THE CRACKED LIGHT
THE CRACKED LIGHT
by RANI
Bab 1: Pasang Naik
Gedung Arkadia berdiri kokoh menusuk langit malam Jakarta.
Di lantai dua puluh tujuh, di balik dinding kaca yang tebalnya mampu menahan
badai, Aruna masih terjaga.
Jam digital di sudut layar laptopnya berkedip tanpa suara.
Pukul 02.14.
Waktu di mana batas antara kewarasan dan kegilaan sering
kali menipis, setipis kabut di kaca jendela.
Aruna menghela napas panjang, membiarkan udara dingin AC
sentral mengisi paru-parunya. Dingin. Kering. Steril. Bau pengharum ruangan
sintetik aroma lemon yang disemprotkan otomatis setiap lima belas menit sekali
seharusnya menenangkan, tapi malam ini baunya justru membuat perutnya mual. Dia
mengetukkan jari di atas meja mahoni yang licin.
Tak. Tak. Tak.
Bunyi itu terdengar kesepian. Terlalu kecil untuk ruangan
seluas ini. Di sekelilingnya, kubikel-kubikel kosong berdiri seperti makam
batu, layar-layar komputer yang gelap memantulkan cahaya lampu darurat di
lorong. Aruna adalah satu-satunya makhluk hidup di lantai ini—setidaknya, itu
yang dia yakini lima menit yang lalu.
Dia butuh kopi. Lagi.
Ini akan menjadi gelas kelima, atau mungkin keenam. Aruna
sudah berhenti menghitung sejak jam dua belas tadi. Dia mendorong kursi
kerjanya ke belakang. Roda-rodanya berdecit ngilu, memecah hening yang padat.
Saat Aruna berdiri, tulang punggungnya berbunyi krek
pelan. Tubuhnya protes. Otot-ototnya kaku seperti kawat yang ditarik terlalu
kencang. Tapi dia tidak peduli. Proposal desain interior untuk hotel bintang
lima di Bali ini harus selesai sebelum matahari terbit. Kliennya perfeksionis,
dan Aruna lebih perfeksionis lagi. Hidupnya adalah serangkaian garis lurus yang
rapi, bersih, dan terkontrol. Tidak ada tempat untuk kesalahan. Tidak ada
tempat untuk noda.
Aruna melangkah menuju pantry.
Langkah kakinya diredam oleh karpet kantor yang tebal dan
empuk. Dia menyukai karpet ini. Warnanya abu-abu netral, menyembunyikan debu,
menyerap suara. Rasanya aman.
Namun, tepat saat dia melewati dinding kaca ruang rapat
utama, langkahnya terhenti.
Ada yang salah.
Awalnya samar. Seperti aroma yang terbawa angin lalu hilang.
Tapi kemudian, bau itu datang lagi. Lebih kuat. Lebih berani.
Aruna mengendus udara. Hidungnya kembang-kempis, mencoba
memilah partikel asing yang menyusup ke dalam benteng sterilisasinya.
Ini bukan bau kopi yang hangus. Bukan bau sisa makan siang
karyawan yang lupa dibuang.
Itu bau laut.
Bukan laut biru di brosur wisata yang dia jual ke kliennya.
Ini bau laut yang marah. Bau air surut di kampung nelayan yang miskin. Bau
lumpur hitam yang pekat, tempat kepiting-kepiting kecil berebut bangkai ikan.
Bau amis jeroan tongkol yang dibiarkan membusuk di bawah terik matahari
khatulistiwa, bercampur dengan aroma garam yang lengket dan tajam.
Dan di balik semua itu, ada bau lain yang membuat bulu kuduk
Aruna meremang seketika.
Bau manusia.
Bau keringat laki-laki yang sudah mengering di baju tanpa
dicuci berhari-hari. Apek. Masam. Dan bau tembakau murah—jenis tembakau linting
yang sering diselipkan di balik telinga, basah kena keringat, lalu dibakar
dengan api yang menyala-nyala.
"Siapa sih?" gumam Aruna. Suaranya terdengar parau
dan tak jelas.
Dia berputar, matanya liar menyapu ruangan yang kosong
melompong.
"Pak Junaedi?" panggilnya, menyebut nama satpam
shift malam.
Hening.
Tidak ada jawaban. Hanya dengung rendah mesin pendingin
udara yang terdengar seperti napas raksasa yang sedang tidur.
"Nggak lucu," gumamnya pada diri sendiri.
Tangannya refleks menyilang di depan dada, menggosok lengan atasnya yang
tiba-tiba merinding.
Mungkin ventilation duct bocor. Mungkin ada pipa
pembuangan yang pecah di lantai atas. Itu penjelasan yang paling masuk akal.
Aruna mencoba berpegang pada logika itu. Dia arsitek interior; dia tahu soal
struktur bangunan. Pipa pecah itu biasa. Bau busuk itu masalah teknis, bukan
mistis.
Dia memutuskan untuk mengabaikannya dan melanjutkan langkah
ke pantry. Tapi semakin dia berjalan, bau itu semakin padat. Rasanya
bukan lagi seperti mencium bau, tapi seperti memakan bau itu. Udara
terasa tebal dan berminyak di lidahnya.
Aruna sampai di depan dinding kaca hitam yang memisahkan
area kerja dengan koridor lift. Kaca itu berfungsi seperti cermin raksasa di
malam hari karena gelapnya lorong di seberang sana.
Aruna berhenti lagi. Dia melihat pantulan dirinya di sana.
