan dry clean yang apek terasa menenangkan.

Namun, di tengah keheningan yang menyesakkan itu, tengkukku meremang. Bukan karena suara, tapi karena sensasi fisik.

Ada aliran udara. Hembusan napas dingin yang berirama, menerpa leher bagian belakangku.

Jantungku serasa berhenti. Lemari ini kayu solid. Rapat. Kedap. Bagaimana bisa ada angin dari arah belakang?

Dengan tangan gemetar hebat, aku menyibakkan deretan gamis yang tergantung. Ujung jariku terulur, berharap menyentuh dinding triplek kasar bagian belakang lemari. Namun, jariku hanya menyapu udara kosong.

Tidak ada dinding. Hanya lubang menganga yang menghembuskan aroma busuk—campuran tanah basah, sisa makanan basi, dan feromon manusia liar.

Jantungku berhenti berdetak sesaat. Aku menyalakan senter HP. Baterai 3%.

Cahaya putih menyorot ke balik baju-baju.

Mataku terbelalak.

Dinding belakang lemari itu... sudah tidak ada.

Tripleknya sudah digergaji rapi. Membentuk lubang persegi panjang yang besar. Gelap.

Dan lubang itu tidak mengarah ke tembok kamar.

Rumah subsidi ini punya celah antar tembok (double wall) yang cukup lebar untuk menghemat material bata. Celah selebar 40 senti.

Senterku menyorot ke dalam celah itu.

Di sana, di ruang sempit di balik lemari pakaianku, ada "ruangan" lain.

Ada karpet busa tipis yang digelar di lantai semen kasar. Ada bantal lepek yang warnanya sudah hitam karena daki. Ada tumpukan bungkus mi instan, kulit kacang, dan botol air mineral berisi cairan kuning pekat.

Dan di dinding bata yang lembap itu... tertempel ratusan foto.

Foto polaroid.

Foto aku tidur. Foto aku makan. Foto aku nonton TV. Foto aku ganti baju. Foto aku menangis.

Ada foto Aji yang matanya dicoret spidol merah. Ada foto Verrel yang ditusuk paku.

Ini bukan sekadar tempat sembunyi.

Ini rumahnya.

Selama ini, lemari pakaianku bukan tempat penyimpanan baju. Lemari ini adalah pintu depan rumahnya.

Setiap kali aku membuka lemari untuk ambil baju, dia ada di sana. Di balik triplek tipis. Mendengarkan napasku. Mencium bau parfumku. Mungkin sesekali mengintip lewat celah serat kayu.

Aku mundur. Punggungku menabrak pintu lemari yang terkunci.

"Tolong..." bisikku tanpa suara.

Aku terperangkap di dalam kotak, dan kotak ini terhubung langsung ke neraka.

Tiba-tiba, aku mendengar suara.

Bukan dari HP. Bukan dari atap.

Dari dalam lubang itu.

Suara gesekan kain. Suara napas berat yang tertahan.

Aku mengarahkan senter lebih dalam ke lorong sempit itu.

Di ujung lorong, sekitar dua meter dari tempatku duduk... ada gundukan kain gelap.

Gundukan itu bergerak.

Itu bukan tumpukan baju kotor.

Itu dia.

Dia tidak naik ke atap untuk pergi.

Dia naik ke atap untuk memutar. Masuk lewat ventilasi lain, turun ke celah dinding ini, dan merangkak kembali ke sini. Ke sarangnya.

Dia ingin menyambutku di "rumah"-nya.

Kepala itu terangkat. Wajah hancur itu tersenyum dalam sorotan senterku. Giginya yang runcing dan kuning tampak berkilat.

"Selamat datang, Tetangga," bisiknya parau.

HP-ku bergetar.

Battery Low. 1%.

Lampu senter mati.

Gelap gulita.

Aku menjerit. Menggedor pintu lemari di belakangku.

"TOLONG! AJI! SIAPAPUN!"

Pintu itu kokoh. Linggis yang dia pasang bekerja dengan sempurna.

Dalam kegelapan pekat, aku mendengar dia merangkak mendekat. Suara lutut dan sikunya menyeret di lantai semen.

Sreeek... sreeek...

Baunya makin dekat. Bau amis darah yang bercampur dengan bau badan yang tidak pernah kena sabun.

"Jangan teriak," suaranya sekarang ada di dalam lemari. Di samping telingaku. "Nanti tetangga bangun."

Aku merasakan tangan dingin yang basah menyentuh kakiku. Merayap naik ke betis. Ke lutut.

Aku menendang. Kakiku mengenai daging yang keras.

Dia terkekeh.

"Kamu wangi sekali malam ini, Aminah. Wangi ketakutan."

Tangan itu mencengkeram pergelangan kakiku. Kuat. Seperti catut besi.

Dia menarikku.

"Masuk yuk. Di dalam hangat."

"ENGGAK! LEPAS!"

Aku mencakar lantai lemari. Mencari pegangan. Tapi jariku hanya menemukan baju-baju gantung yang licin.

Tubuhku terseret masuk ke dalam lubang dinding itu.

Aku melewati batas antara lemari dan tembok. Masuk ke ruang sempit yang pengap.

Punggungku bergesekan dengan dinding bata yang kasar. Kulitku perih.

Dia menarikku semakin dalam. Ke dalam kegelapan abadi di antara dinding-dinding rumah subsidi.

HP-ku terjatuh di lantai lemari.

Layar masih menyala redup sebelum mati total.

Menampilkan live feed terakhir dari CCTV Kamar Tidur.

Di layar itu, terlihat lemari pakaian jati yang berdiri kokoh. Pintunya tertutup rapat, diganjal linggis.

Tenang. Diam.

Tidak ada yang tahu ada pergulatan nyawa di dalamnya.

Dan di sudut layar, notifikasi pesan WA yang tadi gagal, akhirnya berubah status.

