PARAS: Tujuh Helai Dendam

PARAS

by Rinnuna

...

Bab 1: Benang Hitam di Bawah Kulit

Dunia ini milik mereka yang berisik.

Siti tahu itu. Dia mempelajarinya setiap hari selama tiga tahun bekerja di marketplace gudang baju ini. Dia belajar sambil duduk di sudut ruangan yang lampunya sering kedip-kedip, menatap layar komputer yang menampilkan barisan angka penjualan.

Di ruang sebelah, di balik partisi kaca yang memisahkan kasta, suara tawa yang dibuat-buat itu meledak lagi.

“Etalase lima ya, Sayang! Jangan lupa checkout sebelum kehabisan! Warnanya sage green cakep banget!”

Suara Desi. Anak baru. Umurnya baru dua puluh satu, kulitnya seperti porselen, dan dia tidak tahu cara menggunakan Excel. Tapi gaji Desi tiga kali lipat gaji Siti.

Siti menunduk. Jari-jarinya mengetik resi pengiriman. Tik, tik, tik. Irama yang membosankan. Irama orang yang tidak penting.

Dia melihat pantulan wajahnya di layar monitor yang gelap saat loading. Wajah itu rata. Hidung yang tidak mancung tapi juga tidak pesek. Mata yang lelah dengan kantung hitam menggantung. Kulit sawo matang yang kusam karena terlalu sering kena AC dan kurang kena matahari. Wajah yang kalau hilang di keramaian pasar, tidak akan ada yang sadar.

“Mbak Siti,” panggil Pak Bos. Pintu ruangannya terbuka.

Siti langsung berdiri. Refleks buruh yang takut dipecat. “Ya, Pak?”

Pak Hadi tidak melihat matanya. Dia melihat ke arah kertas di tangan Siti. “Itu laporan stok opname bulan lalu mana? Kok belum ada di meja saya?”

“Sudah saya taruh tadi pagi, Pak. Di tumpukan map biru.”

“Masa?” Pak Hadi menggaruk kepalanya yang mulai botak. Dia menoleh ke arah ruang kaca, tempat Desi sedang joget-joget kecil di depan kamera HP. Wajah Pak Hadi langsung berubah cerah. Senyum kebapakan yang menjijikkan muncul. “Des, suaranya dikit lagi dong! Biar semangat!”

Desi melambaikan tangan genit. “Siap, Bapak Ganteng!”

Pak Hadi tertawa. Lalu dia menoleh lagi ke Siti. Senyumnya hilang. Wajahnya kembali datar seperti tembok beton. “Ya sudah. Cari lagi laporannya. Jangan teledor. Kamu ini admin senior tapi kerjanya kayak magang.”

Pintu ditutup.

Siti duduk kembali. Tangannya gemetar di atas keyboard. Bukan karena marah. Tapi karena dia merasa mengecil. Rasanya tubuhnya menyusut menjadi butiran debu.

Dia ingin berteriak kalau dia yang membereskan kekacauan stok gudang minggu lalu. Dia ingin bilang kalau dia yang sering lembur tanpa dibayar.

Tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Tersangkut di sana, menjadi gumpalan pahit yang bernama nasib.

Siti mengambil tasnya dan berjalan keluar ruangan. Di pintu kaca, dia berpapasan dengan Desi yang hendak masuk. Bahu mereka bersenggolan cukup keras. Siti terhuyung, hampir jatuh. Namun, Desi terus berjalan sambil tertawa melihat layar HP-nya, seolah dia baru saja menabrak angin kosong.

Desi tidak menoleh. Desi tidak minta maaf. Bagi Desi, Siti adalah partikel tak kasat mata yang tidak memiliki massa.

Saat itulah, sesuatu di dalam dada Siti retak. Bukan karena sakit fisik, tapi karena kesadaran yang mengerikan: dia bisa saja mati di kantor ini sekarang, dan mayatnya baru akan ditemukan saat baunya mengganggu kenyamanan orang lain.

Malam itu, Siti tidak langsung pulang ke kost.

Hujan turun rintik-rintik, membuat jalanan aspal menguapkan bau tanah basah. Siti berjalan menyusuri gang sempit di pinggiran kota, mengikuti petunjuk dari secarik kertas lecek yang dia dapat dari tukang sayur langganannya.

Rumah Panggung Kayu Jati. Pagar Bambu Hitam.

Siti menemukannya. Rumah itu terjepit di antara dua bangunan ruko walet yang tinggi menjulang. Rumah itu tampak tua, rapuh, dan lelah. Sama sepertinya.

Jantung Siti berdegup kencang. Dia orang yang logis sebenarnya. Dia percaya kerja keras. Tapi kerja keras saja ternyata tidak cukup untuk mengubah nasib wajah pas-pasan.

Dia mengetuk pintu.

“Masuk. Tidak dikunci.”

Suara dari dalam terdengar berat dan serak.

Siti mendorong pintu kayu itu. Engselnya menjerit. Bau kemenyan menyambutnya, tapi bukan bau kemenyan wangi seperti di acara selamatan. Ini bau kemenyan yang dicampur sesuatu yang apek. Seperti bau baju yang tidak kering dijemur.

Di tengah ruangan yang remang-remang, duduk seorang laki-laki tua. Mbah Darmo. Dia tidak memakai jubah hitam atau aksesoris dukun yang berlebihan. Dia hanya memakai kaos kutang putih yang sudah melar dan sarung kotak-kotak. Dia sedang merokok klobot, asapnya tebal memenuhi ruangan.

“Duduk, Nduk,” katanya tanpa menoleh. Matanya sibuk menatap asap rokoknya sendiri.

Siti duduk bersimpuh di atas tikar pandan yang terasa tajam di lutut.

“Saya... saya Siti, Mbah.”

“Saya tahu kamu bukan artis,” Mbah Darmo terkekeh. Giginya kuning kecokelatan. “Orang yang datang ke sini cuma punya dua masalah. Kalau tidak soal uang, ya soal cinta. Kamu yang mana?”

“Saya ingin dilihat, Mbah,” bisik Siti. Suaranya pecah.

Mbah Darmo menoleh. Matanya keruh, ada selaput putih di pinggir kornea. Tatapannya membuat Siti ingin menutupi wajahnya dengan tas.

“Dilihat itu berat, Nduk. Mata manusia itu jahat. Kamu yakin kuat?”

“Saya capek dianggap tidak ada. Saya capek kalah sama yang modal cantik doang. Saya mau orang-orang mandang saya. Saya mau mereka segan.”

Mbah Darmo mengangguk-angguk. Dia mematikan rokoknya di asbak yang terbuat dari batok kelapa.

“Kamu mau susuk? Emas? Berlian? Samber lilin?”

Siti menggeleng. “Uang saya tidak banyak, Mbah.”