Seorang wanita muda, dua puluh sembilan tahun, dengan kemeja
putih bermerek yang mulai kusut di bagian pinggang. Rambutnya dikuncir kuda,
sedikit berantakan. Wajahnya pucat, lingkaran hitam di bawah matanya terlihat
jelas bahkan di pantulan yang remang.
Aruna mengangkat tangan kanannya, hendak membenarkan anak
rambut yang jatuh ke dahi.
Di dalam kaca, bayangan Aruna diam.
Tangan Aruna yang asli sudah menyentuh pelipis. Jari-jarinya
merasakan tekstur kulit dan rambutnya sendiri.
Tapi tangan bayangan di kaca itu masih menggantung kaku di
sisi tubuh. Lurus. Mati.
Darah Aruna rasanya berhenti mengalir. Jantungnya, yang tadi
berdetak stabil, tiba-tiba memukul rongga dada dengan keras. Dug. Dug. Dug.
Dia terpaku. Kakinya seolah dipaku ke lantai karpet. Dia
ingin menurunkan tangannya, tapi tubuhnya lumpuh oleh teror yang tidak masuk
akal ini.
Logikanya berteriak: Itu cuma bias cahaya! Itu cuma efek
kaca ganda! Kamu kurang tidur, Aruna! Kamu butuh istirahat!
Tapi matanya melihat hal lain.
Perlahan. Sangat perlahan. Sosok di dalam kaca itu mulai
bergerak.
Bukan meniru gerakan Aruna. Sosok itu punya agendanya
sendiri.
Kepala bayangan itu miring ke kiri. Gerakannya patah-patah,
kaku, dan tidak wajar. Krek. Aruna bersumpah dia bisa mendengar suara
tulang leher yang diputar paksa, bergema di dalam kepalanya sendiri.
Lalu, bibir bayangan itu tertarik.
Bukan senyum sopan yang biasa Aruna berikan pada klien. Itu
adalah seringai. Lebar. Miring. Menampilkan deretan gigi yang tampak terlalu
banyak dan terlalu tajam untuk mulut manusia. Mata bayangan itu—mata Aruna
sendiri—melebar, menatap Aruna dengan sorot lapar yang mengerikan.
Dan saat itulah, sensasi fisik itu datang.
Sebuah hembusan napas.
Panas. Lembap. Basah.
Menerpa tepat di tengkuk leher Aruna.
Bau busuk itu meledak di sekelilingnya. Bau ketek
yang menyengat, bau alkohol murah, dan bau mulut perokok berat seolah ditiupkan
langsung ke pori-pori kulitnya. Rasanya begitu dekat, begitu intim, seolah ada
tubuh besar yang sedang berdiri merapat di punggungnya, menempelkan dada
bidangnya ke punggung Aruna.
"Aruna..."
Bisikan itu.
Itu bukan suara angin. Itu bukan suara AC. Itu suara serak,
berat, dan basah. Suara dari masa lalu yang seharusnya sudah terkubur di dasar
laut sepuluh tahun lalu.
Aruna menjerit.
Dia berbalik dengan gerakan sentak yang panik, nyaris
terjungkal karena hak sepatunya tersangkut di karpet. Tangannya mengibas liar
ke udara kosong di belakangnya.
"JANGAN!" teriaknya.
Kosong.
Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada manusia. Tidak ada hantu.
Tidak ada monster.
Hanya ada ruang kantor yang hening dan dingin.
Napas Aruna memburu, dadanya naik-turun dengan cepat dan
menyakitkan. Matanya nanar mencari-cari. Di mana dia? Di mana sumber suara itu?
Aruna mundur selangkah, punggungnya menabrak dinding kaca di
belakangnya. Kaca itu dingin, kontras dengan sensasi panas menjijikkan yang
masih tertinggal di tengkuknya.
Lalu dia melihat ke bawah.
Di atas karpet abu-abu yang bersih itu. Tepat di tempat dia
berdiri tadi.
Ada jejak.
Jejak kaki telanjang.
Ukurannya besar, jauh lebih besar dari kaki Aruna. Jempol
kakinya mekar, tumitnya pecah-pecah. Jejak itu basah, meninggalkan noda hitam
pekat di karpet. Bukan air bersih, tapi air keruh bercampur pasir pantai yang
hitam legam.
Dua jejak kaki. Berjajar rapat. Mengarah ke tempat Aruna
berdiri sebelumnya.
Posisi jejak itu menunjukkan bahwa pemilik kaki itu tadi
berdiri tepat di belakang Aruna. Sangat dekat. Memeluknya dari belakang.
"Gila..." Aruna meracau, suaranya bergetar hebat.
"Ini gila... nggak mungkin..."
Bau amis itu semakin menusuk, membuat perutnya bergejolak
hebat. Rasa mual naik ke kerongkongan. Dia menutup mulut dengan tangan,
berusaha menahan muntah.
Dia harus pergi. Sekarang.
Aruna tidak peduli lagi dengan laptopnya yang masih menyala.
Dia tidak peduli dengan tas Hermes-nya yang tertinggal di meja. Alam bawah
sadarnya mengambil alih: Lari.
Dia berlari menuju lift. Kakinya terasa ringan sekaligus
berat, seolah dia sedang berlari di dalam air. Lorong menuju lift terasa
memanjang, seperti terowongan yang tidak berujung.
Aruna menekan tombol panah bawah berulang-ulang.
"Ayo... ayo..." rintihnya.
Lampu indikator lift menunjukkan angka 20... 24... 26...
Ting.