Verrel Polisi: Terkirim.

Satu centang abu-abu.

Lalu layar HP mati.

Di dalam dinding, aku berteriak untuk terakhir kalinya sebelum tangan besar yang bau tanah itu membungkam mulutku selamanya.

TAMAT

TAMAT

Copyright © 2025 OX Media Publishing

← Kembali ke Menu Thriller

PAKET - Horror Thriller (Tamat)

TAMAT (ONESHOT)

OX MEDIA ORIGINAL

PAKET

✍️ Penulis: L.T. Oktonawa tags: Horror, Thriller

Bagi Aminah, teriakan "Paket!" adalah satu-satunya dopamin yang membuat hidupnya terasa berarti. Namun, kotak kardus tanpa label pengirim yang datang siang itu mengubah kecanduannya menjadi mimpi buruk.

Isinya bukan baju atau kosmetik, melainkan sebuah kotak beludru kotor berisi gigi geraham yang masih berakar darah dan segumpal rambut yang aromanya persis sampo miliknya sendiri.

"Bagaimana jika sosok itu tidak perlu mendobrak masuk... karena dia sudah lama tinggal di dalam?"

⚠️ Peringatan: Cerita ini mengandung unsur Home Invasion dan teror psikologis yang mungkin mengganggu kenyamanan pembaca.

The Light That Guards the Valley - Episode 4: The Rejected

SEASON 1 - EPISODE 4

THE REJECTED

"Ke mana orang yang terbakar pergi? Ke mana logika lari saat dia hancur?"

BAB 1: NEKROSIS LOGIKA

Pukul 07.00 pagi.

Matahari Jakarta sudah naik, menusuk masuk lewat jendela apartemen Martin tanpa permisi. Cahayanya silau, panas, dan tidak sopan.

Martin masih tertidur di sofa. Dia berguling sedikit, menutupi wajahnya dengan bantal goose feather. Dengkurannya masih stabil. Orang ini... dia benar-benar kebal. Bukan karena dia punya kekuatan super, tapi karena dia terlalu dangkal. Air tidak bisa menenggelamkan gabus yang mengapung. Dan Martin adalah gabus paling narsistik di samudra ini.

Aku berdiri di dekat pintu keluar. Jaket sudah terpasang, helm di tangan. Aku tidak membangunkannya. Martin adalah cadangan terakhir. Jika aku mati atau gila hari ini, harus ada satu orang bodoh yang tersisa untuk menceritakan kisah ini—walaupun versinya pasti salah.

Aku mengambil secarik kertas post-it kuning dari meja kerja Martin. Menulis pesan singkat dengan spidol hitam. Tanganku gemetar, membuat tulisannya seperti cakar ayam.

“Gue cari Alena. Jangan keluar. Kunci pintu. Jangan percaya siapa-siapa.”

Aku menempelkannya di jidat patung abstrak kesayangan Martin.

Aku keluar. Pintu apartemen terkunci otomatis dengan bunyi klik digital. Bunyi yang memisahkan antara benteng pertahanan dan medan perang.

Jalan Raya Lenteng Agung. Pukul 08.15.

Lenteng Agung di pagi hari adalah simulasi neraka yang akurat. Macet, panas, berdebu, dan penuh dengan pengendara motor yang sepertinya punya nyawa cadangan.

Aku menyelip di antara celah mobil, memacu motor matic-ku secepat mungkin menuju Depok. Tujuanku adalah rumah kontrakan Alena di daerah Kukusan.

Sambil menyetir, aku mencoba meneleponnya lagi. Lewat Whatsapp, hanya Memanggil. Aku mencoba lewat telepon selular ke nomornya. Ponsel kuselipkan di dalam helm yang sempit, menekan telingaku sampai sakit.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif...”

Aku mematikan sambungan. Mencoba lagi.

“Nomor yang Anda tuju...”

“Angkat, Al! Angkat, bangsat!” teriakku. Suaraku teredam busa helm, kalah oleh deru knalpot bajaj di sebelahku.

Keringat dingin mengucur di punggung. Tadi malam, di rumah Rian, aku melihat tanaman yang overdosis kehidupan. Hijau, segar, bercahaya. Itu tanda penerimaan. Energi Rusa itu mengalir lancar.

Tapi Alena? Pesan terakhirnya adalah tentang rasa sakit. Tentang “terbakar”. Alena adalah skeptis. Dia adalah dinding beton bagi ombak. Dia menolak cahaya itu. Dan hukum fisika sederhana berlaku: Jika energi besar menabrak dinding yang keras, yang terjadi bukan aliran. Yang terjadi adalah ledakan.

Kukusan, Depok. Pukul 08.45.

Aku sampai di gang rumah Alena. Biasanya jam segini gang ini ramai. Mahasiswa berangkat kuliah, tukang sayur lewat, ibu-ibu ngerumpi. Tapi pagi ini, gang itu mati.

Sepi. Senyap.

Aku memelankan motor. Suara mesin motorku terdengar terlalu bising di keheningan yang aneh ini. Aku berhenti di depan pagar hitam kontrakan Alena.

Pemandangan di halaman depan membuatku lupa cara bernapas.

Tanaman bugenvil yang biasanya rimbun di pagar... habis. Bukan layu. Hangus.

Ranting-rantingnya hitam legam, kerontang, seperti baru saja disambar petir tapi tanpa api. Daun-daunnya rontok di tanah, menjadi abu abu-abu yang beterbangan ditiup angin. Rumput di halaman menguning mati dalam pola lingkaran sempurna yang menyebar dari pintu depan.

Seolah-olah ada gelombang radiasi yang meledak dari dalam rumah itu.

“Alena!”

Aku melompat turun. Tidak melepas helm. Gerbang tidak dikunci. Engselnya berdecit nyaring saat kudorong.