Mbah Darmo tersenyum miring. Dia merogoh saku celana komprang yang tergeletak di sampingnya. Dia mengeluarkan sebuah bungkusan kain hitam kecil. Lusuh. Berminyak.

“Kalau begitu, kamu jodohnya sama yang ini. Murah. Tapi daya pikatnya... jangan ditanya.”

Mbah Darmo membuka bungkusan itu.

Siti menahan napas. Dia membayangkan akan melihat jarum emas atau batu permata kecil.

Tapi yang ada di sana adalah gumpalan rambut.

Rambut hitam, panjang, dan kusut. Rambut itu ditenun, dipilin menjadi simpul-simpul kecil seukuran biji beras. Warnanya hitam pekat, tapi kalau kena cahaya lampu templok, ada kilatan merah samar.

Baunya aneh. Bau tanah kuburan dan bunga kantil yang sudah layu.

“Rambut apa ini, Mbah?” tanya Siti ragu.

“Rambut Kembang,” jawab Mbah Darmo santai. “Dari wanita-wanita yang semasa hidupnya jadi rebutan. Energinya masih sisa di sini. Kuat. Liar. Ini akan bikin aura kamu ‘hidup’.”

Siti menelan ludah. “Aman, Mbah?”

“Aman. Asal jangan dibawa nyebrang laut. Jangan makan pisang emas. Sudah, itu saja.”

Siti diam sejenak. Bayangan wajah Desi yang tertawa, wajah Pak Bos yang meremehkan, dan tatapan kosong orang-orang di jalanan berputar di kepalanya.

“Pasang, Mbah.”

Mbah Darmo menyuruh Siti mendekat. Dia mengambil silet dari kaleng biskuit bekas. Silet berkarat di ujungnya. Dia tidak mengusap alkohol. Dia tidak membaca mantra panjang lebar.

Dia hanya mengambil satu simpul rambut itu dengan pinset.

“Tahan napas. Sakit sedikit. Cantik itu memang sakit.”

Siti memejamkan mata erat-erat. Tangannya meremas ujung baju.

Terasa dingin logam menyentuh kulit pelipis kanannya.

Sret.

Perih. Panas. Kulitnya robek sedikit. Darah hangat mengalir turun ke pipi.

Lalu, sensasi itu datang.

Saat Mbah Darmo memasukkan gumpalan rambut itu ke dalam luka sayatan, rasanya bukan seperti benda mati yang masuk.

Rasanya seperti ada serangga hidup yang menggeliat.

Siti mau berteriak, tapi suaranya tercekat. Benda itu bergerak di bawah kulitnya, mencari jalan, merayap masuk lebih dalam, menyatu dengan daging.

“Sudah,” kata Mbah Darmo. Dia menekan luka itu dengan ibu jarinya yang kasar.

Anehnya, rasa sakit itu hilang seketika. Luka sayatan itu menutup sendiri, menyisakan garis merah tipis yang samar.

Siti membuka mata. Napasnya memburu. Keringat dingin membasahi punggung.

“Sudah?” tanyanya tak percaya.

Mbah Darmo sudah kembali menyalakan rokoknya. “Sudah. Pulang sana. Besok pagi, dunia bakal beda.”

Siti meraba pelipisnya. Ada benjolan kecil di sana. Keras. Tapi saat dia tekan, rasanya benda itu berdenyut. Seirama dengan jantungnya.

Besok paginya, Siti bangun kesiangan. Alarm HP-nya mati atau dia yang tidak dengar. Dia panik. Mandi asal-asalan, pakai baju kemeja flanel yang biasa, celana bahan hitam yang agak kedodoran. Dia tidak sempat pakai bedak.

Dia lari mengejar bus kota. Biasanya, kondektur bus akan membiarkannya lari sampai ngos-ngosan baru berhenti, atau malah ditinggal.

Tapi kali ini, bus itu berhenti tepat di depannya. Pintu terbuka.

Kondektur yang wajahnya sangar itu tersenyum. “Pelan-pelan, Neng. Nanti jatuh.” Dia bahkan mengulurkan tangan membantu Siti naik.

Siti bingung. Dia duduk di bangku belakang. Seorang bapak-bapak di sebelahnya langsung geser, memberi ruang yang lega. “Silakan, Mbak.”

Apa ini?

Sampai di kantor, Siti telat sepuluh menit. Dia sudah siap kena semprot Pak Hadi. Dia berjalan menunduk menuju mejanya.

Suasana kantor hening saat dia masuk.

Siti mengangkat kepala.

Semua orang melihatnya.

Satpam di depan pintu, office boy yang sedang mengepel, bahkan Desi yang sedang touch up di balik kaca. Mata mereka tertuju pada Siti.

Bukan tatapan mengejek.

Tatapan lapar. Tatapan kagum.

“Pagi, Siti,” sapa Pak Hadi. Dia muncul dari ruangannya. Tidak ada nada marah. Suaranya lembut, hampir bergetar. “Kamu... kamu potong rambut ya? Kok beda?”

Siti meraba rambutnya yang dikuncir kuda asal-asalan. “Enggak, Pak.”

“Oh. Kelihatan segar. Ya sudah, kerja yang rajin ya.” Pak Hadi tersenyum. Senyum yang tulus, tapi ada kilatan aneh di matanya. Seperti anak kecil melihat permen.

Siti duduk di kursinya. Jantungnya mau meledak.

Susuk itu bekerja. Rambut busuk itu bekerja.

Sepanjang hari itu adalah hari terbaik dalam hidup Siti. Rekan kerja yang biasanya nitip kerjaan dengan seenaknya, hari ini menawarkan kopi. Desi mengajaknya makan siang bareng—hal yang mustahil terjadi kemarin.

“Mbak Siti pake skincare apa sih? Glowing banget hari ini,” tanya Desi sambil mengunyah salad.

Siti cuma tersenyum misterius. Dia merasa di atas awan. Dia merasa berkuasa. Benjolan di pelipisnya berdenyut hangat, memberinya rasa percaya diri yang meluap-luap.

Sampai malam datang.

Siti pulang ke kost dengan senyum yang belum pudar. Kost-nya sempit, temboknya lembap, dan berbagi kamar mandi luar. Tapi malam ini rasanya seperti istana.

Dia berganti baju tidur. Membersihkan muka.

Lalu dia berdiri di depan cermin lemari plastik yang sudah retak di ujungnya.

Siti menyisir rambutnya. Dia menatap matanya sendiri. Cantik. Dia merasa cantik.

Tapi kemudian, lampu kamar berkedip. Sekali. Dua kali.

Suhu kamar turun drastis. Udara menjadi dingin dan berat.

Siti berhenti menyisir. Dia melihat bayangannya di cermin.

Bayangan itu tidak bergerak.

Padahal tangan Siti sudah turun, tangan di cermin masih memegang sisir di udara.

Siti mundur selangkah. Mulutnya terbuka menahan jeritan.

