PAKET: Cinta dari Celah Sempit
PAKET
by L.T. Oktonawa
Bab 1: Kotak Pandora Kardus Cokelat
Bunyi motor itu.
Aku kenal bunyinya. Knalpot cempreng yang dipaksakan
nge-bass. Suara rem yang berdecit malas. Lalu, standar motor yang dihantam ke
aspal. Ctak.
Itu suara Tuhan.
Bukan. Itu suara kurir. Tapi bagiku sama saja.
Aku melempar selimut. Bau apek menguar. Biar saja. AC kamar
berdengung lelah, suhunya 18 derajat tapi keringat dingin tetap menempel di
tengkuk. Aku bangun. Kaki menyentuh lantai keramik yang dingin. Licin. Mungkin
bekas tumpahan mi instan semalam yang lupa kuelap. Atau tumpahan coke.
"Paket!"
Teriakan itu. Mantra.
Jantungku berdegup. Bukan karena cinta. Karena dopamin.
Hormon murah yang kubeli seharga ongkos kirim. Aku butuh itu. Aku butuh robekan
selotip. Aku butuh bau kardus baru. Aku butuh rasa memiliki.
Di luar sana, orang-orang saling menyakiti dengan kata-kata
dan ekspektasi. Tapi barang belanjaan tidak pernah menuntut. Mereka datang,
diam, dan menjadi milikku sepenuhnya. Kotak-kotak itu adalah satu-satunya teman
yang bisa kupilih, satu-satunya kejutan yang bisa kukontrol. Setidaknya, itulah
yang kupikirkan sampai hari ini.
Aku menyambar hoodie gombrong di gantungan pintu. Menutupi
tubuh kurus yang jarang kena matahari. Rambutku lepek. Masa bodoh. Kurir itu
tidak peduli. Tetangga tidak peduli. Komplek perumahan subsidi ini mati.
Deretan rumah tipe 36 yang pucat. Jarak antar pintu rapat, tapi penghuninya
jauh.
Kunci pintu utama kuputar. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Slot atas. Slot bawah. Rantai.
Aku paranoid? Mungkin.
Dunia luar itu jahat. Matahari itu jahat. Orang-orang itu
jahat. Hanya di sini aku aman. Di dalam kotak beton ini. Bersama tumpukan kotak
kardus lain yang menggunung di sudut ruang tamu. Kuburan belanjaan. Sebagian
belum kubuka. Sebagian sudah jadi sampah.
Aku membuka pintu sedikit. Celah sempit. Cukup untuk tangan
keluar.
"Atas nama Kak Aminah?"
Suara laki-laki. Berat. Serak.
Aku tidak melihat wajahnya. Aku tidak mau lihat. Aku cuma
melihat tangan yang menyodorkan kotak seukuran sepatu. Kukunya hitam. Ada bekas
luka bakar di pergelangan tangannya.
"Ya. Taruh situ aja." Suaraku kecil. Pecah.
Tenggorokan kering karena belum minum sejak bangun.
"Tanda tangan dulu, Kak."
Sial.
Biasanya tidak perlu. Biasanya mereka lempar saja. Atau
taruh di rak sepatu yang sudah penuh debu. Kenapa yang ini rewel?
Aku membuka pintu lebih lebar. Terpaksa. Cahaya matahari
menusuk mata. Silau. Sakit. Aku menyipit. Kurir itu memakai helm full face.
Kaca gelap. Jaketnya bukan jaket ojol biasa. Jaket kulit hitam, lusuh. Baunya
aneh. Bukan bau matahari dan debu jalanan.
Bau tanah basah.
Dia menyodorkan hp-nya. Layar retak. Aku mencoret asal di
layar itu dengan jari telunjuk yang gemetar.
"Makasih."
Dia tidak menjawab. Dia hanya diam. Helm itu menatapku. Aku
bisa merasakan matanya di balik kaca gelap itu. Menelanjangi kecemasanku.
Menertawakan hoodie-ku yang kotor.
Aku menyambar paket itu. Banting pintu. Kunci.
Satu. Dua. Tiga. Slot atas. Slot bawah. Rantai.
Aman.
Napas memburu. Punggungku menempel di daun pintu. Dingin
kayu menjalar ke tulang belakang. Pergi. Cepat pergi. Aku menunggu suara motor
itu menyala.
Hening.
Satu detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik.
Kenapa dia belum pergi?
Aku menahan napas. Telingaku menempel ke pintu. Tidak ada
suara langkah kaki. Tidak ada suara mesin. Apa dia masih berdiri di sana? Di
depan pintu? Menunggu?
Menunggu apa?
Aku mau mengintip lewat lubang kunci, tapi takut. Takut ada
mata lain yang juga sedang mengintip dari luar. Saling bertatapan.