Pintu logam itu terbuka. Aruna melompat masuk bahkan sebelum
pintunya terbuka penuh. Dia menekan tombol Basement dan tombol Close
Door secara bersamaan dengan panik.
"Tutup... tutup..."
Pintu lift mulai bergerak menutup perlahan. Terlalu lamban.
Melalui celah pintu yang menyempit, Aruna melihat kembali ke
lorong kantor yang remang-remang.
Di ujung sana. Di batas cahaya lampu darurat.
Sebuah bayangan hitam "tumpah" dari dinding.
Kegelapan itu tidak memantul dari objek apa pun; ia berdiri
sendiri. Seperti tinta cumi-cumi yang tumpah di air jernih, gumpalan hitam itu
merayap, memanjang, dan membentuk siluet yang mengerikan: bahu lebar yang
membungkuk, menyeret tubuh bagian bawah yang hancur.
Bahunya lebar, tangannya panjang seperti tentakel, menyeret
tubuh bagian bawah yang tampak hancur. Di tangan kanannya, bayangan itu
memegang sesuatu yang panjang dan berserabut.
Jaring ikan.
Aruna mundur sampai punggungnya menempel di dinding belakang
lift. Matanya terbelalak, air mata ketakutan mulai mengalir tanpa dia sadari.
Bayangan itu semakin dekat. Suara seretannya terdengar jelas
sekarang. Sreeet... sreeet... Suara kulit basah yang bergesekan dengan
karpet.
Tangan bayangan itu terulur ke arah celah pintu lift.
Jari-jarinya yang hitam dan runcing hendak menggapai.
BAM.
Pintu lift tertutup rapat tepat sebelum bayangan itu
menyentuhnya.
Mesin lift berdengung, membawa kotak besi itu meluncur
turun. Aruna merosot ke lantai lift. Kakinya tidak kuat lagi menopang tubuhnya.
Dia memeluk lutut, membenamkan wajahnya di antara kedua kaki.
Tapi dia tidak aman.
Di dalam kotak lift yang sempit dan tertutup rapat itu, bau
laut busuk itu terperangkap bersamanya.
Bau itu tidak tertinggal di lantai 27. Bau itu ikut masuk.
Aruna bisa merasakan hawa lembap di udara. Dia bisa
mendengar suara napas berat ngosh-ngosan di sudut lift yang kosong.
Hhhh... hhhh...
Aruna mengangkat kepala perlahan, matanya menatap pantulan
dirinya di dinding stainless steel lift yang buram.
Di pantulan itu, Aruna melihat dirinya sendiri sedang duduk
meringkuk.
Tapi di belakang pantulan dirinya... ada sosok bayangan
hitam besar yang berdiri menjulang, menunduk menatapnya.
Aruna memejamkan mata rapat-rapat dan mulai menghitung.
"Satu... dua... ini mimpi... tiga... empat... bangun
Aruna... lima..."
Lift terus meluncur turun, membawa Aruna dan penumpangnya yang tak kasat mata menuju kegelapan basement.
Bab 2: Tamu Tak Diundang
Aruna memacu mobilnya membelah jalanan Jakarta yang mulai
lengang. AC mobil diputar ke suhu paling rendah, kipas paling kencang, hingga
udara di dalam kabin terasa seperti es. Dia butuh dingin untuk membekukan rasa
takut. Dia menyalakan radio dengan volume yang menyakitkan telinga. Lagu-lagu
pop cengeng, berita politik, iklan obat batuk—apa saja, asalkan ada suara
manusia. Asalkan bising itu bisa membungkam bisikan yang mungkin masih menempel
di jok belakang.
Sesekali matanya melirik spion tengah dengan was-was.
Kosong. Hanya deretan lampu jalan yang melesat mundur seperti garis-garis neon
oranye yang kabur.
Tapi baunya... bau itu keras kepala.
Bau amis itu seolah sudah menyusup ke dalam serat kain jok
mobilnya, menempel di plafon, atau mungkin, lebih parah lagi, menempel di dalam
rongga hidungnya sendiri.
Apartemen Aruna ada di kawasan Jakarta Selatan. Lantai lima
belas. Tempat yang tinggi, kering, dan jauh dari tanah. Jauh dari laut. Ini
adalah benteng pertahanannya. Di sini tidak ada pasir, tidak ada air asin,
tidak ada kenangan masa kecil yang miskin dan lembap. Semuanya marmer, kaca,
dan kayu parket mahal yang dipoles mengkilap.
Saat Aruna membuka pintu unitnya, dia disambut oleh hembusan
udara yang akrab. Wangi diffuser lavender dan linen bersih yang baru
dicuci. Cahaya lampu kota masuk malu-malu dari jendela besar di ruang tamu.
Dia membanting pintu, mengunci grendel atas, grendel bawah,
dan memasang rantai pengaman dengan tangan gemetar. Klik. Klik. Ceklek.
Suara kunci logam itu terdengar solid.
Napasnya masih memburu, tapi setidaknya dia sudah di rumah.
Wilayah kekuasaannya.
"Aman," bisiknya pada diri sendiri, suaranya
terdengar asing di telinganya. "Lo aman, Na. Lo gila dikit karena kerjaan,
tapi lo aman."
Dia melempar tasnya ke sofa kulit berwarna krem dan langsung
menuju kamar mandi. Dia tidak mau duduk dulu. Dia tidak mau minum dulu. Dia
harus membersihkan diri.
Dia merasa kotor. Kulitnya terasa lengket, seolah dilapisi
lapisan garam tipis dan lendir ikan yang tak kasat mata.