Wajah di cermin itu perlahan berubah.

Kulit yang glowing itu memucat. Lingkaran hitam di bawah mata melebar. Dan di leher... muncul garis ungu melingkar. Bekas jeratan.

Bayangan di cermin itu tersenyum. Bukan senyum Siti. Itu senyum sedih, senyum putus asa.

Tiba-tiba, Siti merasakan sesuatu di lehernya sendiri.

Dingin.

Seperti ada sepasang tangan besar dan kasar yang melingkar di lehernya dari belakang.

Siti meraba lehernya. Tidak ada siapa-siapa. Kosong.

Tapi tekanan itu nyata. Jempol yang menekan tenggorokan. Jari-jari yang mencengkeram nadi.

Siti tercekik. Dia jatuh berlutut di lantai kost. Menggapai-gapai udara.

“Ugh... le... pas...”

Dan di saat napasnya tinggal satu hembusan terakhir, sebuah aroma tercium tajam di hidungnya.

Bukan bau kemenyan Mbah Darmo.

Itu bau tembakau cerutu yang mahal. Dicampur dengan bau daun teh basah yang baru dipetik. Dan bau cologne laki-laki yang menyengat.

Bau kemewahan yang mematikan.

Cengkeraman itu mengendur tiba-tiba.

Siti terbatuk-batuk, menghirup udara rakus. Air matanya keluar. Dia meraba lehernya yang perih.

Dia menatap cermin lagi.

Wajahnya sudah kembali normal. Siti yang biasa. Tapi di pelipis kanannya, tempat susuk itu tertanam, ada garis hitam tipis yang menjalar di bawah kulit seperti akar pohon yang sedang mencari air.

Benjolan itu berdenyut sakit. Bukan hangat lagi. Tapi panas.

Dan dari cermin, Siti bersumpah dia mendengar bisikan lirih. Suara wanita.

“Jangan tidur... Dia datang kalau kamu tidur...”

Bab 2: Ingatan yang Menumpang

Tidur bukan lagi istirahat. Tidur adalah pintu yang lupa dikunci.

Siti terbaring di kasur busanya yang tipis. Matanya terpejam, tapi otaknya tidak berada di kamar kost yang lembap itu.

Dia berada di tempat yang dingin. Lantainya bukan ubin pecah, tapi marmer licin yang menusuk kulit punggung.

Aroma itu datang lagi.

Dominan. Menindas. Bau tembakau mahal yang dibakar pelan. Bau seduhan teh hitam yang pekat. Dan bau amis samar... seperti bau logam yang ditaruh di bawah lidah.

Siti mencoba bangun, tapi tubuhnya bukan miliknya. Dia lumpuh.

Ada napas lain di ruangan itu. Berat. Teratur. Sangat tenang.

“Sayang sekali,” suara laki-laki itu berbisik. Lembut, sopan, seperti suara bapak-bapak yang menyapa di masjid. “Padahal kulitmu bagus.”

Siti ingin menjerit. Dia ingin bilang, Siapa kamu?

Tapi mulutnya disumbal sesuatu. Kain kasar. Rasanya asin.

Siti merasakan tangan besar menyentuh lehernya. Tangan itu hangat, kulitnya halus terawat, kontras dengan kekerasan yang dilakukannya. Jari-jari itu melingkar pelan, seolah sedang mengukur diameter leher, sebelum menekan kuat di titik nadi.

Tekanan itu nyata. Saluran napas terjepit. Pandangan Siti menggelap.

Di detik-detik sebelum kesadarannya hilang, Siti melihat sekilas wajah orang itu. Bukan monster. Bukan hantu.

Hanya siluet pria paruh baya yang tersenyum santun.

“Hhhkk!”

Siti tersentak bangun.

Dia duduk di tepi kasur, terbatuk-batuk hebat seolah paru-parunya baru saja dikosongkan paksa. Tangannya refleks mencengkeram leher.

Sakit.

Tenggorokannya perih, seakan baru saja diremas tangan besi.

“Ti? Siti?”

Suara Rina dari balik dinding triplek. “Mimpi buruk lagi? Teriak-teriak mulu lu.”

Siti tidak menjawab. Dia gemetar. Dia meraba lehernya. Tidak ada bekas tangan. Tidak ada memar. Tapi rasa sakit itu ada di dalam, di tulang rawan, di memori otot.

Dia menyalakan lampu HP, menyorot wajahnya di cermin lemari plastik.

Wajahnya pucat. Keringat dingin membasahi daster.

Dan di pelipis kanan, benjolan susuk itu berdenyut kencang. Panas. Kulit di sekitarnya memerah, membentuk jaring-jaring halus seperti akar serabut yang sedang mencari makan.

Benda itu tumbuh.

Kantor hari itu meriah. Desi ulang tahun.

Lagu “Selamat Ulang Tahun” versi koplo berdentum dari speaker bluetooth murah. Balon emas ditempel di kaca. Kue tart Black Forest besar duduk manis di tengah meja.

Siti berdiri di sudut, memegang gelas plastik berisi Fanta hangat.

Semua orang masih bersikap manis padanya. Efek “pemikat” itu masih bekerja, tapi hari ini terasa berbeda. Tatapan mereka bukan lagi kagum, melainkan lapar. Seolah Siti adalah hidangan yang lezat.

“Ayo Mbak Siti, sini dong di depan! Masak ngumpet di pojok!” panggil Pak Hadi, melambai antusias.

Siti memaksakan senyum. Kakinya berat saat melangkah maju. Kepalanya pening. Suara tawa teman-temannya terdengar berdengung, timbul tenggelam seperti radio rusak.

“Potong kuenya! Potong kuenya!” semua orang bertepuk tangan.

Desi tertawa manja. Dia mengambil pisau kue. Pisau panjang bergerigi.

Mata Siti terkunci pada pisau itu.

Cahaya lampu neon di atas kepala berkedip. Zzzt.

Dunia Siti miring.

Di mata Siti, ruangan kantor yang terang benderang itu meredup. Dinding kaca berubah menjadi dinding kayu gelap yang penuh ukiran.

Desi mengangkat pisau.

“Potong...”

Suara Desi berubah. Menjadi berat. Menjadi suara laki-laki itu.

Sreeet.

Pisau bergerigi itu membelah kue.

Bagi orang lain, itu suara pisau memotong bolu lembut. Bagi Siti, itu suara pisau yang menggesek tulang.

Krak.

Selai ceri merah meleleh keluar dari dalam kue. Kental. Pekat.

Darah.

Siti mundur selangkah. Napasnya memburu. Aroma kue cokelat hilang, tergantikan bau anyir darah yang begitu kuat sampai bikin mual.

Desi menoleh ke arah Siti sambil memegang pisau yang berlepotan krim merah. Dia tersenyum lebar.

Tapi di mata Siti, wajah Desi retak.