Aku lari ke pintu depan. Pintunya tertutup rapat. Kaca jendela depan retak seribu. Bukan pecah berantakan, tapi retak dari dalam, seolah ada tekanan udara yang mencoba keluar.

Aku menggedor pintu. Kayunya terasa panas di telapak tanganku yang terbungkus sarung tangan.

“Alena! Buka! Ini Okto!”

Hening. Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah kaki. Hanya ada bau itu. Bau ozon. Bau kabel terbakar. Dan bau amis darah yang samar.

Aku mencoba mengintip lewat celah jendela yang retak. Gelap. Tirai tertutup. Tapi aku bisa melihat bayangan perabotan yang berantakan. Kursi terbalik. Lampu gantung miring.

Aku mundur, bersiap mendobrak. Tapi sebelum badanku menabrak pintu, mataku menangkap gerakan di rumah sebelah.

Di rumah tetangga sebelah kanan. Tirai jendelanya tersibak sedikit. Hanya satu inchi. Ada mata yang mengintip. Mata seorang perempuan tua.

Mata itu terbelalak. Penuh teror. Dia menatapku, lalu menatap rumah Alena dengan ketakutan yang murni.

“Bu!” panggilku, menunjuk rumah Alena. “Teman saya ada?!”

Begitu aku bersuara, tirai itu langsung tertutup rapat. Srek! Lalu terdengar suara kunci pintu diputar dua kali dari dalam.

Dia tidak mau terlibat. Dia melihat sesuatu tadi malam. Sesuatu yang membuatnya memilih untuk mengurung diri daripada menolong.

“BU! HALLO!” teriakku lagi.

Tidak ada jawaban. Rumah itu membisu. Rumah di sebelahnya juga. Semua pintu tertutup rapat. Semua jendela buta. Satu gang ini ketakutan. Mereka tahu ada monster di nomor 45, dan mereka memilih pura-pura mati.

Aku kembali ke pintu Alena. Menendangnya sekuat tenaga. BRAK! Pintunya kokoh. Kayu jati tua. Bahuku nyeri.

Aku mencoba lagi. BRAK! Sia-sia.

Aku menempelkan telingaku ke daun pintu yang panas itu. Berharap mendengar napas. Atau rintihan. Nihil. Kosong.

Alena tidak di sini. Atau mungkin... yang tersisa dari Alena sudah bukan sesuatu yang bisa menjawab.

Aku merosot duduk di teras yang penuh abu daun kering. Napasku memburu. Dia hilang. Nomornya mati. Rumahnya jadi zona bencana. Tetangganya bungkam seribu bahasa.

Aku sendirian di tengah gang mati ini. Tanpa petunjuk. Tanpa arah.

Tanganku yang diperban berdenyut sakit. Nyut. Dia mengejekku. Cahaya ini tahu di mana Alena. Tapi dia tidak memberitahuku. Dia hanya memberikan rasa sakit sebagai kompas yang rusak.

“Bangsat...” umpatku, memukul lantai keramik.

Ke mana orang yang terbakar pergi? Ke mana logika lari saat dia hancur?

Aku berdiri. Menatap jalanan kosong. Aku harus mencarinya. Menyisir setiap rumah sakit di Depok kalau perlu. Karena kalau Elisabeth yang menemukannya lebih dulu... Alena tidak akan mati. Dia akan dijadikan sesuatu yang jauh lebih buruk.



BAB 2: UNDANGAN DARI FREKUENSI LAIN

Aku masih berdiri di teras rumah Alena yang hangus. Napas menderu. Keringat dingin menetes dari pelipis, jatuh ke ubin yang tertutup abu hitam.

Di sekelilingku, rumah-rumah tetangga membisu. Tirai-tirai tertutup rapat. Lampu teras dimatikan serentak. Satu gang ini memilih buta dan tuli.

Aku menatap tangan kananku yang masih terbungkus perban kotor. Di mataku—mata yang sudah retak—cahaya biru itu bersinar terang, menembus kain kasa, berdenyut agresif seolah ingin merobek kulit.

Tapi... tunggu.

Otak penulisku yang analitis mendadak bekerja di tengah kepanikan. Martin tidak bisa melihat cahaya di tubuhku malam itu. Di bar, bahkan di apartemennya sebelum dia tertidur seperti manyat. Juga pelayan di bar SCBD tidak melihat cahaya di tanganku. Petugas keamanan bandara juga tidak melihatnya.

Artinya: Orang normal buta terhadap cahaya ini.

Lalu kenapa? Kenapa ibu tetangga tadi menatapku dengan teror murni sebelum membanting pintu? Jika dia tidak bisa melihat tangan kananku yang menyala seperti lampu neon ini, apa yang dia lihat?

Aku menatap bayanganku di kaca jendela Alena yang retak. Wajahku kucel, pucat, biasa saja. Tapi saat aku menatap mata bayanganku sendiri... aku merasakannya.

Hawa dingin. Kekosongan.

Mungkin di mata orang normal, kami—para inang—tidak terlihat bersinar. Mungkin kami terlihat... gelap. Seperti lubang hitam yang menyedot kebahagiaan di sekitarnya. Insting purba manusia tahu mana sesama manusia, dan mana predator yang menyamar memakai kulit manusia. Ibu itu tidak melihat cahaya biru. Dia melihat seekor serigala yang berdiri dengan dua kaki di depan rumah korban pertamanya.

“Sial,” umpatku. “Jadi gue monsternya sekarang?”

Aku mengeluarkan ponsel. Mencoba menelepon Martin. Mungkin dia sudah bangun. Mungkin egonya yang tebal bisa menjadi anchor agar aku tidak gila. Tapi tidak ada sinyal. Bar sinyal di pojok kiri atas ponselku menunjukkan tanda silang.

Aku mengangkat ponsel tinggi-tinggi. Masih nihil. Bukan karena Depok susah sinyal. Tapi karena ada interferensi. Ada yang membajak frekuensi.