Di bawah guyuran shower air panas, Aruna menggosok
tubuhnya dengan spons kasar. Dia menuangkan sabun cair beraroma stroberi
banyak-banyak, sampai busa melimpah menutupi lantai kamar mandi. Dia menggosok
lengan, leher, dada, paha, sampai kulitnya memerah dan perih.
"Hilang... hilang... hilang..." rapalan itu terus
keluar dari mulutnya, bercampur dengan uap panas.
Dia ingin menggosok memori itu sampai lepas dari dagingnya.
Dia ingin mengelupas lapisan kulit yang pernah disentuh oleh masa lalu.
Dua puluh menit kemudian, dia keluar dengan mengenakan
piyama sutra. Rambutnya dibungkus handuk. Kulitnya terasa panas dan kesat,
sedikit perih di bagian bahu karena digosok terlalu keras. Dia sudah bersih.
Atau setidaknya, dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Aruna berjalan ke dapur, menuang segelas air dingin dari
dispenser. Gelas kaca itu berembun di tangannya. Dia meneguk air itu rakus,
membiarkan dinginnya membasuh tenggorokan yang kering.
Logikanya mulai bekerja lagi. Detak jantungnya melambat.
Kejadian di kantor tadi pasti cuma panic attack. Serangan panik akut.
Halusinasi karena kurang tidur dan stres berat akibat deadline. Besok
dia akan ambil cuti. Mungkin pergi ke spa, pijat, lalu tidur seharian.
Sreeet...
Gelas di tangan Aruna berhenti di tengah udara.
Suara itu.
Lagi.
Suara sesuatu yang basah dan berat diseret di atas lantai
kayu.
Aruna menoleh perlahan ke arah ruang tamu. Jantungnya yang
baru saja tenang kembali melompat gila-gilaan. Lampu utama sudah dia nyalakan
semua sejak masuk tadi. Ruangan itu terang benderang. Tidak ada sudut gelap.
Tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Tapi di tengah ruangan, di atas karpet bulu domba putih
kebanggaannya... ada noda.
Noda hitam yang menyebar. Seperti tinta cumi-cumi yang
tumpah, atau lumpur pekat dari rawa bakau. Noda itu merusak kesempurnaan putih
karpetnya.
Dan di tengah noda itu, berdiri sebuah jejak kaki basah.
Hanya satu. Kaki kanan.
Ukuran 43 atau 44. Jempolnya mekar lebar.
Dada Aruna terasa dipukul godam. Gelas di tangannya terlepas
dari jari-jari yang tiba-tiba lemas.
PRANG!
Pecahan kaca dan air berserakan di lantai dapur. Tapi Aruna
tidak peduli. Matanya terkunci pada jejak kaki di ruang tamu itu.
Lalu, di depan matanya sendiri, jejak kedua muncul.
Plak.
Suara telapak kaki basah menampar lantai parket. Jejak kaki
kiri tercetak di lantai kayu, satu langkah lebih maju dari jejak kanan. Jejak
itu basah kuyup, meninggalkan genangan air keruh yang berbau anyir.
Jejak itu berjalan. Menuju ke arah dapur. Menuju ke arah
Aruna.
Plak. Plak.
Satu langkah. Dua langkah.
Tidak ada orangnya. Tidak ada hantu transparan seperti di
film horor murahan. Hanya jejak kaki yang muncul entah dari mana, seolah
pemiliknya tidak kasat mata tapi memiliki bobot fisik yang nyata. Lantai kayu
itu berderit pelan setiap kali jejak baru muncul.
Baunya datang lagi.
Kali ini bukan samar-samar. Kali ini baunya menghantam wajah
Aruna seperti ombak pasang yang menerjang tebing.
Bau ikan busuk yang sudah dikerubungi lalat hijau. Bau
tembakau rokok klobot yang menyengat. Dan bau ketek apek yang khas—bau
laki-laki pekerja kasar yang berkeringat di bawah matahari seharian tanpa
pernah mengenal sabun.
"Siapa?!" teriak Aruna. Suaranya pecah, melengking
histeris. Dia mundur sampai pinggangnya menabrak meja kitchen island.
"Keluar! Ini rumah gue! Keluar!"
Hening sejenak. Jejak kaki itu berhenti tepat di batas
antara ruang tamu dan dapur.
Lalu, sebuah suara menjawab.
Bukan dari depan. Tapi dari belakang, tepat di samping
telinga kirinya. Sangat dekat, seolah bibir pembicara menempel di daun
telinganya.
"Nduk... kok malah bengak-bengok?”
Suara itu berat. Medok. Basah. Ada bunyi grok-grok
di setiap kata, seperti ada dahak kental yang tersangkut di tenggorokan
pembicaranya.
Aruna berputar, menyenggol rak piring. Dia mengambil pisau
buah kecil dengan gagang kayu. Tangannya gemetar begitu hebat sampai dia hampir
menjatuhkan pisau itu. Dia mengacungkannya ke udara kosong.
"Jangan deket-deket! Gue panggil polisi! Gue panggil
satpam!"
Ruang dapur kosong. Tidak ada siapa-siapa di belakangnya.
Tapi Aruna bisa merasakan hawa panas. Radiasi panas tubuh
seseorang yang berdiri terlalu dekat. Dia bisa merasakan kelembapan napas orang
itu di pipinya.
"Polisi opo to, Nduk? Iki Pak Lek. Mosok lali?”