Satu menit berlalu.
Brrumm.
Bunyi motor menjauh. Pelan. Tanpa digas kencang. Seperti
sengaja supaya tidak terdengar.
Kakiku lemas. Aku merosot duduk di lantai. Memeluk paket
itu. Kotaknya ringan. Terlalu ringan. Apa yang kupesan? Skincare? Baju dinas
malam? Lensa kontak? Aku lupa. Tiap malam, saat insomnia menyerang, jari-jariku
menari di layar hp. Checkout. Checkout. Checkout. Lupa apa isinya, yang
penting beli.
Aku membawa kotak itu ke kamar. Zona nyamanku.
Kamar ini berantakan. Ring light berdiri seperti tiang
gantungan di sudut. Laptop menyala, menampilkan dashboard media sosial. Angka
followers. Angka likes. Angka-angka semu yang mendefinisikan eksistensiku. Di
layar itu, aku cantik. Aku mulus. Aku bahagia.
Di sini, aku cuma daging yang ketakutan.
Aku duduk di kasur. Mengambil cutter di meja nakas. Mata
pisau berkarat sedikit.
Sreeet.
Suara irisan selotip. Bunyi paling indah di dunia.
Kardus terbuka. Tidak ada bubble wrap. Aneh. Biasanya
seller pelit pun kasih koran bekas. Ini kosong.
Cuma ada satu kotak kecil lagi di dalamnya. Kotak beludru
merah. Mirip kotak cincin, tapi lebih besar sedikit. Kotor. Beludru itu ada
bercak noda gelap. Seperti minyak... atau darah kering?
Jantungku mulai tidak enak. Ritmenya kacau.
Apa aku pesan perhiasan antik? Seingatku tidak. Saldo
rekeningku sedang kritis. Aku tidak mungkin beli barang mewah.
Tanganku berkeringat. Licin saat memegang kotak beludru itu.
Baunya menyengat. Bau zat besi. Amis.
Aku membukanya.
Bukan cincin.
Nafasku berhenti total.
Di atas bantalan busa putih yang sudah menguning, tergeletak
benda kecil itu. Warnanya putih kekuningan, kontras dengan noda merah
kecokelatan yang mengering di sekitarnya.
Itu bukan batu, bukan manik-manik. Benda itu memiliki akar
yang bergerigi tajam, dengan serabut daging mati yang masih menempel, seolah
baru saja dicabut paksa dari gusi yang berdarah.
Gigi.
Sebuah geraham kecil yang retak di bagian mahkotanya.Dan di
sebelahnya, melingkar rapi seperti cincin, adalah seikat rambut. Hitam.
Panjang. Kusut. Diikat dengan benang merah tipis.
Aku melempar kotak itu.
Benda itu jatuh ke lantai. Gigi itu menggelinding. Berhenti
tepat di dekat kaki meja rias.
"Anjing."
Aku mundur sampai punggung menabrak kepala ranjang. Mataku
melotot ke arah gigi itu. Benda mati. Tapi rasanya dia hidup. Rasanya dia
sedang menatapku.
Ini apa? Prank?
Siapa yang kirim? Haters?
Aku merangkak, mengambil kardus pembungkus tadi. Mencari
label pengiriman.
Kosong.
Tidak ada nama pengirim. Tidak ada alamat toko. Tidak ada
barcode ekspedisi.
Hanya ada satu stiker putih polos di tengah. Tulisan tangan.
Tinta spidol hitam. Tebal. Agak miring ke kiri.
UNTUK AMINAH YANG CANTIK
Perutku mual.
Tulisan itu. Aku kenal tulisan itu? Tidak. Tapi rasanya
familiar. Rasanya intim. Terlalu intim.
Aku menyambar hp. Buka aplikasi belanja. Cek riwayat
pesanan. Sedang dikemas. Sedang dikirim. Tiba di tujuan. Semua wajar.
Baju. Makanan kucing (padahal aku tidak punya kucing, cuma suka kasih makan
kucing liar). Sabun cuci muka.
Tidak ada yang jual gigi. Tidak ada yang jual rambut.
Tanganku gemetar hebat. HP hampir jatuh. Aku harus lapor
polisi? Lapor apa? "Pak, saya dapat kiriman gigi?" Mereka akan
tertawa. Atau mereka akan minta bukti ancaman. Ini ancaman bukan? Ini teror.
Aku memungut gigi itu dengan tisu. Jijik. Rasanya mau
muntah. Teksturnya keras, dingin. Aku memasukkannya kembali ke kotak beludru.
Rambut itu juga. Baunya...
Aku mendekatkan rambut itu ke hidung. Ragu-ragu.
Baunya sampo.
Sampo stroberi murah.