Ngiiiing...

Suara itu datang lagi. Kali ini bukan dengungan halus di belakang telinga. Kali ini suaranya seperti bor gigi yang dinyalakan tepat di dalam batang otakku.

“Argh!”

Aku menjatuhkan ponselku. Kedua tanganku refleks memegang kepala. Sakit. Rasanya seperti otakku sedang di-scan paksa.

Dunia di sekitarku mulai bergeser. Warna abu-abu di teras rumah Alena berubah menjadi glitch. Pagar besi yang berkarat tiba-tiba terlihat melengkung. Langit Depok yang cerah berubah menjadi statis televisi yang bersemut.

Lalu, pandanganku ditarik paksa. Bukan lewat mata. Tapi lewat pikiran.

ZRRRTTT!

Aku tidak lagi di Depok. Aku melihat lorong panjang. Putih. Steril. Bau obat yang menyengat. Suara roda brankar didorong cepat. Kriet... kriet... Lampu neon berkedip di atas kepala.

Rumah Sakit.

Pandanganku terseret cepat menyusuri lorong itu. Seolah aku adalah kamera CCTV yang sedang diretas. Atau seolah aku sedang melihat melalui mata Sesuatu yang sedang berjalan di sana.

Pandangan itu berhenti di depan sebuah pintu ganda. Ada tulisan merah di atasnya: ICU. ISOLASI.

Dan kemudian, suara itu muncul. Bukan lewat telinga. Suara itu langsung terukir di korteks otakku.

“Mas Okto...”

Suara Elisabeth. Jernih. Manis. Tapi ada nada distorsi di ujungnya, seperti rekaman suara yang diputar terlalu lambat.

“Mas Okto kok lambat banget sih? Kasian loh Alena. Dia sendirian. Dia kepanasan.”

“KELUAR DARI KEPALA GUE!” teriakku pada udara kosong di teras rumah Alena. Aku memukul kepalaku sendiri.

“Dia nolak hadiah aku, Mas. Dia sombong. Dia pikir otaknya lebih pinter dari alam semesta. Sekarang liat dia...”

Visual di kepalaku berubah. Aku melihat Alena. Dia terbaring di ranjang RS. Tubuhnya dipenuhi selang. Kulitnya... Tuhan... kulitnya merah padam, mengelupas, mengeluarkan asap tipis. Seperti daging yang dipanggang dari dalam. Dia tidak sadar, tapi tubuhnya kejang-kejang menahan sakit.

Dan di sudut ruangan ICU itu... Aku melihat bayangan tanduk Rusa. Samar. Transparan. Menunggu.

“Mas Okto ngebut ya...” bisik Elisabeth lagi. Suaranya terdengar geli, ada suara latar belakang titing-titing mesin kasir minimarket di seberang telepon mentalnya. “Tapi percuma, Mas. Aku udah di parkiran depan. Gedungnya putih, tinggi, jelek. Banyak orang sakit.”

Jantungku berhenti. Dia sudah di sana.

“Aku nungguin kamu loh, Mas. Gak asik kalau aku mulai acaranya tanpa penonton utama. Jadi cepetan ya? Aku kasih waktu sepuluh menit sebelum aku bosen nunggu di lobi.”

ZRRRTTT!

Koneksi putus. Dunia kembali normal dalam sekejap mata. Pagar besi kembali lurus. Langit kembali biru.

Aku terhuyung ke depan, berpegangan pada tiang teras. Napasku memburu. Jantung rasanya mau meledak.

Itu bukan ancaman kosong. Itu undangan. Elisabeth sedang menuju ke sana. Ke Rumah Sakit Sentra Medika. Dia memberitahuku lokasinya bukan karena dia baik. Tapi karena dia ingin penonton. Dia ingin aku melihat apa yang terjadi pada orang-orang yang menolaknya.

Aku menyambar ponsel yang tergeletak di tanah. Layarnya retak, tapi masih nyala. Sinyal kembali penuh. Interferensi hilang begitu Ratu Lebah selesai bicara.

Aku melompat ke atas motor. Menyalakan mesin. Suara knalpot meraung kasar, memecah kesunyian gang yang penuh ketakutan itu.

Rumah Sakit Sentra Medika ada di Jalan Raya Bogor. Kalau macet, butuh 20 menit. Tapi Elisabeth tidak lewat jalan raya. Dia bergerak lewat “Jaringan”. Dia bisa bergerak secepat pikiran Rian atau inang lainnya.

Aku menarik gas dalam-dalam. Ban belakang selip sedikit di atas pasir, lalu motor melesat maju.

“Tunggu gue, Al,” geramku.

Aku memacu motor gila-gilaan keluar dari gang. Di spion, aku melihat bayangan mataku sendiri di balik kaca helm.

Biru. Iris mataku mulai pudar, digantikan oleh pendaran biru yang sama dengan tangan kananku.

Aku menggunakan “bahan bakar” itu sekarang. Aku membiarkan glitch di tubuhku mengambil alih. Karena untuk mengalahkan monster yang bergerak lewat frekuensi, aku harus menjadi monster juga.

Lo setan, Lis. Kita lihat siapa yang lebih dulu sampai.


BAB 3: BANGSAL FREKUENSI TINGGI

Rumah Sakit Sentra Medika, Jalan Raya Bogor.

Gedung itu menjulang putih dan steril di tengah panasnya matahari Depok. Biasanya, tempat ini adalah simbol harapan dan penyembuhan. Tapi hari ini, di mataku yang retak, gedung itu terlihat seperti peti mati raksasa yang menunggu ditutup.

Aku memarkir motor sembarangan di depan lobi IGD. Satpam berteriak, mencoba menghentikanku, tapi aku tidak peduli. Aku membuka helm. Menatap mata satpam itu.

“Minggir,” geramku.