"Lo udah mati!" jerit Aruna. Air mata mulai
mengalir deras, memburamkan pandangannya. Ingatannya berputar ke sepuluh tahun
lalu. Berita di koran lokal. Mayat nelayan ditemukan mengambang di muara
sungai. "Pak Lek udah mati tenggelam! Gue liat mayat lo! Bengkak! Biru!
Gue ada di pemakaman!"
Suara tawa terdengar. Tawa yang kering, retak, dan mirip
suara batuk perokok.
"Mati itu cuma pindah tempat, Nduk. Pak Lek kangen.
Omahmu apik yo saiki. Wangi. Nggak bau amis kayak gubuk kita di kampung
dulu."
Aruna menunduk. Lantai dapur di sekitar kakinya mulai basah.
Bukan air dari gelas yang pecah tadi.
Air keruh merembes dari sela-sela ubin marmer, seolah lantai
apartemennya sedang berdarah. Air itu naik cepat, membasahi ujung celana piyama
sutra Aruna. Dingin. Menusuk tulang.
Dan di pantulan air keruh di lantai itu, Aruna melihatnya.
Dia tidak melihat wajahnya sendiri yang ketakutan.
Dia melihat wajah laki-laki tua dengan kulit keriput
terbakar matahari, gigi kuning karena nikotin, dan mata yang putih semua tanpa
pupil. Laki-laki itu sedang menyeringai dari dalam lantai, menatap ke atas, ke
arah rok Aruna.
"AAAAKH!"
Aruna mundur, kakinya terpeleset pecahan kaca gelas tadi.
Sret.
Telapak kakinya sobek. Darah segar mengalir, merah terang,
bercampur dengan air keruh yang berbau busuk di lantai.
Sakit fisik itu menyadarkannya sedikit. Ini bukan mimpi.
Sakit ini nyata. Darah ini nyata.
Dia merangkak mundur, menjauhi genangan air itu. Dia harus
keluar. Dia harus lari ke lobi. Dia harus mencari manusia lain.
Aruna bangkit tertatih-tatih, darah mencetak jejak merah
pincang di lantai saat dia berlari ke pintu depan.
Tangannya meraih gagang pintu.
Licin.
Gagang pintu logam itu terbungkus sesuatu yang berlendir dan
kental.
Aruna menarik tangannya dengan jijik. Di telapak tangannya,
ada lendir bening yang menjuntai. Berbau anyir. Seperti lendir kulit ikan lele
yang masih hidup.
"Mau kemana?"
Suara itu kini terdengar marah. Tidak lagi menggoda. Nada
bicaranya berubah menjadi bentakan kasar yang dulu sering membuat Aruna kecil
kencing di celana karena takut.
"Ojo metu! Neng njobo akeh wong! Isin!”
Pintu apartemen itu tiba-tiba terkunci sendiri.
Kunci grendel berputar di depan mata Aruna. Klik. Klik.
Rantai pengaman bergeser menutup sendiri dengan suara logam beradu yang keras.
Aruna mengguncang gagang pintu itu dengan panik. "Buka!
Tolong! Buka!"
Tapi pintu itu tidak bergeming. Seolah dilas mati ke
kuseinnya.
Bayangan di lorong apartemen mulai bergerak.
Bukan bayangan benda. Bayangan kegelapan itu sendiri
memadat, menggumpal seperti asap hitam yang berat, membentuk siluet tubuh yang
tinggi besar dan membungkuk. Bayangan itu memegang sesuatu yang panjang di
tangan kanannya.
Jaring.
Jaring nelayan yang robek-robek dan penuh lumut.
Bayangan itu melangkah maju. Tidak ada wajah, hanya
kegelapan pekat yang menyerap cahaya lampu. Tapi postur tubuhnya—cara bahunya
membungkuk, cara kakinya diseret—itu adalah postur Pak Lek.
Aruna terpojok di pintu. Dia merosot duduk, memeluk
lututnya, menutup mata rapat-rapat. Dia menggigit bibirnya sampai berdarah,
mencoba mengalihkan rasa takut dengan rasa sakit.
"Ini skizofrenia," rapalnya seperti orang gila.
"Ini gangguan jiwa. Otak gue rusak. Gue butuh haloperidol. Ini nggak
nyata. Ini nggak nyata."
Sebuah tangan dingin menyentuh bahunya.
Bukan tangan hantu yang menembus daging. Ini tangan fisik.
Kasar. Kapalan. Kuku-kukunya yang panjang dan kotor, penuh
tanah hitam, menggores kulit bahu Aruna lewat kain piyama tipisnya.
Cengkramannya kuat, menyakitkan, seolah kuku-kuku itu ingin menancap ke daging.
Aruna menahan napas. Bau mulut busuk itu menerpa wajahnya.
"Ssttt... meneng wae." Bisikan itu
menggelitik telinganya, basah dan menjijikkan. "Enak to? Penak to? Kita
main lagi kayak dulu..."
Aruna menjerit. Jeritan panjang yang merobek tenggorokan,
jeritan anak kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa.
Dia memukul-mukul udara, menendang-nendang dengan kakinya
yang berdarah. Kakinya menendang meja konsol sampai vas bunga jatuh pecah
berantakan.
Tapi tidak ada apa-apa yang dia pukul. Tangannya hanya
meninju udara kosong.
Namun sentuhan itu tetap ada. Tangan kasar itu merayap turun
dari bahu ke lengan, meremasnya kuat-kuat, meninggalkan rasa panas yang
membakar.
Aruna meringkuk seperti janin di lantai yang dingin dan
basah oleh air imajiner—atau mungkin nyata. Dia menangis tanpa suara, tubuhnya
terguncang hebat.