Rahang Desi bergeser miring. Matanya melotot kosong, hitam seluruhnya tanpa bagian putih. Dan di leher Desi, ada lubang menganga yang mengeluarkan asap.

“Giliranmu, Nduk...” bisik Desi dengan suara parau yang bukan miliknya. “Sakit...”

“JANGAN!”

Siti menjerit.

Dia menepis piring kue yang disodorkan Pak Hadi. Piring itu terbang, menghantam dada Desi. Krim dan bolu berantakan mengotori baju baru Desi.

Suasana hening seketika. Musik dimatikan.

“Mbak Siti?!” Desi menjerit kaget, mundur ketakutan.

Siti tidak melihat Desi. Siti melihat ancaman. Dia menyambar pembolong kertas dari meja terdekat, mengacungkannya seperti senjata.

“Jangan mendekat! Pergi! Pergi!” teriak Siti. Matanya liar menatap sekeliling ruangan yang baginya penuh dengan bayangan hitam.

“Siti! Kamu kenapa?! Sadar!” Pak Hadi membentak, tapi tidak berani mendekat.

Siti terengah-engah. Pelan-pelan, halusinasi itu memudar.

Dinding kayu kembali jadi kaca. Darah kembali jadi selai ceri. Wajah Desi kembali mulus, hanya kotor kena kue dan ekspresinya ketakutan setengah mati.

Siti melihat sekeliling. Puluhan pasang mata menatapnya.

Tatapan itu sudah berubah.

Pesona susuk itu hancur oleh kegilaan. Mereka tidak melihat primadona. Mereka melihat orang sakit jiwa yang berbahaya.

“Maaf...” bisik Siti. Suaranya kecil.

Tanpa menunggu dipecat, Siti berbalik dan lari. Meninggalkan sepatu sebelah kirinya yang lepas di lobi.

Langit sore mendung pekat. Angin membanting seng-seng ruko walet, menciptakan suara gaduh yang seirama dengan kekacauan di kepala Siti.

Siti menggedor pintu kayu jati itu dengan brutal.

“Mbah! Buka, Mbah!”

Tidak ada jawaban. Siti mendorong pintu. Tidak dikunci.

Mbah Darmo sedang duduk bersila, melinting rokok. Dia menoleh kaget melihat Siti yang berantakan; rambut kusut, kaki pincang sebelah tanpa sepatu, mata merah bengkak.

“Keluarkan,” desis Siti. Dia tidak basa-basi. Dia langsung duduk di depan dukun tua itu. “Keluarkan benda ini sekarang. Saya nggak mau cantik. Saya mau waras.”

Mbah Darmo menyipitkan mata. Dia melihat pelipis Siti.

Wajah tua itu memucat. Rokok di tangannya jatuh.

“Gusti...” gumam Mbah Darmo.

Dia melihat sesuatu yang tidak dilihat orang awam. Aura hitam pekat yang membungkus kepala Siti, seperti asap pabrik yang mencekik.

“Kamu apakan susuknya, Nduk? Kamu langgar pantangan? Kamu makan pisang emas?”

“Saya nggak makan apa-apa! Benda ini yang makan saya!” Siti mencengkeram tangan Mbah Darmo, mengarahkannya ke pelipis. “Cabut, Mbah. Sakit. Ada yang teriak-teriak di kepala saya.”

Mbah Darmo gemetar. Dia buru-buru mengambil silet dan pinset. Tangannya yang biasanya stabil kini goyah.

“Tahan. Jangan gerak.”

Mbah Darmo menyayat kulit pelipis Siti. Darah menetes. Warnanya tidak merah segar, tapi merah tua cenderung hitam. Encer seperti air comberan.

Mbah Darmo memasukkan ujung pinset, mencari simpul rambut itu.

Tik.

Kena.

“Dapat,” gumam Mbah Darmo. Dia menarik.

Siti mengerang. Rasanya bukan sekadar ditarik. Rasanya seperti ada akar pohon tua yang dicabut paksa dari tanah kering, membawa serta gumpalan daging dan saraf yang melilitnya.

Bunyi krek halus terdengar—bukan bunyi pinset, tapi bunyi jaringan kulit Siti yang meregang melampaui batas elastisitasnya.

Benda itu melawan. Siti bisa merasakan “kaki-kaki” kecil dari simpul rambut itu mencengkeram tulang tengkoraknya, menolak untuk dilepaskan.

“Keras...” Mbah Darmo berkeringat jagung. Napasnya bau tembakau basi. Dia mengeratkan pegangan pada pinset, menarik lebih kuat dengan kepanikan yang mulai merembes.

Tiba-tiba, Mbah Darmo melepaskan pinsetnya dan melompat mundur. Dia jatuh terduduk di lantai.

“Astagfirullah!”

“Kenapa, Mbah?! Cabut!”

“Dia gerak!” teriak Mbah Darmo, menunjuk wajah Siti dengan telunjuk gemetar. “Rambutnya narik balik! Dia nggak mau keluar!”

Siti meraba lukanya. Benar saja. Benda di bawah kulitnya itu menggeliat, lalu masuk lebih dalam, menjauh dari lubang sayatan. Menanamkan diri ke arah tulang tengkorak.

“Ini rambut apa, Mbah?!” Siti menangis histeris. “Mbah bilang ini rambut ‘Kembang’!”

Mbah Darmo menggeleng-geleng panik. Dia merangkak mundur sampai punggungnya menabrak lemari jamu.

“Saya... saya nggak tahu itu rambut siapa...” suaranya mencicit. “Saya beli karungan, Nduk. Dari pengepul barang bekas di pasar loak.”

Siti terdiam. Air matanya berhenti menetes.

“Pasar loak?”

“Iya... tas-tas bekas, dompet, sisir... barang-barang yang ditemu pemulung. Saya ambilin rambut yang nyangkut di sisir-sisir itu. Saya pilin jadi satu.”

Siti menatap dukun itu dengan tatapan kosong.

Rambut dari sisir bekas.

Barang-barang yang dibuang. Atau barang-barang yang ditinggalkan karena pemiliknya tidak bisa membawanya pulang.

“Berapa sisir, Mbah?” bisik Siti.

“Banyak... lima... enam... mungkin tujuh. Saya campur biar energinya kuat.”

Siti menyentuh pelipisnya yang berdarah.

Bukan satu orang.

Ada keramaian di kepalanya. Potongan-potongan ingatan yang bukan miliknya. Rasa sakit yang tumpang tindih.

Mbah Darmo mengambil segenggam beras kuning, melemparnya ke arah Siti. “Pergi! Pergi kamu! Jangan bawa mereka ke sini!”

Siti tidak bergerak. Kepalanya miring sedikit. Tatapannya berubah.

Rasa takut di wajah Siti perlahan menghilang, digantikan oleh ekspresi bingung, seperti orang yang baru bangun tidur di tempat asing.