Satpam itu terdiam. Dia mundur selangkah. Dia tidak melihat cahaya biru di mataku. Tapi dia merasakan sesuatu. Instingnya berteriak bahwa orang di depannya ini berbahaya. Bahwa aku membawa muatan listrik yang tidak stabil. Dia membiarkanku lewat.

Aku berlari masuk ke lobi. Suasana di dalam kacau, tapi bukan kepanikan massal. Lebih ke arah kebingungan kolektif. Lampu-lampu di lobi berkedip-kedip tidak beraturan. Zrrrt... Zrrrt... Mesin antrean otomatis mati-nyala, memuntahkan kertas nomor antrean tanpa henti sampai menumpuk di lantai.

“Ada gangguan listrik,” gumam seorang perawat yang lewat dengan tergesa-gesa.

“Bukan listrik,” batinku. “Itu Alena.”

Energi penolakan Alena begitu besar sampai mengganggu kelistrikan gedung. Dia adalah Jammer hidup.

Aku berlari menuju lift. Penuh. Aku banting setir ke tangga darurat. Lantai 3. ICU.

Napas memburu. Kakiku terasa berat, tapi setiap kali aku merasa lelah, urat biru di tangan kananku berdenyut, menyuntikkan energi dingin yang memaksaku terus bergerak. Ini dopamin sintetis. Hadiah dari parasit agar inangnya tidak pingsan.

Lantai 3. ICU.

Lorong itu sepi. Terlalu sepi. Perawat-perawat tidak ada di pos jaga. Mereka semua berkumpul di depan satu pintu di ujung lorong. Pintu Isolasi 1.

Bau itu semakin kuat di sini. Bau ozon. Bau logam panas. Bau rambut terbakar.

Aku menerobos kerumunan perawat. “Minggir! Saya keluarganya!” teriakku.

Mereka menoleh. Wajah mereka pucat. Ketakutan. “Pak, jangan masuk! Bahaya radiasi!” seru seorang dokter muda yang memegang tabung pemadam api ringan (APAR).

“Cuma sebentar, biarkan saya masuk!”

Itu bukan izin. Itu adalah deklrasiAku menabrak pintu ganda itu. Terbuka.

Dan aku berhenti bernapas.

Di tengah ruangan yang luas dan dingin itu, ada ranjang besi. Dan di atasnya, terbaring sesuatu yang nyaris tidak bisa dikenali sebagai manusia.

Alena.

Tubuhnya merah padam. Bukan merah demam berdarah. Merah membara. Seperti besi yang ditempa. Kulitnya melepuh di sekujur tubuh, mengelupas dalam lembaran-lembaran besar, memperlihatkan jaringan otot yang berasap. Cairan tubuhnya mendidih, menguap menjadi kabut tipis yang berbau amis.

Tapi yang paling mengerikan bukan luka bakarnya. Melainkan benda-benda di sekitarnya.

Tiang infus di sebelahnya bengkok. Melengkung menjauhi tubuh Alena seolah-olah menolak bersentuhan dengannya. Monitor EKG meledak, layarnya retak, mengeluarkan percikan api. Bahkan selimut yang menutupi kakinya hangus menjadi abu.

Dia menolak segalanya. Dia menolak cahaya itu, dan cahaya itu membalas dengan mengubah tubuhnya menjadi reaktor nuklir yang bocor.

“Al...” panggilku, suaraku pecah.

Mata Alena terbuka. Sklera-nya merah darah. Pembuluh darahnya pecah semua. Dia menatapku. Dia sadar. Di tengah rasa sakit yang pasti tak terbayangkan itu, dia sadar sepenuhnya. Itulah kutukan orang pintar. Otaknya bertahan paling akhir.

“Ok... to...”

Suaranya bukan suara manusia. Suaranya seperti gesekan dua lempeng tektonik. Berat. Berderit.

Aku mendekat, mengabaikan hawa panas yang menerpa wajahku. Panasnya seperti membuka pintu oven.

“Gue di sini, Al. Gue di sini.”

Aku ingin memegang tangannya. Tapi aku takut tanganku akan hancur—atau lebih parah, memperburuk kondisinya.

“Jangan... deket...” desis Alena. Air mata darah menetes dari sudut matanya, langsung menguap di pipinya yang panas. Cesss.

“Ini... bukan biologi...” Alena terbatuk. Gumpalan darah hitam keluar. “Gue coba itung... frekuensinya... ini suara, To... ini lagu...”

“Lagu apa, Al? Lo ngomong apa?”

“Lagu... penyerahan diri...” Alena menatap langit-langit. “Sel gue... disuruh nyerah... disuruh berenti jadi individu... tapi gue gak mau... gue Alena... gue Alena...”

Dia mengulang namanya sendiri seperti mantra. Berusaha mempertahankan identitasnya di tengah invasi yang mencoba menghapus “Aku” menjadi “Kita”.

Tiba-tiba, Alena kejang hebat. Punggungnya melengkung ke atas. Teriakan tertahan keluar dari tenggorokannya yang hangus.

Dan bersamaan dengan itu, lampu di ruangan ICU mati total. Klik.

Gelap gulita. Hanya diterangi oleh pendaran merah dari tubuh Alena yang membara... dan pendaran biru dari tangan kananku.

Lalu, suhu ruangan turun drastis. Panas dari tubuh Alena tiba-tiba dilawan oleh hawa dingin yang menusuk tulang. Embun beku mulai muncul di kaca jendela ICU. Krak... krak...

Jantungku berhenti. Aku tahu hawa dingin ini. Aku pernah merasakannya di Skandinavia. Aku pernah merasakannya di rumah Rian.

Aku berbalik perlahan ke arah pintu masuk yang gelap.

Di sana. Di ambang pintu. Berdiri sebuah siluet.