Lututku lemas seketika.
Itu sampo yang kupakai. Merek yang sama. Wangi yang sama.
Aku lari ke kamar mandi. Bercermin. Menarik rambutku
sendiri. Panjang, hitam, kusut. Sama. Persis.
Apa ini rambutku? Kapan dia ambil? Aku tidak pernah potong
rambut di salon. Aku potong sendiri. Di sini. Di kamar mandi ini. Potongan
rambut selalu kubuang ke kloset atau tempat sampah.
Siapa yang mengaduk tempat sampahku?
Atau lebih parah... siapa yang memotongnya saat aku tidak
sadar?
Tidak mungkin. Pintu dikunci. Jendela diteralis. Tidak ada
celah. Tikus saja susah masuk, apalagi orang.
Malam datang terlalu cepat. Langit di luar jendela berubah
ungu lebam, lalu hitam pekat. Lampu jalan di komplek ini mati dua, sisanya
kedip-kedip seperti mau mati juga.
Aku menyalakan semua lampu. Ruang tamu. Dapur. Kamar mandi.
Lorong. Tidak boleh ada sudut gelap. Listrik boros, masa bodoh. Kegelapan
menyembunyikan monster. Cahaya membakar mereka. Logika kanak-kanak, tapi itu
yang kupunya.
Pukul 23.15.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Menghadap pintu. Cutter di
tangan kanan. HP di tangan kiri. Televisi menyala, volume kecil. Sinetron
bodoh. Aku butuh suara manusia lain.
Tok.
Satu ketukan. Pelan. Di kaca jendela depan.
Aku membeku.
Itu bukan angin. Angin tidak mengetuk berirama.
Tok. Tok.
Jelas. Kaca bergetar sedikit.
Gorden tertutup rapat. Gorden tebal warna abu-abu. Aku tidak
bisa lihat keluar.
"Siapa?" teriakku. Suaraku sumbang. Terdengar
menyedihkan di telingaku sendiri.
Hening.
Aku berdiri. Kaki seperti jeli. Aku melangkah mendekati
jendela. Cutter kuacungkan ke depan. Konyol. Kalau dia di luar, cutter ini buat
apa? Buat potong gorden?
Aku menyibakkan gorden sedikit. Sangat sedikit.
Gelap. Teras kosong. Pagar tertutup. Tidak ada orang.
Hanya ada satu amplop cokelat tergeletak di lantai teras.
Tepat di depan pintu.
Kapan dia taruh?
Aku tidak dengar pagar dibuka. Pagar itu berkarat. Engselnya
menjerit kalau didorong. Tadi tidak ada suara jeritan besi. Bagaimana dia bisa
masuk ke teras tanpa buka pagar? Lompat? Pagar itu tinggi, ujungnya runcing.
Keingintahuan adalah penyakit. Dan aku sakit parah.
Aku membuka kunci pintu. Slot atas. Slot bawah. Rantai.
Tangan gemetar bikin proses ini lama. Sialan. Cepat.
Pintu terbuka. Angin malam menampar wajah. Dingin.
Aku menyambar amplop itu secepat kilat. Masuk lagi. Banting
pintu. Kunci lagi.
Satu. Dua. Tiga.
Punggung menempel pintu lagi. Jantung rasanya mau meledak.
Sakit di dada kiri.
Amplop ini tipis. Tidak ada tulisan apa-apa. Polos.
Aku merobeknya kasar.
Isinya selembar foto. Foto polaroid.
Gambar di foto itu buram karena minim cahaya. Grainy.
Kualitas rendah. Tapi objeknya jelas.
Seorang perempuan sedang tidur. Mulut sedikit terbuka.
Selimut motif beruang menutupi sampai dada. Rambut berantakan di bantal.
Itu aku.
Itu selimutku. Itu bantalku.
Aku membalik foto itu. Ada tulisan lagi. Spidol hitam yang
sama.
TIDURMU NYENYAK SEKALI, SAYANG.
Mataku beralih dari foto ke kamar tidurku. Pintunya terbuka.
Foto ini diambil dari sudut lemari pakaian. Dari atas.
Sudut high angle.
Siapapun yang memotret ini, dia tidak berdiri di lantai. Dia
tidak mengintip dari jendela.
Dia ada di atas lemari.
Atau dia melayang.
Atau dia tinggi sekali.
Aku berlari ke kamar. Mengecek lemari. Kosong. Mengecek
kolong kasur. Kosong. Mengecek jendela. Terkunci rapat. Teralis utuh. Tidak ada
bekas congkelan.
Keringat dingin membasahi punggung.
Aku melihat sekeliling ruangan. Kamar ini 3x3 meter. Tidak
ada tempat sembunyi.
Kecuali...