Malam itu, di lantai lima belas apartemen mewah Jakarta
Selatan, seorang wanita karir yang sukses disandera oleh hantu masa lalu yang
baunya lebih busuk dari sampah.
Dia tidak tidur sedetik pun.
Setiap kali dia mencoba memejamkan mata, dia mendengar suara
napas grok-grok di sebelahnya. Setiap kali dia membuka mata, dia melihat
bayangan jaring ikan bergoyang-goyang di langit-langit kamarnya, seolah-olah
dia sedang berada di dasar laut, terperangkap, menunggu dimangsa.
Bab 3: Bangkai di Kotak Kardus
Aruna tidak menebus obat antipsikotik itu. Kertas resep dari
Dr. Satria berakhir di tong sampah trotoar yang basah oleh hujan.
Aruna sadar, semakin dia berlari, bau itu justru semakin
menempel di kulitnya. Dia tidak bisa melarikan diri dari sesuatu yang sudah
mengalir dalam darahnya. Jika monster itu menginginkannya, Aruna memutuskan
untuk tidak memberikannya secara cuma-cuma. Dia harus tahu wajah asli
ketakutannya.
Sebagai gantinya, dia mampir ke sebuah toko elektronik tua
di Glodok, mencari satu-satunya benda yang bisa menghidupkan kembali masa lalu:
baterai kotak tebal untuk Handycam Sony keluaran tahun 2000.
Dia pulang saat matahari sudah tenggelam. Apartemennya gelap
gulita. Dia sengaja mematikan sekring listrik dari panel utama di koridor.
Logika Aruna yang kian rapuh berkata: Tanpa cahaya lampu,
bayangan tidak akan setajam biasanya. Atau mungkin, jauh di lubuk hatinya,
dia mematikan lampu karena dia tahu tamu itu akan datang, dan dia ingin
menyambutnya dalam kegelapan yang setara.
Aruna duduk bersila di tengah ruang tamu. Lantai parket di
bawahnya terasa dingin, tapi kering. Belum ada air. Belum ada lendir.
Di hadapannya, tergeletak sebuah kotak kardus mi instan yang
sudah lapuk. Kardus yang dia bawa dari kampung pesisir setelah pemakaman
ibunya, dilakban berlapis-lapis, dan disembunyikan di sudut gudang paling dalam
selama sepuluh tahun.
Baunya merembes dari sini.
Bukan dari hantu. Bukan dari halusinasi. Tapi dari memori
fisik yang tersimpan di dalam serat kardus tua itu.
Bau apek. Bau kapur barus yang gagal menutupi bau asin air
laut.
Tangan Aruna tidak gemetar saat menyobek lakban cokelat yang
sudah kering dan rapuh itu. Dia sudah melewati fase takut. Sekarang dia ada di
fase mati rasa.
Isinya barang-barang lama. Baju SD yang sudah menguning.
Kebaya ibunya yang penuh noda jamur. Dan di bagian paling bawah, terbungkus
kain sarung lusuh bermotif kotak-kotak... Handycam itu.
Benda itu terasa berat dan dingin di tangannya. Plastik
abu-abunya terasa berminyak. Aruna memasukkan baterai baru, mendengar bunyi klik
mekanik yang memuaskan. Dia membuka layar LCD kecil di sisi kiri kamera.
Kaset Mini DV masih ada di dalam. Tidak pernah
dikeluarkan sejak hari itu.
Aruna menekan tombol Power. Layar menyala biru,
menyilaukan mata Aruna yang sudah terbiasa dengan gelap.
Dia menekan Play.
Suara statis kresek-kresek memenuhi ruangan sunyi
itu. Lalu, gambar muncul. Pecah-pecah, buram, tapi nyata.
Suasana sore di teras rumah panggung kayu. Cahaya matahari
oranye jatuh miring, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang dramatis di
lantai kayu yang renggang.
Di layar, ada Aruna kecil. Umur empat tahun. Rambutnya
dipotong pendek asal-asalan seperti laki-laki. Dia memakai kaos kutang yang
kebesaran, tulang selangkanya menonjol. Dia sedang jongkok, menyusun kulit
kerang yang kotor.
Kamera bergoyang. Terdengar napas berat si pemegang kamera.
Napas yang basah, berbunyi grok-grok.
"Nuna... ayo dolanan. Ibu isih suwe neng pasar
pelelangan.”
Di layar, bahu Aruna kecil menegang kaku. Dia tidak menoleh.
Dia justru memeluk lututnya lebih erat, meringkuk seperti trenggiling.
"Emoh. Pak Lek bau. Bau badek.”
"Hush. Iki bau lanang, Nduk. Sini... Pak Lek punya
jaring baru. Kita main ikan-ikanan."
Kamera ditaruh di lantai kayu. Sudut pandangnya menjadi
rendah, sejajar dengan mata kaki.
Sekarang, Pak Lek masuk ke dalam bingkai.
Kaki Pak Lek hitam, penuh koreng, dan kuku jempolnya
pecah-pecah. Celana kolornya dekil. Dia berjalan mendekati Aruna kecil.
Langkahnya pelan, seperti predator yang menikmati ketakutan mangsanya.
Di apartemen gelap itu, Aruna dewasa menahan napas. Bau di
ruangan ber-AC itu berubah drastis.
Bau tembakau basah, alkohol murah, dan keringat masam
meledak di udara. Begitu kuat, begitu tajam, sampai mata Aruna berair. Rasanya
seperti ada seseorang yang menjejalkan kain kotor ke dalam mulutnya.