Dia tidak melayang. Dia tidak muncul dari kabel listrik. Dia hanya... melangkah masuk dengan santai, seolah dia baru saja selesai dari toilet atau kantin. Napasnya teratur. Bajunya rapi. Dia tidak berkeringat sedikitpun, berbeda denganku yang basah kuyup karena lari tangga darurat.

Jelas. Dia sudah ada di sini sejak tadi. Dia mungkin duduk di kursi tunggu lorong gelap itu, mendengarkan napas Alena yang sekarat, mendengarkan langkah kakiku yang panik menaiki tangga, tersenyum menunggu isyarat untuk masuk panggung.

Elisabeth masuk. Sepatu haknya berbunyi tok-tok yang mengerikan di lantai sunyi itu.Elisabeth tersenyum. Senyum malaikat pencabut nyawa.

“Yah...” katanya. Suaranya bergema, terdengar dari segala arah. “Mas Okto kalah cepet.”

Dia melangkah masuk. Setiap langkahnya membuat lantai ubin retak dan tumbuh bunga-bunga es biru.

“Minggir, Mas,” perintah Elisabeth lembut. “Temen kita kepanasan. Aku mau siram dia.”

Aku berdiri di antara Elisabeth dan Alena. Mengangkat tangan kananku yang bercahaya. “Langkahin mayat gue dulu, bangsat.”

Elisabeth memiringkan kepalanya. Lucu. “Mas Okto...” desahnya kecewa. “Kamu itu cuma backup. Jangan berlagak jadi tokoh utama.”

Dia menjentikkan jarinya.

BUM!

Sebuah gelombang tak kasat mata menghantam dadaku. Keras sekali. Seperti ditabrak truk. Aku terpental ke belakang. Menabrak lemari obat kaca. PRANG! Pecahan kaca menghujani tubuhku. Sakit. Tulang rusukku rasanya retak.

Aku jatuh terduduk, napas sesak. Aku tidak bisa bergerak. Cahaya biru di tanganku meredup, ketakutan di hadapan induknya.

Elisabeth berjalan melewatilewatiku. Tidak menoleh sedikitpun. Dia menuju ranjang Alena.

Alena mencoba berteriak, tapi suaranya hilang. Dia menatap Elisabeth dengan teror murni. Teror logika yang bertemu dengan kiamat supernatural.

“Sssshhh...” Elisabeth meletakkan jari telunjuknya yang bercahaya di bibir Alena yang hangus. “Diem ya, Alena. Sakitnya cuma sebentar kok.”

“Abis ini... kamu gak perlu mikir lagi selamanya.”

Elisabeth membungkuk. Dan dia mencium kening Alena.



BAB 4: TURBULENSI DI DARAT

Ciuman itu berlangsung tiga detik. Tiga detik yang terasa seperti satu abad.

Saat bibir Elisabeth menyentuh kening Alena yang hangus, tidak ada suara desis daging terbakar. Yang ada adalah suara... menelan. Seperti suara air yang disedot masuk ke dalam lubang pembuangan. Gurgle... gurgle...

Cahaya merah yang membara di tubuh Alena tersedot keluar, mengalir masuk ke mulut Elisabeth. Hawa panas di ruangan itu lenyap seketika, digantikan oleh kevakuman yang dingin.

Elisabeth menarik wajahnya. Dia mengelap bibirnya yang kini belepotan abu hitam dan sedikit darah. Dia tidak terlihat jijik. Dia terlihat kenyang.

Alena terdiam. Matanya yang tadi melotot kesakitan kini meredup. Sklera merahnya memudar menjadi putih pucat. Napasnya berhenti menderu. Dia tenang. Terlalu tenang.

“Nah,” bisik Elisabeth lembut, mengusap rambut Alena yang sisa setengah. “Udah nggak sakit kan? Tidur gih. Mimpi yang indah.”

Alena tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke langit-langit. Lalu dia berhenti bergerak selamanya. Monitor EKG yang tadi meledak kini mati total. Garis lurus yang tidak tercatat mesin.

Aku masih terduduk di lantai, di antara pecahan kaca lemari obat. Rusukku nyeri hebat. “Lo bunuh dia...” desisku.

Elisabeth berbalik. Gaun putihnya bersih tanpa noda, seolah abu Alena tidak berani menempel padanya. “Aku nyelamatin dia, Mas Okto,” koreksinya dengan nada tersinggung. “Dia itu kayak mesin yang overheat. Aku cuma cabut colokannya.”

Dia berjalan mendekatiku. Langkahnya ringan, tumit sepatunya mengetuk lantai ubin yang beku. Tok. Tok. Tok.

“Sayang banget padahal,” Elisabeth berjongkok di depanku. Wajahnya sejajar denganku. Matanya hitam pekat, menatapku dengan rasa ingin tahu yang klinis. “Padahal aku udah nanem benih-nya barengan sama Kak Martin loh.”

Aku membeku. “Maksud lo apa?”

Elisabeth tersenyum miring. “Di pesawat, Mas. Pas kita pulang. Inget nggak pas turbulensi di atas India? Lampu kabin mati semua. Kalian panik. Kak Martin sampe megang tangan aku kenceng banget saking takutnya mati.”

Ingatanku berputar balik. Penerbangan Qatar Airways. Malam itu. Turbulensi hebat. Masker oksigen hampir turun. Aku sedang di toilet, muntah karena mabuk udara. Martin dan Alena duduk bersebelahan dengan Elisabeth di baris depan.

“Pas gelap itu,” lanjut Elisabeth, suaranya seperti nyanyian tidur. “Aku kasih mereka minum. Sedikit aja. Lewat udara. Lewat napas. Kak Martin nyedot paling banyak karena dia teriak-teriak. Alena juga.”

“Martin...” suaraku tercekat. “Martin juga?”

“Iya. Tapi Kak Martin itu... waduh, dia kayak tembok beton. Benihnya mental semua,” Elisabeth terkekeh. “Dia terlalu penuh sama dirinya sendiri. Nggak ada ruang buat Kami.”