Mataku tertuju ke plafon.
Ada satu kotak akses ke atap di sudut langit-langit.
Tripleknya sedikit miring. Ada celah hitam selebar jari di sana.
Gelap.
Dan dari celah itu, aku merasa ada yang sedang melihatku.
Tidak. Itu cuma sugesti. Itu cuma bayangan. Plafon itu sudah
miring sejak aku pindah setahun lalu. Rumah subsidi kualitas rendah. Fondasi
turun. Wajar.
Wajar, kan?
Aku mundur keluar kamar. Menutup pintu kamar rapat-rapat.
Menguncinya dari luar.
Malam ini aku tidur di ruang tamu. Dengan lampu menyala.
Dengan cutter di tangan.
Tapi sebelum itu, aku butuh bukti. Polisi butuh bukti.
Aku mengambil HP. Buka aplikasi marketplace.
Cari: CCTV Wi-Fi. Night Vision. Motion Detector.
Pengiriman Instan.
Beli.
Besok, rumah ini akan jadi benteng. Tidak akan ada lagi
tikus yang bisa masuk tanpa kulihat.
Tapi malam ini... malam ini panjang sekali.
Dan di dalam kamar yang terkunci itu, aku mendengar sesuatu.
Lirih. Sangat lirih.
Seperti suara kuku menggaruk gypsum.
Sreeek... sreeek...
Aku membesarkan volume TV.
Aku tidak dengar. Aku tidak dengar. Aku tidak dengar.
Bab 2: Penjara Kaca dan Mata-Mata Kecil
Paket itu datang lagi. Kali ini pesanan sadar.
Empat kotak putih. CCTV Wi-Fi. 1080p. Night Vision.
Aku menyobek segelnya kasar. Tidak ada waktu baca manual.
Ketakutan membuatku jadi teknisi dadakan. Aku panjat kursi. Bor menyalak. Drrrrt.
Debu tembok masuk mata. Pedih. Masa bodoh.
Satu di ruang tamu. Sapu bersih pintu utama dan jendela.
Satu di dapur. Satu di lorong. Satu lagi di kamar tidur. Tepat di atas lemari,
menodong ke kasurku.
Koneksi hidup. Layar HP-ku jadi papan catur. Empat kotak.
Empat sudut neraka kecilku.
Kotak 1: Sofa abu-abu. Kotak 2: Piring kotor. Kotak 3:
Lorong gelap. Kotak 4: Kasurku.
"Aman," bisikku. Bohong. Ini cuma plasebo digital.
Siang bolong aku ke polsek. Matahari menyengat, tapi aku
menggigil.
Di meja piket, polisi muda itu duduk santai. Nametag-nya:
VERREL. Wajahnya terlalu bersih, rambutnya terlalu klimis untuk
mengurusi orang gila sepertiku. Dia main HP, rokok mengepul. Dan dia pakai
rompi anti peluru. Kevlar.
"Jadi, Mbak diteror?" tanyanya tanpa menoleh.
"Iya. Paket aneh. Gigi. Rambut. Foto saya tidur."
Aku banting barang bukti ke meja.
Verrel melirik malas. Dia pungut plastik berisi gigi itu
dengan ujung jari, jijik. "Gigi asli?"
"Masih ada akarnya. Bau amis."
Dia terkekeh, melempar plastik itu kembali ke meja.
"Mainan resin ini, Mbak. Atau properti syuting? Jaman sekarang orang rela
ngelakuin apa aja demi konten FYP." Verrel menatapku tajam, sorot matanya
bukan cuma malas, tapi lelah.
"Denger, Mbak Aminah. Sebulan ini ada lima laporan teror
kayak gini. Ujung-ujungnya apa? Mantan iseng, atau halusinasi karena kurang
tidur. Gak ada kerusakan pintu, gak ada jendela dicongkel. Kalau saya kirim tim
forensik cuma buat sebutir gigi mainan, saya yang dipecat."
"Jadi nunggu saya mati dulu?"
"Jangan drama. Kita tampung laporannya. Saran saya:
ganti kunci, pasang CCTV."
"Sudah!"
"Ya bagus. Kalo ada rekaman malingnya masuk, bawa sini.
Kalo cuma foto ginian... susah. Siapa tau Mbak lupa kunci pintu, terus temen
iseng masuk."
Aku sambar tasku. Keluar. Banting pintu.
Polisi sampah. Hukum cuma buat orang yang punya duit atau
punya mayat. Aku belum punya dua-duanya.
Malam kedua.
Rumahku jadi kokpit pesawat tempur. Laptop, tablet, HP.
Semua nyala. Menampilkan satu hal: live feed rumah sendiri.
Jam 01.15.