Di layar kecil itu, tangan Pak Lek terulur. Besar, kasar,
dan kotor.
Aruna kecil memejamkan mata rapat-rapat. Wajahnya pucat
pasi, seperti mayat hidup. Dia mematung. Mati suri.
Tapi... lihat bayangannya.
Matahari sore mencetak bayangan Aruna kecil dengan tajam di
lantai kayu.
Saat jari-jari Pak Lek menyentuh bahu Aruna kecil...
bayangan di lantai itu bergerak.
Bayangan itu melepaskan diri dari kaki Aruna kecil.
Bayangan itu berdiri. Wujudnya hitam pekat, tanpa wajah. Itu
bukan bayangan anak kecil yang ketakutan. Itu bayangan sesuatu yang marah.
Bahunya tegap. Tangannya mengepal.
Saat Pak Lek mulai menarik tubuh Aruna kecil ke pangkuannya,
bayangan hitam itu membesar. Dia merayap naik ke dinding kayu, menjadi raksasa,
lalu menjatuhkan dirinya menimpa bayangan Pak Lek.
Di dunia nyata, Aruna kecil hanya diam, pasrah, jiwanya
pergi entah ke mana—disosiasi total untuk bertahan hidup.
Tapi di dunia bayangan, di lantai kayu itu... bayangan Aruna
memangsa bayangan Pak Lek.
Bayangan itu menyerap kegelapan Pak Lek. Dia menyerap tangan
yang menjamah itu. Dia menyerap niat jahat itu. Bayangan itu menjadi wadah
penampungan. Dia rela menjadi kotor, menjadi bau, menjadi monster, supaya Aruna
kecil—si pemilik tubuh—tetap merasa "bersih" di dalam kepalanya.
Layar handycam mati mendadak. Bip. Baterai
habis atau rekaman selesai.
Gelap kembali menyergap.
Aruna menurunkan kamera itu pelan-pelan ke pangkuannya. Air
mata mengalir di pipinya, tapi bukan air mata sedih. Itu air mata pengakuan.
"Lo bukan hantu..." bisik Aruna ke kegelapan,
suaranya parau. "Lo bukan Pak Lek."
Dia menyalakan senter HP-nya, menyorot ke dinding putih
kosong di depannya.
"Keluar."
Bayangan itu muncul.
Dia tidak menempel di dinding. Dia berdiri di tengah
ruangan, memblokir cahaya senter Aruna.
Wujudnya mengerikan.
Sosok itu tinggi, hitam pekat, dan permukaannya tampak
bergetar seperti aspal cair yang mendidih atau lumpur rawa yang hidup. Baunya
busuk luar biasa—campuran bau bangkai ikan, limbah laut, dan keringat laki-laki
jahat.
Sosok itu tidak punya wajah. Kepalanya hanya gumpalan hitam
yang menunduk.
Aruna berdiri. Kakinya yang diperban terasa nyeri, tapi dia
melangkah maju.
Sosok itu mundur selangkah. Terdengar suara plak
basah saat kakinya yang tak berwujud memijak lantai parket.
"Jangan mundur," kata Aruna tegas. "Gue inget
sekarang."
Sosok itu berhenti. Tubuhnya bergetar hebat. Dari dalam
tubuh hitam itu, terdengar suara-suara. Bukan satu suara, tapi ribuan. Suara
Aruna kecil menangis. Suara debur ombak pantai selatan. Suara napas Pak Lek.
Suara robekan kain.
Itu bukan sesuatu yang ingin membunuh Aruna.
Itu bukan monster asing. Itu adalah wadah. Tong sampah.
Selama dua puluh lima
tahun, setiap rasa jijik, malu, dan takut yang tidak sanggup Aruna telan, dia
muntahkan ke dalam bayangan itu. Sosok itu membusuk karena Aruna membiarkannya
memikul bangkai sendirian.
"Lo kotor banget," isak Aruna, melangkah semakin
dekat. Bau amis itu membuat perutnya mual, tapi dia menelannya. "Lo bau.
Lo menjijikkan."
Sosok bayangan itu tampak menyusut, seolah malu terlihat
oleh tuannya.
"Tapi itu kotoran gue, kan?"
Aruna mematikan senter HP-nya. Gelap total.
Dalam buta itu, Aruna merentangkan tangan dan menerjang
maju.
Dia memeluk kegelapan itu.
Rasanya seperti memeluk balok es yang dibungkus lendir.
Dingin. Basah. Lengket. Kulit Aruna langsung meremang. Bau busuk itu menusuk
masuk ke hidung, ke tenggorokan, memenuhi paru-parunya, membuatnya
terbatuk-batuk dan tersedak.
Rasanya seperti tenggelam di laut yang penuh limbah minyak.
Tangan-tangan hitam dari sosok itu ragu-ragu, lalu melilit
tubuh Aruna. Erat. Semakin erat.
"Sakit..." rintih Aruna saat dingin itu menembus
tulangnya.
Memori itu menyerbu masuk. Bukan sebagai gambar visual, tapi
sebagai sensasi fisik murni.
Kasar tangan Pak Lek di paha. Panas napasnya di leher. Rasa
perih robekan. Rasa malu yang membakar. Rasa tidak berdaya. Semuanya ditransfer
kembali dari bayangan ke tubuh pemiliknya.
Aruna menjerit. Dia ingin melepaskan pelukan itu. Sakitnya
terlalu nyata. Tubuhnya kejang-kejang menerima kembali trauma yang sudah dia
amputasi puluhan tahun lalu.