Dia menunjuk mayat Alena dengan dagunya. “Kalau Alena... dia nerima awalnya. Tapi terus otaknya mulai kerja. Dia mulai nganalisis. Dia mulai ngitung. Dia ngelawan arus sungai pake kalkulator. Ya meledak lah.”

Elisabeth menatapku lagi. Kali ini tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih waspada. Tangannya terulur, ingin menyentuh wajahku. Ujung jarinya bersinar biru terang.

“Tapi kamu beda, Mas Okto,” bisiknya. “Aku nggak pernah kasih kamu apa-apa di pesawat. Kamu di toilet waktu itu.”

Dia menyentuh pipiku. Dingin. Membekukan.

“Terus... kamu dapet dari mana?” tanyanya pelan. Matanya menyipit, mencari jawaban di dalam jiwaku. “Kenapa rasanya beda? Punya Rian rasanya manis. Punya kamu... rasanya pait. Kayak racun.”

Amarah meledak di dadaku. Tanpa pikir panjang, tangan kananku—tangan yang retak itu—bergerak sendiri. Aku mencengkeram pergelangan tangan Elisabeth yang ada di pipiku, berniat membakarnya seperti aku membakar Rian.

GRAB.

Aku menyalurkan semua kebencianku. Semua noise. Semua chaos.

TAPI GAGAL.

Tidak ada suara mendesis. Tidak ada kulit Elisabeth yang melepuh. Justru sebaliknya.

“ARGHHH!”

“Aku belajar dari Rian, Mas,” bisik Elisabeth di tengah teriakanku. Tangan kananku tidak membakarnya. Sebaliknya, kulitku sendiri yang mulai mendesis.

Elisabeth tidak melawan Noise-ku dengan kekuatan brute force. Dia melakukan tuning. Seperti radio canggih yang mencari gelombang jernih, dia menyamakan frekuensinya dengan kekacauanku. Dia meniru pola kerusalan jiwaku dalam hitungan mili-detik, lalu membalikkannya. Phase Cancellation.

Dua gelombang suara yang identik jika diadu akan saling menghilangkan. Dan karena energinya seluas samudra dibanding energiku yang cuma selokan, akulah yang hancur.

“Kamu pikir kamu bug?” ejeknya. “Sekarang kamu cuma update sistem yang gagal.”

Perban di tanganku terbakar habis dalam sekejap. Kulitku melepuh, merah padam, berasap. Aku melepaskan tangannya, mundur sambil memegangi tanganku yang gemetar hebat. Rasanya seperti tulangku diremukkan dari dalam.

Elisabeth berdiri. Dia menatap pergelangan tangannya. Tidak ada luka sedikitpun. Hanya sedikit asap sisa kulitku yang terbakar. Dia meniup asap itu pelan. Fiuh.

“Kamu...” Elisabeth menatapku dengan tatapan kasihan. Tatapan seorang kakak melihat adiknya yang lahir tidak sempurna. “Kamu bukan anakku, Mas Okto.”

Dia menggeleng pelan. “Kamu saudaraku. Tapi kamu cacat.”

Suara langkah kaki terdengar dari lorong luar. Suara teriakan satpam dan perawat. “SUARA APA ITU?! DARI ICU 1!” “CEPET! ADA KERIBUTAN!”

Realitas datang menerjang. Kaca yang pecah tadi mengundang dunia masuk.

Elisabeth menoleh ke arah pintu. Lalu dia tersenyum padaku. Senyum yang licik.

“Yah, penontonnya udah dateng,” katanya.

Dia merobek sedikit lengan bajunya sendiri. Mengacak-acak rambutnya. Lalu dia menjatuhkan diri ke lantai, tepat di samping mayat Alena.

Tapi itu belum cukup. Drama butuh darah. Tanpa ragu sedikitpun, Elisabeth menyambar pecahan kaca lemari obat yang berserakan di dekat kakiku.

SREET!

Dia menyayat lengan kirinya sendiri. Panjang. Dalam. Darah segar mengucur deras, menetes ke lantai putih, bercampur dengan abu mayat Alena. Dia tidak meringis. Dia malah tersenyum puas melihat darahnya sendiri. Lalu dia mengoleskan darah itu ke wajahnya, menciptakan topeng korban yang sempurna. Detik berikutnya, senyum itu hilang, digantikan ekspresi ketakutan yang Oscar-worthy.

Dia mulai menangis. Tangisan palsu yang terdengar sangat meyakinkan. Histeris. Ketakutan.

“TOLONG! TOLOOONG!” teriak Elisabeth. “TEMEN SAYA DIBUNUH! ADA ORANG GILA!”

Aku terbelalak. “Bangsat lo, Lis...”

Pintu ganda ICU didobrak terbuka. Dua orang satpam dan seorang dokter masuk. Mereka melihat pemandangan itu: Alena yang mati gosong di ranjang. Elisabeth yang menangis histeris di lantai. Dan aku... Oktonawa, berdiri dengan tangan kanan berasap, dikelilingi pecahan kaca, wajah penuh amarah.

Elisabeth menunjukku dengan tangan gemetar. “DIA PELAKUNYA PAK! DIA BAKAR ALENA! DIA MAU BUNUH SAYA JUGA!”

“PANGGIL POLISI!”

Satpam itu menatapku. Insting mereka bereaksi. Di mata mereka, aku bukan korban. Di mata mereka, dengan tangan melepuh dan mata liar, aku adalah orang gila berbahaya.

“JANGAN BERGERAK!” Satpam itu mencabut pentungan. “TIARAP!”

Aku melihat mayat Alena. Aku melihat Elisabeth yang menyeringai tipis di balik tangisannya. Aku kalah. Kalah tenaga. Kalah narasi.

Aku tidak punya pilihan.

SIAL.