Mulut Siti bergerak. Suara yang keluar kecil, serak, dan logatnya agak berbeda. Sunda kasar.

Tiis... “ (Dingin...)

Mbah Darmo terdiam.

Siti menatap Mbah Darmo, tapi tidak melihatnya. Dia melihat menembus dinding kayu rumah itu.

“Kebun teh...” gumam Siti lagi. Matanya menerawang. “Kabutnya tebal... Bapak itu bawa cangkul... tapi bukan buat nyangkul tanah...”

Siti memegang lehernya sendiri.

Di mana sepatuku?

Bab 3: Tujuh Tulang di Kebun Teh

Siti tidak ingat bagaimana dia pulang dari rumah Mbah Darmo. Tahu-tahu dia sudah duduk di tepi kasur kost, memeluk lutut.

Di tangannya ada segelas air hangat. Rina yang memegangnya.

“Minum,” perintah Rina. Suaranya tegas, tapi matanya cemas.

Siti menurut. Air itu terasa tawar di lidahnya yang pahit.

“Lu tau jam berapa sekarang? Jam dua pagi,” kata Rina. Dia menarik kursi plastik, duduk berhadapan dengan Siti. Di pangkuan Rina ada buku catatan kecil dan pulpen.

“Gue nggak bisa tidur gara-gara lu teriak-teriak lagi tadi sore sebelum ngilang. Terus lu balik kayak mayat hidup begini.” Rina membuka buku catatannya. “Lu inget apa yang lu omongin pas ngigau semalem?”

Siti menggeleng lemah.

“Lu nyebut nama,” kata Rina. “Neni. Lilis. Euis. Terus lu ngomong bahasa Sunda. ‘Ulah dipaehan, Bapa... abdi gaduh murangkalih...’

Bulu kuduk Siti meremang. Dia orang Jawa Tengah. Dia mengerti Bahasa Sunda sedikit-sedikit karena kerja di Bandung, tapi dia tidak pernah bicara sehalus itu.

“Itu bukan gue, Rin...” bisik Siti.

“Gue tau,” potong Rina cepat. Dia jurnalis magang di media lokal, otaknya terbiasa mencari fakta di balik omong kosong. Tapi kali ini, faktanya tidak masuk akal. “Gue googling nama-nama itu. Neni Sumarni. Hilang dua tahun lalu. Lilis Komariah. Hilang tiga tahun lalu. Semuanya pemandu lagu atau pekerja malam di sekitaran Bandung Selatan.”

Rina menatap Siti tajam.

“Siti, jujur sama gue. Lu pasang apa di muka lu?”

Siti meraba pelipisnya yang diperban plester luka. Denyutan di sana terasa sinkron dengan detak jam dinding.

“Rambut,” jawab Siti lirih. “Rambut dari sisir orang mati.”

Rina menghela napas panjang. Dia tidak menghakimi. Dia tidak menceramahi soal dosa atau syirik. Dia cuma menutup buku catatannya dengan keras.

“Besok subuh kita berangkat.”

“Ke mana?”

“Ke tempat yang lu sebut di mimpi lu tadi. Kebun teh. Kabut tebal. Patung Ganesha yang belalainya pecah.”

Motor matic Rina membelah jalanan Pangalengan yang berkelok. Udara semakin dingin, menusuk sampai ke tulang sumsum meski Siti sudah pakai jaket tebal.

Kabut turun bukan seperti asap, tapi seperti tembok putih yang menelan jalan. Jarak pandang cuma lima meter.

Siti duduk di boncengan. Dia tidak melihat peta. Dia tidak melihat jalan.

Dia dipandu oleh rasa sakit.

Semakin dekat mereka ke lokasi, semakin kencang denyutan di pelipisnya. Rasa sakit itu menjalar ke belakang leher, menarik kepalanya untuk menoleh ke arah tertentu. Seperti kompas yang terbuat dari daging dan darah.

“Kiri, Rin...” bisik Siti di dekat telinga Rina yang tertutup helm.

“Yakin? Itu jalan tanah, Ti. Masuk hutan pinus.”

“Kiri. Mereka bilang kiri.”

Rina membanting setir ke kiri. Roda motor melibas jalan berbatu yang licin oleh lumut. Pohon-pohon pinus menjulang tinggi di kanan kiri, seperti tiang-tiang penjara raksasa.

Sepi. Tidak ada suara burung. Hanya suara mesin motor yang meraung keberatan menanjak.

Setelah lima belas menit terguncang-guncang, jalanan terbuka.

Di depan mereka, berdiri sebuah bangunan tua.

Villa Cempaka.

Bangunan itu bergaya Belanda, temboknya putih kusam dimakan lumut hitam. Halamannya luas tapi liar, rumput ilalang setinggi pinggang.

Dan di sana, di tengah air mancur yang sudah kering dan retak... ada patung Ganesha.

Belalainya patah separuh.

Siti turun dari motor. Kakinya lemas, tapi ada tenaga lain yang memaksanya bergerak.

“Ini tempatnya,” kata Siti. Suaranya datar.

Rina memarkir motor di balik semak-semak, menyembunyikannya. Dia mengeluarkan HP, menyalakan kamera video. “Gue rekam. Buat bukti kalau kita nemu sesuatu... atau kalau kita mati.”

Siti berjalan melewati gerbang besi yang berkarat. Tidak dikunci.

Dia tidak menuju pintu depan villa yang megah.

Dia berjalan memutar ke samping. Ke arah kebun belakang.

Di sana, udara berbau busuk. Bukan bau sampah dapur. Bau tanah yang terlalu subur.

Ada gundukan tanah di dekat tembok pembatas belakang. Di atasnya tumbuh tanaman liar yang daunnya lebih hijau, lebih lebar daripada tanaman di sekitarnya. Di samping gundukan itu, ada bak beton bekas pembakaran sampah.

Siti berhenti di depan gundukan itu.

Telinganya berdenging. Suara jeritan wanita, suara tawa laki-laki, suara cangkul menghantam tanah... semuanya berputar di kepalanya seperti kaset rusak.

“Di sini,” tunjuk Siti.

Rina mendekat. Dia melihat gundukan itu. “Ini tempat sampah kebun, Ti. Liat tuh, banyak potongan dahan kering.”

“Bukan. Di bawahnya.”

Siti berlutut. Dia tidak peduli celananya kotor. Dia mulai menggali tanah basah itu dengan tangan kosong.

“Ti, pake kayu kek, jangan pake tangan!”

Siti tidak peduli. Kukunya hitam oleh tanah. Dia menggali seperti anjing yang panik.

Tanahnya gembur. Tidak padat. Seolah sering dibongkar pasang.

Siti menyentuh sesuatu yang keras.

Bukan batu.

Dia menarik benda itu keluar.

Sebuah tulang. Panjang, putih kekuningan, berpori kasar.