Mata sepet. Kopi habis. Jantung berpacu lebih cepat dari jam
dinding. Hening. Cuma suara dengung kulkas dan napasku yang putus-putus.
Ting.
WhatsApp masuk.
Aji: Kamu kenapa sih yank? Spam chat gak jelas.
Obat abis?
Darahku naik. Aji pacarku, tapi empatinya nol.
Aminah: Serius, Ji. Ada yang masuk. Verrel si
polisi itu gak guna. Sini temenin. Aku takut.
Aji: Gak bisa. Lembur. Besok pagi aku mampir.
Kunci pintu. Tidur. Jangan halu.
HP kulempar ke kasur. Aji gak akan datang. Aku sendiri.
Fokus. Layar CCTV. Mata berpindah cepat. Tamu. Dapur.
Lorong. Kamar.
Tunggu. Kamera 1. Ruang Tamu. Gorden jendela bergerak.
Sedikit. Tapi pasti. Seperti ada tangan yang menyibak dari balik kain.
Aku zoom. Pecah. Piksel buram menari. Angin?
Mustahil. AC mati. Aku turun dari kasur. Sambar cutter. Lari kecil ke ruang
tamu. Kosong. Jendela terkunci rapat. Gorden diam. Paranoia? Mungkin.
Aku ke dapur. Ambil air. Tangan gemetar bikin air tumpah ke
dagu. Saat mau balik ke kamar, HP di saku celana bergetar panjang. Alarm
aplikasi.
MOTION DETECTED: BEDROOM - 01:20 AM
Jantungku berhenti. Kamar tidur? Aku baru saja keluar dari
sana lima detik lalu!
Tangan gemetar membuka notifikasi. Putar klip rekaman. Mode Night
Vision. Hitam putih.
Detik 01: Aku keluar kamar bawa cutter. Detik 03: Kamar
kosong. Detik 05: Kolong kasur bergerak.
Mataku melotot. Napas tercekat. Tangan. Tangan panjang,
kurus, pucat. Jari-jarinya terlalu banyak ruas. Keluar dari celah dipan. Meraba
lantai.
Kepala menyembul. Rambut panjang gimbal menutupi muka. Sosok
itu merangkak keluar. Patah-patah. Seperti serangga raksasa. Dia berdiri.
Tinggi. Kurus kering. Baju hitam ketat. Dia berdiri di tengah kamarku. Lalu
mendongak. Menatap lurus ke kamera CCTV.
Dia melambai. Pelan. Mengejek.
Dia tahu aku nonton.
Sekarang... dia ada di dalam kamar itu. Kunci pintu depan
ada di meja rias di dalam kamar. Kunci pintu belakang juga sama.
Aku terkunci. Bersama dia.
Sreeek.
Suara seretan kaki. Bukan dari kamar. Dari atas. Plafon
dapur.
Aku mendongak pelan. Ventilasi udara berkarat. Ada mata.
Putih. Tanpa pupil. Menatapku dari celah jeruji besi. Mulutnya menyeringai.
Gigi runcing kekuningan.
Ctak.
Listrik mati. Gelap total. Sinyal Wi-Fi putus.
"Aminah..." Bisikan itu. Serak. Dekat. Di telinga.
Aku lari buta. Tabrak meja makan. Kursi jatuh. Gaduh. Pojok
dapur. Aku meringkuk di samping kulkas. Tutup telinga. "Tolong...
tolong..."
Tap. Tap. Tap. Langkah kaki cepat di lantai keramik.
Bukan sepatu. Kuku. Mendekat.
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Menunggu sakit. Menunggu
pisau. Hening. Satu menit. Dua menit. Tidak ada sentuhan.
Aku nyalakan senter HP. Baterai 12%. Cahaya menyapu dapur.
Kosong.
Tapi di pintu kulkas, ada yang baru. Foto polaroid. Masih
basah. Ditempel pakai ludah.
Aku mendekat. Foto itu buram kena flash. Gambar
seorang perempuan meringkuk di pojok dapur. Aku. Barusan. Dan di belakangku...
sosok hitam itu berdiri membungkuk. Wajahnya menempel di rambutku.
Dia tidak pergi. Dia main-main.
Bip. HP getar. Listrik nyala mendadak. Silau. Foto di
kulkas hilang. Tidak ada jejak.
Gila? Apa aku gila?! Tanganku gemetar buka HP. Koneksi CCTV
balik. Cek Kamera 4. Kamar tidur.
Darahku surut. Kasurku rapi. Seprai bunga biru sudah hilang.
Diganti seprai merah darah. Licin. Rapi. Tanpa kerutan.
Dan di tengah kasur... Boneka beruang masa kecilku duduk
manis. Lehernya terlilit kabel charger HP. Matanya menatap kamera.