BAB 5: BURONAN FREKUENSI

Adrenalin berpacapu. Mengambil kendali atas tubuhku.

“SAYA BILANG TIARAP!”

Satpam bertubuh besar itu maju, mengayunkan pentungan karetnya. Aku tidak tiarap. Aku melempar tiang infus yang bengkok ke arah mereka. Trang!

Satpam itu kaget, menghindar. Celah terbuka. Aku lari. Aku melompati brankar kosong, menabrak dokter muda yang berdiri mematung ketakutan, dan menerobos keluar pintu ICU.

“TAHAN DIA! KUNCI LOBI!” teriakan terdengar dari belakang.

Aku berlari. Tanpa ampun. Menyusuri lorong rumah sakit. Kakiku terasa berat, tapi adrenalin—dan mungkin sisa energi parasit ini—memaksaku bergerak di luar batas kemampuan manusia. Orang-orang di lorong menyingkir, menjerit melihatku. Aku pasti terlihat mengerikan. Jaket robek, tangan kanan merah melepuh dan berasap, mata liar.

Sirene berbunyi di seluruh gedung. Wiu... Wiu... Wiu... Kode Merah. Atau Kode Hitam. Entahlah.

Aku tidak bisa lewat lift. Tidak bisa lewat lobi utama. Pasti sudah diblokade. Tangga darurat.

Aku menendang pintu Exit. Turun dua-tiga anak tangga sekaligus. Suara langkah kaki berat sepatu boot satpam terdengar menggema di tangga atas. Mereka mengejar.

Lantai 1. Pintu tangga darurat menuju parkiran belakang terkunci. “Sialan!” Aku mundur, lalu menendang tuas pintunya. Gagal. Tanganku yang melepuh berdenyut sakit setengah mati setiap kali jantungku memompa darah. Bip... Bip... Cahaya biru di balik kulitku yang terbakar bersinar redup, lemah. Dia ketakutan. Dia tahu “kakak”-nya yang sempurna ada di atas sana.

Aku mendengar suara napas satpam di lantai 2. Dekat. Aku menggunakan bahu kiriku, menabrak pintu besi itu sekuat tenaga. BRAK! Terbuka.

Udara panas luar ruangan menyambutku. Aku berada di area loading dock, tempat truk sampah medis parkir. Bau busuk sampah organik bercampur obat-obatan.

Ada satu satpam lagi di pos jaga belakang. Dia sedang menelepon, tapi melihatku keluar dengan napas memburu. “HEI! BERHENTI!”

Dia mencabut handy talky-nya, berlari ke arahku.

Aku tidak berhenti. Aku lari ke arah tembok pembatas rumah sakit setinggi dua meter. Di atasku, kawat berduri berkarat. Tidak ada waktu mikir. Aku melompat, meraih tepi tembok dengan tangan kiri, lalu menarik badanku naik. Tangan kananku yang melepuh terpaksa ikut mencengkeram.

“AAARGH!” Aku berteriak. Rasa sakitnya membutakan. Kulit yang melepuh tergesek beton kasar. Darah dan cairan bening menetes. Tapi rasa sakit itu membangunkanku.

Aku berguling melewati kawat berduri. Jaketku robek lagi di punggung. Celanaku nyangkut. Aku jatuh ke sisi lain tembok. Bruk.

Got selokan yang kering dan bau. Aku bangkit, tertatih-tatih lari masuk ke perkampungan padat di belakang rumah sakit.

Sayup-sayup, aku mendengar suara sirine polisi mendekat ke arah rumah sakit. Elisabeth tidak main-main. Dia memanggil hukum manusia untuk menghabisiku.

Aku terus berlari. Menyusuri gang-gang sempit, menghindari jalan utama. Orang-orang kampung menatapku aneh, tapi tidak ada yang berani menegur. Wajahku terlalu putus asa untuk ditanya.

Setelah lima belas menit berlari tanpa arah, aku berhenti di belakang sebuah warteg tutup yang sepi. Aku merosot duduk di tanah becek. Napas rasanya seperti pisau di paru-paru.

Aku melihat tangan kananku. Hancur. Kulitnya merah kehitaman, melepuh parah. Cairan nanah mulai keluar. Dan di sela-sela daging yang rusak itu... cahaya biru itu masih ada. Redup. Berkedip lemah. Bip... ... bip...

Aku kalah telak. Alena mati. Martin masih tidur dalam ketidaktahuannya. Dan sekarang, aku buronan. Pembunuh. Pembakar teman sendiri. Orang gila. Itu narasi yang akan keluar di berita nanti malam. Elisabeth menulis ceritanya dengan sempurna, dan aku dijadikan penjahat utamanya.

Ponselku bergetar di saku yang robek. Aku mengeluarkannya. Layarnya retak seribu, tapi masih nyala.

Ada satu pesan masuk. Dari nomor tidak dikenal.

“Gimana rasanya jadi karakter fiksi di cerita orang lain, Mas? Gak enak kan? :)”

Aku melempar ponsel itu ke got. Biarkan mati. Biarkan aku hilang dari radar.

Aku tidak bisa pulang ke apartemen. Tidak bisa ke Martin. Tidak bisa ke rumah sakit. Aku hantu sekarang. Hantu yang cacat.

Aku memejamkan mata, menyandarkan kepala ke tembok lembap. Air mata menetes. Bukan karena sedih. Tapi karena marah.

“Oke, Lis,” bisikku. “Lo mau gue jadi penjahat?”

Aku mengepalkan tangan kananku yang hancur. Rasa sakitnya membuatku sadar aku masih hidup.

TO BE CONTINUED IN SEASON 1 (PREMIUM)

Penasaran Nasib Okto Selanjutnya?

Okto kini sendirian, dituduh membunuh, dan dikejar oleh entitas yang menguasai kota. Episode 5: "Metastasis" dan kelanjutannya hanya tersedia di Paket Premium.