Siti melempar tulang itu ke kaki Rina.

Rina memungutnya dengan ujung jaket. Wajahnya pucat. “Ti... ini tulang paha sapi kayaknya. Liat bonggolnya gede.”

“Gali lagi,” desis Siti.

Siti menggali lebih dalam. Bau anyir mulai tercium.

Tangannya menyangkut pada sesuatu yang bukan tanah dan bukan tulang.

Kain.

Siti menariknya. Kain itu sudah lapuk, warnanya pudar, bercampur lumpur. Tapi rendanya masih utuh.

Itu bra. Bra renda warna merah marun. Tali pengaitnya putus, seolah ditarik paksa.

Rina berhenti merekam. Dia menutup mulutnya, menahan mual.

“Itu punya Neni...” bisik Siti. Ingatan asing itu memberitahunya. “Dia beli di pasar kaget Cicadas... buat hadiah ulang tahun pacarnya...”

Siti menggali lagi di sebelahnya.

Kali ini dia menemukan benda plastik.

KTP.

Plastiknya sudah mengelupas separuh. Fotonya buram karena air tanah. Tapi nama di sana masih terbaca jelas.

LILIS KOMARIAH Lahir: Bandung, 12-05-1995

Siti memegang KTP itu dengan tangan gemetar.

Tiba-tiba, dia merasakan hawa panas di belakang punggungnya.

Bukan hantu.

Siti menoleh pelan.

Di lantai dua villa itu, di balik jendela kaca besar yang tertutup gorden tipis... ada sesosok bayangan.

Laki-laki.

Dia berdiri diam, memegang cangkir teh. Menatap ke bawah. Menatap Siti dan Rina yang sedang berlutut di kuburannya.

Dia tidak panik. Dia tidak lari.

Dia mengangkat cangkirnya sedikit. Sebuah gestur bersulang yang sopan.

Siti mengenali siluet itu.

Itu Bapak yang ada di dalam mimpinya.

“Rin...” suara Siti tercekat. “Dia liat kita.”

Rina mendongak. Dia melihat sosok itu. Insting bahayanya menyala.

“Lari,” bisik Rina.

Lalu dia berteriak, menarik lengan Siti.

“LARI, SITI! KE MOTOR! SEKARANG!”

Mereka berlari membelah ilalang, meninggalkan tulang dan KTP itu tergeletak di tanah basah.

Di lantai dua, pria itu menyesap tehnya perlahan. Dia tersenyum.

Senyum seorang pemburu yang baru saja menemukan mainan baru yang menarik.

Bab 4: Hukum yang Tumpul

Lampu rotator polisi membelah kabut Pangalengan. Biru. Merah. Biru. Merah.

Siti duduk di bak belakang mobil ambulans yang pintu belakangnya terbuka. Tubuhnya dibungkus selimut oranye milik tim SAR. Dia menggigil, bukan karena dingin udara pegunungan, tapi karena suara cangkul yang beradu dengan tanah di kejauhan.

Krak. Buk.

Setiap hantaman cangkul polisi rasanya seperti menghantam kepala Siti.

“Minum lagi,” Rina menyodorkan teh hangat dalam kemasan botol plastik.

Siti menggeleng. Matanya kosong menatap garis polisi warna kuning yang membentang di sekitar gundukan tanah di halaman belakang Villa Cempaka.

Mereka menemukan banyak.

Bukan cuma Neni dan Lilis.

Tim forensik mengeluarkan kantong jenazah satu per satu. Kantong itu tidak gembung. Kantong itu kempes, berbunyi klontang saat diangkat karena isinya hanya tulang belulang.

Satu. Dua. Tiga... Tujuh.

Tujuh kantong oranye berbaris rapi di atas rumput basah.

Di lantai dua villa, lampu menyala terang. Polisi menggiring Santoso turun.

Pria itu tidak diborgol kasar. Dia berjalan santai, didampingi dua petugas yang justru terlihat sungkan. Santoso memakai kemeja linen putih yang bersih tanpa noda, celana kain warna krem, dan sepatu kulit yang mengkilap.

Dia tidak menunduk menutupi wajah dari kamera wartawan lokal yang mulai berdatangan. Dia tersenyum tipis. Wajahnya tenang, seperti bapak-bapak yang baru selesai rapat RT, bukan bapak-bapak yang halaman belakangnya jadi kuburan massal.

Saat dia melewati ambulans tempat Siti duduk, langkahnya melambat sedikit.

Dia menoleh.

Tatapan mereka bertemu.

Mata Santoso hitam pekat. Di balik kerutan ramah di sudut matanya, ada kekosongan yang absolut. Dia tidak melihat Siti sebagai manusia. Dia melihat Siti sebagai barang bukti yang merepotkan.

“Hati-hati masuk angin, Neng,” katanya pelan.

Salah satu polisi menyentuh bahunya. “Jalan, Pak.”

Santoso mengangguk sopan. “Mari, Pak.”

Siti meremas selimutnya sampai buku jarinya memutih. Di dalam kepalanya, tujuh suara wanita berteriak serempak, memekakkan telinga.

“Buruan! Buruan ! Cekik dia!”

Siti menutup telinga, memukul kepalanya sendiri. “Diam... diam...”

Rina memeluknya. “Ti! Jangan dipukul! Tahan!”

Kantor polisi itu bau rokok dan kopi basi.

Siti duduk di ruang interogasi yang sempit. AC-nya mati, diganti kipas angin dinding yang berisik. Di depannya duduk Inspektur Asep, pria paruh baya dengan mata lelah dan perut buncit.

“Jadi,” Pak Asep membuka map di meja. “Bisa jelaskan lagi, Saudari Siti, bagaimana Saudari tahu persis lokasi mayat-mayat itu?”

Siti menelan ludah. Tenggorokannya kering. “Saya... saya dikasih tahu, Pak.”

“Siapa yang kasih tahu? Ada saksi mata? Ada pesan WA?”

“Bukan WA, Pak. Mimpi.”

Pak Asep berhenti menulis. Dia meletakkan pulpennya. Dia menatap Siti dengan tatapan yang campuran antara kasihan dan jengkel.

“Mimpi?”

“Saya pasang susuk, Pak,” Siti bicara cepat, putus asa. Dia menyingkap rambut di pelipisnya, memperlihatkan luka sayatan yang mulai bernanah dan garis hitam urat yang menonjol. “Susuk rambut. Rambut korban-korban itu ada di sini. Di kepala saya. Mereka yang kasih tahu.”

Pak Asep menghela napas panjang. Dia memijat pelipisnya sendiri.

“Mbak Siti, dengar ya. Kami menemukan tujuh kerangka. Itu fakta. Tapi kalau saya tulis di BAP bahwa pelapor menemukan mayat berdasarkan ‘bisikan hantu dari susuk’, jaksa bakal ngetawain saya. Pengacara tersangka bakal makan saya hidup-hidup.”