Boneka itu... harusnya ada di kardus gudang. Di atas plafon.
Yang dipaku mati.
Dia sudah turun.
Bab 3: Tamu Tak Diundang dan Tetangga yang Tuli
Matahari terbit. Cahayanya abu-abu, menembus gorden yang
kusingkap sedikit.
Aku masih di posisi yang sama. Duduk di lantai ruang tamu,
punggung menempel pada kaki sofa. Pisau dapur di pangkuan. Mata merah, perih,
bengkak.
Aku selamat.
Atau mungkin dia sengaja membiarkanku hidup untuk satu ronde
lagi.
Di layar HP, feed CCTV kamar tidur masih menampilkan
pemandangan yang sama. Seprai merah darah. Boneka beruang yang terjerat kabel.
Benda itu diam. Menatap lensa kamera dengan mata kancing plastik yang mati.
Aku tidak berani masuk ke sana. Aku kencing di botol air
mineral kosong di dapur karena takut ke kamar mandi. Bau pesing bercampur bau
keringat dingin memenuhi ruang tamu.
Brak. Brak. Brak.
Pintu depan digedor. Keras.
Aku tersentak. Pisau teracung otomatis.
"Aminah! Buka!"
Suara Aji.
Napas yang tertahan di dada perlahan keluar. Aji. Dia
datang. Dia nyata.
Aku merangkak, memindahkan kursi pengganjal pintu. Tangan
gemetar memutar kunci. Slot atas. Slot bawah. Rantai.
Pintu terbuka.
Aji berdiri di sana. Wajahnya kusut. Masih pakai kemeja
kerja kemarin yang sudah lecek. Dia menatapku dari atas ke bawah. Tatapan jijik
bercampur kaget.
"Astaga. Kamu kayak mayat hidup."
Dia masuk tanpa permisi. Bau parfum murah dan rokok
menyeruak. Dulu bau ini menenangkan. Sekarang, bau ini membuatku waspada.
"Kamu dari mana?" tanyaku. Suaraku serak, seperti
parutan kelapa.
"Kerja lah. Lembur. Kan aku udah bilang di WA."
Dia melempar tas kerjanya ke sofa. Tas itu berat. Bunyinya buk saat
mendarat.
Isinya apa? Laptop? Atau... alat pemotong? Tali?
Otakku mulai menyusun skenario. Aji punya kunci cadangan.
Aji tahu letak sekring listrik. Aji tahu aku sendirian.
"Kamu bohong," bisikku.
Aji berhenti melangkah. Dia menoleh. "Apa?"
"Kamu bohong. Semalam kamu ke sini, kan?"
Aji mengerutkan kening. "Ngaco. Aku di kantor sampai
jam 3 pagi. Terus tidur di mushola kantor sebentar. Nih, liat log absen
kalau nggak percaya."
Dia merogoh saku celana. Mengeluarkan HP.
Gerakannya cepat. Tanganku mencengkeram pisau lebih erat di
balik punggung.
"Ngapain kamu pegang pisau?" Matanya menyipit. Dia
melihat gagang kayu yang menyembul dari balik pinggangku.
"Jaga diri. Ada orang masuk semalam, Ji. Dia ganti
seprai kasurku. Dia taruh boneka."
Aji menghela napas panjang. Napas orang yang lelah
menghadapi drama. "Mana? Coba liat."
Dia berjalan menuju kamar tidur. Langkahnya mantap. Tidak
ada rasa takut. Tentu saja dia tidak takut. Kalau dia pelakunya, kenapa harus
takut?
Aku mengikutinya dari jarak aman. Tiga langkah di belakang.
Pisau siap di tangan.
Aji berdiri di ambang pintu kamar. Dia diam.
"Anjir..." gumamnya.
Dia melihat seprai merah itu. Dia melihat boneka beruang
itu.
"Kamu beli seprai baru lagi? Kapan? Perasaan duit kamu
lagi seret."
Pertanyaan bodoh.
"Bukan aku yang beli! Orang itu yang pasang! Dia masuk,
Aji! Dia ngumpet di kolong kasur!"
Aji masuk ke kamar. Dia menyentuh seprai merah itu.
Mengelusnya.
"Bahannya bagus. Satin. Mahal nih."
"Aji! Dengerin aku!" Aku menjerit. "Ada orang
gila di rumah ini!"
Aji berbalik. Wajahnya merah. "Kamu yang gila, Aminah!
Liat diri kamu! Rambut gimbul, bau pesing, bawa-bawa pisau! Kamu lupa minum
obat berapa hari?"
"Aku nggak gila!"
"Terus ini apa?" Aji menunjuk boneka beruang itu.