Tapi dia tidak melepaskannya. Dia justru membenamkan
wajahnya ke dada sosok yang bau itu, membiarkan lendir dingin itu membasahi
wajahnya.
"Pulang..." bisik Aruna di antara jeritannya.
"Bawa semuanya pulang. Itu punya gue. Bukan punya lo."
Di apartemen lantai lima belas itu, Aruna bergulat dengan
dirinya sendiri, mencerna kembali racun yang selama ini dia muntahkan.
Malam itu, dia memakan bayangannya sendiri.
Bab 4: Air Bukan Cahaya
Tiga minggu kemudian.
Ruang rapat di lantai 27 Gedung Arkadia terang benderang.
Presentasi desain interior untuk Hotel Bali berjalan lancar. Klien utama,
seorang bapak tua pemilik jaringan hotel internasional, tampak puas.
"Luar biasa, Bu Aruna," kata klien itu sambil
berdiri menjabat tangan Aruna. "Konsep lautnya... terasa sangat hidup.
Gelap, misterius, tapi elegan."
Aruna tersenyum. Senyum profesional yang sempurna. Dia
mengenakan blazer hitam yang pas di badan, rambutnya digelung rapi tanpa satu
helai pun yang keluar. Tidak ada lagi lingkaran hitam di bawah matanya. Dia
terlihat segar. Kuat. Berkuasa.
"Terima kasih, Pak," jawab Aruna. Suaranya tenang,
sedikit lebih berat dan serak dari biasanya.
Saat klien itu hendak melepaskan jabat tangan, dia tiba-tiba
berhenti.
Hidung pria tua itu mengkerut sedikit. Dia menarik napas
pendek, lalu menahan napasnya. Pria itu menarik tangannya dengan gerakan ragu,
lalu secara tidak sadar mengelapkan telapak tangannya ke celana bahan mahalnya,
seolah baru saja memegang sesuatu yang lembap.
"Ada... bau laut ya?" tanya klien itu pelan,
matanya bergerak gelisah melihat ke sekeliling ruangan yang steril.
"Seperti bau... air surut? Atau ikan?"
Sekretaris Aruna buru-buru menyela dengan wajah panik,
"Ah, mungkin dari AC, Pak. Nanti saya panggil teknisi. Mohon maaf."
Aruna tidak membantah. Dia juga tidak meminta maaf.
Dia hanya berdiri diam, kedua tangannya terlipat rapi di
depan perut. Matanya menatap tajam ke arah klien itu.
Dia melihat ke bawah. Ke lantai di bawah meja kaca yang
bening.
Lampu ruang rapat yang terang mencetak bayangan semua orang
dengan jelas di karpet abu-abu. Bayangan Pak Klien berbentuk bulat pendek.
Bayangan sekretarisnya ramping.
Tapi bayangan Aruna...
Bayangan Aruna di lantai karpet itu jauh lebih pekat
daripada bayangan orang lain. Hitamnya absolut, seolah menyerap cahaya di
sekitarnya. Tidak ada gradasi abu-abu. Hanya hitam pekat seperti lubang sumur.
Dan bentuknya... sedikit berbeda.
Jika diperhatikan dengan teliti, bayangan bahu Aruna
terlihat lebih lebar, lebih bidang, dan membungkuk. Dan posisi tangannya di
lantai tidak sedang terlipat sopan seperti Aruna yang asli.
Tangan bayangan itu tergantung rileks di samping tubuh,
dengan jari-jari yang terlihat panjang, runcing, dan mencengkram.
Aruna melihat klien itu lagi.
Untuk sedetik, pria tua itu terpaku. Dia melihat sesuatu di
mata Aruna.
Bukan tatapan wanita karir yang sopan. Itu adalah tatapan gelap.
Tatapan lapar. Seolah-olah dia sedang ditatap oleh predator yang baru saja
kenyang memakan bangkai, tapi tidak keberatan untuk makan lagi jika diganggu.
Pria tua itu buru-buru pamit, wajahnya pucat pasi.
Langkahnya terburu-buru, nyaris berlari, seolah ingin segera menjauh dari
radius Aruna.
Aruna memperhatikannya pergi sampai pintu lift tertutup.
Dia menarik napas dalam-dalam.
Bagi orang lain, mungkin ada bau amis samar yang mengganggu.
Tapi bagi Aruna, baunya seperti rumah. Bau asin. Bau keringat. Bau kekuatan.
Dia tidak lagi merasa takut. Dia tidak lagi merasa sepi.
Aruna berjalan kembali ke meja kerjanya. Langkah kakinya
terdengar mantap di lorong sunyi.
Tak. Tak. Tak.
Dan suara kedua yang mengiringinya di setiap langkah,
terdengar lebih berat, lebih basah, dan menyeret.
Sret. Sret. Sret.
Aruna menoleh ke dinding kaca yang gelap. Dia tersenyum
tipis pada pantulannya. Pantulan itu membalas tersenyum—sedetik lebih lambat,
dan sedikit lebih lebar.
Di dalam sana, di balik kulit Aruna yang halus dan wangi
parfum mahal, ada sesuatu yang meringkuk nyaman. Sesuatu yang dulu
melindunginya dari rasa sakit, dan sekarang, menjadi tulang punggungnya.
Aruna tidak sembuh. Dia berevolusi.
"Ayo kerja," bisiknya.
Dan bayangan hitam pekat di kakinya tampak menggeliat
senang.
TAMAT