“Tapi itu kenyataannya, Pak! Mbah Darmo juga bisa jadi saksi! Dia yang pasang!”

“Mbah Darmo sudah kami jemput. Dia ngaku nipu. Dia bilang dia cuma jual sugesti. Dia takut kena pasal praktik medis ilegal.”

Siti ternganga. “Bohong...”

“Mbak Siti,” Pak Asep memajukan badannya. “Mbak punya riwayat medis? Pernah ke psikiater?”

“Saya nggak gila!” Siti menggebrak meja.

“Siti,” Rina masuk ke ruangan. Wajahnya merah padam, napasnya ngos-ngosan. Dia baru saja berdebat di luar. “Tenang dulu.”

Rina duduk di sebelah Siti, menatap tajam Pak Asep. “Pak, lupakan soal mimpi. Faktanya, mayat ada di tanah dia. Di villa dia. Itu tanah privat. Nggak mungkin dia nggak tahu ada tujuh orang dikubur di halaman belakangnya.”

Pak Asep menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tanah itu luasnya dua hektar, Mbak Rina. Tidak ada pagar belakang. Berbatasan langsung dengan hutan lindung dan perkebunan teh warga.”

“Terus kenapa?”

“Pengacaranya baru datang. Pengacara dari Jakarta. Dia bilang, kliennya jarang menempati villa itu. Paling cuma sebulan sekali. Selama villa kosong, siapa saja bisa masuk. Pemulung, pemburu babi hutan, atau... pembunuh yang mau buang mayat.”

“Itu alasan klise!” Rina membentak. “Cek DNA! Di mayat pasti ada jejak dia!”

“Mayatnya sudah jadi tulang, Mbak. Kena hujan, kena tanah asam bertahun-tahun. Susah cari DNA pelaku. Kalaupun ada, pasti sudah rusak.”

“CCTV?” tanya Rina lagi.

“Rusak. Hardisk-nya korup kena petir dua bulan lalu. Ada surat servisnya lengkap.”

Rina terdiam. Tangannya mengepal di atas meja.

“Jadi dia bakal bebas?” tanya Siti lirih. Suaranya bergetar.

Pak Asep tidak menjawab langsung. Dia menyalakan rokok, menghembuskan asap ke langit-langit yang bernoda.

“Kami tahan dia 24 jam untuk pemeriksaan. Tapi kalau tidak ada bukti fisik yang mengaitkan dia dengan korban—seperti senjata pembunuh, barang korban di kamar dia, atau saksi mata yang melihat dia membunuh—kami tidak bisa menahannya lama-lama. Praduga tak bersalah.”

Siti menunduk. Dia melihat tangannya sendiri.

Di dalam kepalanya, suara-suara itu kembali. Tapi kali ini bukan teriakan marah.

Suara tangisan.

Lirih. Putus asa. Suara wanita-wanita yang sadar bahwa mereka akan dilupakan untuk kedua kalinya.

“Dia ambil barang-barang mereka...” bisik Siti.

Pak Asep menoleh. “Apa?”

“KTP. Dompet. Sisir. Dia buang ke pasar loak. Mbah Darmo beli dari pasar loak.” Siti menatap Pak Asep dengan mata berkaca-kaca. “Kalau Bapak bisa cari siapa yang jual tas-tas itu ke pasar loak...”

“Pasar loak Tegalega itu isinya ribuan pedagang, Mbak. Barang berputar tiap hari. Dan kejadiannya sudah tahunan lalu. Gimana cara lacaknya?”

Jalan buntu.

Tembok beton birokrasi lebih keras daripada tembok hantu.

“Boleh saya lihat dia?” tanya Siti.

“Siapa? Tersangka?”

“Iya.”

“Nggak boleh. Prosedur.”

“Lewat kaca saja, Pak. Tolong. Saya perlu memastikan sesuatu.”

Pak Asep menatap Siti lama. Akhirnya dia mengangguk pelan. “Lima menit. Dari ruang observasi satu arah.”

Siti berdiri di balik kaca cermin satu arah. Di ruang sebelah, Santoso duduk di kursi besi.

Dia tidak terlihat tertekan.

Di meja di depannya ada segelas kopi hitam. Dia sedang membaca koran yang entah dapat dari mana. Kakinya disilangkan santai.

Di sampingnya duduk seorang pria muda berjas licin—pengacaranya. Mereka sedang tertawa kecil. Mungkin menertawakan polisi. Mungkin menertawakan Siti.

Siti menempelkan telapak tangannya ke kaca dingin.

Benjolan di pelipisnya berdenyut menyakitkan. Panas.

Di ruangan itu, Santoso tiba-tiba berhenti tertawa.

Dia menoleh perlahan.

Tepat ke arah cermin. Tepat ke arah mata Siti.

Dia tidak bisa melihat Siti. Itu cermin satu arah. Bagi Santoso, dia hanya melihat pantulan dirinya sendiri.

Tapi Santoso tersenyum.

Dia mengangkat tangannya, lalu mengetuk-ngetuk pelipis kanannya sendiri dengan telunjuk.

Tik. Tik. Tik.

Siti mundur terhuyung. Napasnya tercekat.

Dia tahu.

Santoso tahu di mana Siti menyimpan “barang bukti” itu. Dia tahu ada bagian dari korbannya yang masih hidup di dalam tubuh Siti.

Dan dia tidak takut.

Dia justru menikmatinya.

Siti berbalik dan lari keluar dari ruang observasi, menabrak Rina yang menunggu di lorong.

“Ti? Kenapa?”

“Dia iblis, Rin...” Siti gemetar hebat, air matanya tumpah. “Dia bukan manusia... hukum manusia nggak bakal bisa nyentuh dia...”

Rina memeluk sahabatnya yang rapuh itu. Tapi mata Rina menatap tajam ke pintu ruang interogasi.

“Kalau hukum nggak bisa nyentuh dia,” bisik Rina dingin, “kita cari cara lain.”

Bab 5: Senyuman Terakhir

Pintu kantor polisi terbuka.

Matahari sore menembus kabut tipis, menciptakan siluet panjang di lantai keramik lobi.

Santoso melangkah keluar.

Tanpa borgol. Tanpa rompi oranye.

Dia sudah mandi. Kemeja putihnya yang tadi pagi masih sama licinnya. Rambut kelabunya disisir rapi ke belakang, berkilau terkena minyak rambut mahal.

Di belakangnya, pengacara muda itu sedang sibuk menelepon, tertawa kecil, mungkin memesan meja di restoran mewah untuk merayakan kemenangan.

“Kurang bukti,” kata Pak Asep tadi, suaranya berat dan malu, menolak menatap mata Rina. “Tanah itu area terbuka. Tidak ada sidik jari di tulang. Tes DNA butuh waktu bulan-bulan, dan selama itu, kami tidak bisa menahannya.”