"Ini boneka kamu jaman SD kan? Yang kamu simpen di gudang atas? Siapa yang
bisa ambil kalau bukan kamu sendiri? Kamu manjat plafon malem-malem pas lagi kumat,
terus lupa. Iya kan?"
"Enggak!"
"Ngaku aja. Dulu juga gitu. Kamu belanja online jutaan,
terus pas barang dateng kamu nangis-nangis bilang nggak pesen. Amnesia
disosiatif. Kata dokter gitu kan?"
Dada kiriku nyeri. Aji menggunakan masa laluku sebagai
senjata. Dia memutarbalikkan fakta.
"CCTV..." kataku terbata. "Aku punya rekaman
CCTV. Orang itu keluar dari kolong kasur."
Aku menyodorkan HP-ku. Membuka aplikasi. Galeri rekaman.
File Corrupted.
Layar hitam. Ada tulisan peringatan merah. File tidak bisa
diputar.
Aku coba file lain. Rekaman saat mati lampu.
File Corrupted.
Tanganku dingin. "Tadi ada... sumpah tadi ada..."
Aji tertawa sinis. "Tuh kan. Halu. Udahlah, Min. Kamu
butuh psikiater, bukan polisi. Ayo mandi. Bau banget sumpah. Kita ke rumah
sakit."
Dia maju selangkah hendak memegang tanganku.
Aku mundur. Mengacungkan pisau. "JANGAN SENTUH!"
Aji berhenti. Matanya melotot. "Oke. Oke. Tenang. Taruh
pisaunya."
"Keluar."
"Min..."
"KELUAR! Kamu sekongkol sama dia kan? Atau kamu
pelakunya? Kamu yang edit CCTV-nya? Kamu orang IT, Ji. Kamu bisa kan ngerusak
file dari jauh?"
Aji menggeleng tak percaya. "Wah, sakit jiwa beneran ni
orang. Aku mau nolongin kamu, Min."
"Keluar atau aku teriak!"
Aji mengangkat tangan. Menyerah. "Oke. Aku pergi.
Terserah. Mati aja sekalian sama halusinasi kamu."
Dia menyambar tasnya di sofa. Berjalan ke pintu.
Sebelum keluar, dia berhenti. Tanpa menoleh, dia bicara.
"Kunci cadangan yang kamu kasih ke aku, udah ilang
seminggu lalu. Jatuh di jalan kayaknya. Jadi kalau ada yang masuk, mungkin yang
nemu kunci itu. Pikirin itu."
Blam.
Pintu tertutup.
Aku sendirian lagi.
Lututku lemas. Aku jatuh terduduk.
Kunci cadangan hilang? Seminggu lalu? Dan dia baru bilang
sekarang?
Atau dia bohong?
Kepalaku pening. Siapa yang harus dipercaya? Rekaman CCTV
rusak. Bukti fisik dianggap prank. Pacar sendiri menganggapku gila.
Aku merangkak ke pintu. Menguncinya lagi.
Siang itu berjalan lambat seperti siksaan. Aku tidak berani
tidur. Aku minum kopi sachet tiga bungkus tanpa gula. Jantungku berdetak
menyakitkan, seperti mau robek dari tulang rusuk.
Aku memutuskan untuk memeriksa sekeliling rumah. Mencari
celah. Aji bilang kunci hilang. Berarti pelakunya masuk lewat pintu depan?
Tapi CCTV ruang tamu tidak merekam siapa pun masuk. Pintu
tidak pernah terbuka di rekaman, kecuali saat kurir datang dan saat aku ambil
foto.
Lalu lewat mana?
Aku berjalan memutari rumah. Sempit. Jarak dinding rumahku
dengan tembok tetangga cuma satu meter. Gang tikus yang lembap, penuh lumut.
Di dinding samping kamar tidur, ada jendela kecil. Jendela
ventilasi. Tingginya dua meter dari tanah. Terlalu kecil untuk manusia dewasa.
Kucing mungkin bisa.
Aku mendongak. Di atas jendela itu, ada pipa talang air.
Pipa paralon abu-abu yang menjalar naik ke atap.
Pipa itu kotor. Ada bekas lumpur.
Bekas telapak tangan?
Aku menyipitkan mata. Matahari silau. Ya, ada noda cokelat
di pipa putih itu. Seperti bekas cengkeraman tangan yang kotor oleh tanah
basah.
Dia memanjat?
"Mbak Aminah!"
Aku meloncat kaget. Jantung hampir copot.
Di balik pagar tembok samping yang rendah, muncul kepala Ibu
Tejo. Tetangga sebelah. Rambutnya disanggul asal-asalan, daster batik
kedombrongan.
"Eh, Bu... Bu Tejo. Kaget saya."
Bu Tejo tidak tersenyum. Wajahnya masam.