Hukum adalah matematika. Dan Santoso pandai berhitung.

Siti berdiri di dekat pilar lobi. Dia tidak bergerak. Kakinya seperti dipaku ke lantai.

Benjolan di pelipisnya berdenyut. Bukan lagi denyutan sakit, tapi denyutan lapar.

Santoso berjalan menuju mobil sedan hitam yang sudah menunggunya di depan tangga. Sopir berseragam keluar membukakan pintu.

Tapi sebelum masuk, Santoso berhenti.

Dia menoleh ke arah pilar. Ke arah Siti.

Dia tidak buru-buru. Dia berjalan pelan mendekati Siti. Langkahnya mantap. Bau cerutu dan cologne mahal itu menguar, mendominasi udara, mengalahkan bau karbol lantai kantor polisi.

Rina maju selangkah, pasang badan di depan Siti. “Mau apa Anda? Pergi!”

Santoso tersenyum. Dia mengabaikan Rina seolah Rina hanyalah lalat yang berdengung.

Mata Santoso terkunci pada Siti. Mata itu gelap, tenang, dan kosong.

“Minggir, Nak,” katanya lembut pada Rina. “Saya cuma mau pamit sama teman lama saya.”

Dia menatap Siti. Tatapannya turun ke pelipis kanan Siti. Ke luka sayatan yang hitam dan bengkak itu.

Santoso mendekatkan wajahnya. Dia tidak menyentuh Siti. Dia hanya membungkuk sedikit, bibirnya mendekat ke telinga Siti yang tertutup rambut kusut.

Siti bisa merasakan napas hangat pria itu di kulit lehernya. Napas yang sama yang dia rasakan setiap malam dalam kelumpuhan tidurnya.

“Kamu cantik sekali hari ini, Siti,” bisiknya. Suaranya serak, intim, dan menjijikkan.

Siti gemetar. Air mata menetes tanpa suara.

“Mereka berisik ya di dalam sana?” tanya Santoso lirih. “Neni... Lilis... Euis... saya rindu suara teriakan mereka.”

Santoso terkekeh pelan.

“Jaga mereka baik-baik buat saya. Biarkan mereka matang. Nanti, kalau sudah waktunya... saya akan jemput kalian semua sekaligus.”

Santoso menarik wajahnya kembali. Dia menepuk bahu Siti pelan, seolah membersihkan debu imajiner.

“Sampai ketemu di mimpi nanti malam, Cantik.”

Santoso berbalik. Dia berjalan santai menuruni tangga, masuk ke dalam mobil mewahnya. Pintu ditutup. Kaca jendela yang gelap menyembunyikan wajahnya.

Mobil itu melaju pergi, meninggalkan asap knalpot tipis yang segera hilang ditelan angin.

“Bajingan!” Rina berteriak, melempar botol air mineral ke arah mobil yang menjauh. “BAJINGAN LU!”

Siti tidak berteriak.

Dia diam. Hening.

Suara-suara di kepalanya tiba-tiba berhenti.

Tidak ada lagi teriakan. Tidak ada lagi tangisan minta tolong.

Hanya ada keheningan yang padat dan dingin.

“Ti?” Rina memegang bahu Siti. “Lu nggak apa-apa? Kita lapor ke media nasional. Gue punya temen di Jakarta. Kita viralin ini. Dia nggak bakal lolos.”

Siti menoleh ke Rina.

Gerakannya kaku. Patah-patah.

“Pulang yuk, Ti. Lu butuh istirahat. Muka lu pucet banget.”

Siti berjalan melewati Rina. Dia menuju kaca jendela pos satpam yang gelap.

Dia berdiri di depan kaca itu. Menatap pantulan dirinya sendiri.

Lampu neon pos satpam berkedip di belakang kaca.

Di pantulan itu, Siti melihat wajahnya.

Tapi itu bukan wajah Siti.

Hidungnya lebih mancung, milik Neni. Matanya lebih lebar, milik Lilis. Bibirnya lebih tebal, milik Euis. Rahangnya tirus, milik korban yang tak bernama.

Wajah itu adalah mosaik. Sebuah kolase daging dan tulang dari tujuh wanita mati yang disatukan paksa oleh benang hitam di bawah kulit.

Dan wajah di cermin itu tidak menangis.

Wajah itu tersenyum.

Senyum yang lebar, kaku, dan tidak wajar. Senyum yang memperlihatkan gigi terlalu banyak.

Siti mengangkat tangannya. Dia menyentuh pipinya sendiri.

Di bawah kulit wajahnya, garis-garis hitam itu bergerak cepat. Menyebar dari pelipis, turun ke leher, menjalar ke bahu. Seperti akar pohon beringin yang akhirnya menemukan tanah subur.

Mereka tidak ingin keluar. Mereka tidak ingin pulang ke surga. Mereka suka di sini. Di wadah baru ini.

“Ti?” suara Rina terdengar takut. “Siti?”

Siti berbalik menghadap Rina.

Mata Siti merah pekat. Pupilnya melebar sampai menutupi iris.

“Siti sudah nggak ada, Rin,” kata Siti.

Suaranya bukan suara Siti. Itu suara paduan suara. Tujuh nada berbeda yang diucapkan serentak, menciptakan gema yang bikin mual.

Siti tersenyum pada sahabatnya.

“Siti cuma wadah. Dan kami... kami lapar.”

Siti berjalan pergi meninggalkan kantor polisi. Dia tidak berjalan menuju halte bus. Dia berjalan kaki, menembus kabut sore yang mulai turun, menuju ke arah jalanan gelap.

Dia tahu di mana rumah Santoso. Dia tahu di mana kamar tidurnya. Dia tahu jam berapa Santoso tidur.

Dan malam ini, Santoso benar. Dia akan bertemu mereka.

Tapi bukan di dalam mimpi.

Siti meraba saku celana bahan hitamnya yang kedodoran. Dia mengeluarkan benda yang selalu ada di sana sejak dia bekerja di gudang. Benda yang sering luput dari perhatian orang, sama seperti pemiliknya. Sebuah cutter merah berkarat. Dia mendorong tuasnya.

Bilah pisau tipis itu keluar dengan bunyi klik yang tajam. Benda itu kecil, murah, dan kotor oleh sisa lem lakban. Tapi di tangan Siti, di bawah sorotan lampu jalan yang remang, bilah tipis itu tidak terlihat rapuh. Bagi mata Siti yang kini dihuni tujuh nyawa, cutter itu berkilat lapar.

Dia berjalan ke dalam kegelapan. Sebuah kuburan berjalan yang pintunya sudah dikunci dari dalam.

Dan di kejauhan, gema tawa Santoso seolah menyahut, menunggu permainan babak kedua dimulai.

TAMAT

TAMAT

Copyright © 2025 OX Media Publishing

← Kembali ke Menu Thriller
Dibaca ... kali
0