"Mbak, tolong dong kalau malam itu jangan gaduh. Saya
punya bayi, lho. Kaget terus."
"Gaduh gimana, Bu? Saya sendirian..."
"Halah. Itu lho, lari-lari. Gluduk-gluduk. Kayak
kuda." Bu Tejo menunjuk ke atas. "Di atas plafon. Di genteng. Kenceng
banget suaranya. Masa tikus segede itu? Suami saya mau naik ngecek takut
gentengnya pecah, tapi hujan deras."
Darahku berhenti mengalir.
Di atas plafon.
Aji bilang boneka itu dari gudang atas plafon. Bu Tejo
dengar suara lari di genteng/plafon.
"Jam berapa, Bu?" tanyaku pelan.
"Ya tengah malem. Jam satu, jam dua. Tiap malem lho,
Mbak. Seminggu ini. Kalau Mbak lagi senam atau apa, mbok ya siang aja."
Seminggu ini.
Sesuai dengan hilangnya kunci Aji. Sesuai dengan awal teror
paket itu.
"Maaf, Bu. Nanti saya cek. Mungkin musang."
Bu Tejo mendengus. "Musang kok pake sepatu boot
suaranya berat gitu. Awas lho, nanti plafonnya jebol."
Kepalanya menghilang dari balik tembok.
Aku berdiri mematung di gang sempit itu. Menatap atap
rumahku sendiri. Genteng tanah liat yang kusam, berlumut.
Ada sesuatu di sana.
Bukan hantu. Bukan Aji.
Ada orang di atas sana.
Dia tidak masuk lewat pintu. Dia masuk dari atas. Membuka
genteng? Masuk ke rongga plafon?
Lalu, bagaimana dia masuk ke kamar?
Lubang plafon di kamar tidur!
Triplek yang miring itu. Yang kulihat di Bab 1. Celah hitam
selebar jari.
Itu bukan karena fondasi turun. Itu karena sering
dibuka-tutup.
Dia turun saat aku tidur. Dia naik lagi sebelum aku bangun.
Tubuhku menggigil hebat. Panas matahari tidak terasa.
Aku berlari masuk ke rumah. Mengunci pintu belakang.
Menyeret meja makan untuk mengganjalnya.
Aku masuk ke kamar tidur dengan napas tertahan. Mendongak ke
langit-langit.
Triplek di pojok itu.
Sekarang, di siang hari, aku bisa melihatnya lebih jelas.
Ada bekas jari hitam di pinggiran cat putih gypsum. Bekas
minyak. Bekas daki.
Dan sehelai rambut panjang menjuntai dari celah itu.
Bergoyang pelan kena angin AC.
Dia di sana.
Mungkin sekarang pun dia sedang melihatku dari celah itu.
Aku mundur pelan-pelan. Keluar kamar.
Aku harus apa?
Naik ke atas dan melawannya? Aku cuma punya pisau dapur dan
tubuh seberat 45 kilo. Dia... dari rekaman tangan itu... dia besar. Tangannya
panjang. Kuat.
Lapor Verrel? Dia akan ketawa. "Ada musang di genteng
lapor polisi?"
Panggil tukang? Siapa yang mau datang sore-sore begini ke
perumahan sepi?
Aku harus menjebaknya.
Kalau dia memang tinggal di atas, dia butuh turun. Dia butuh
makan. Dia butuh minum.
Aku melihat ke dapur. Sisa mi instan di panci semalam sudah
habis. Bersih. Dijilat sampai kering.
Aku pikir aku yang makan sambil melamun. Ternyata bukan.
Dia hama. Hama manusia.
Aku punya rencana. Rencana gila.
Aku pergi ke dapur. Mengambil racun tikus. Bubuk hitam yang
kubeli bulan lalu tapi belum sempat dipakai.
Aku masak mi instan lagi. Dua bungkus. Baunya harum.
Menyengat.
Aku taburkan bubuk hitam itu ke dalam kuah mi. Mengaduknya
rata. Warnanya jadi agak keruh, tapi tertutup bumbu kecap.
Aku taruh mangkuk itu di meja makan. Di tengah-tengah.
Lalu aku "pergi".
Aku buka pintu depan keras-keras. "Aku pergi dulu ya!
Mau nginep di hotel!" teriakku pada rumah kosong.
Aku banting pintu dari luar. Menguncinya.
Tapi aku tidak pergi.
Aku mengendap-endap lewat samping rumah. Masuk lagi lewat
jendela gudang belakang yang engselnya rusak—satu-satunya celah yang lupa aku
perbaiki, dan aku harap dia tidak tahu aku tahu.
Aku sembunyi di dalam lemari sapu di dapur. Sempit. Bau
debu.
Dari celah pintu lemari, aku bisa melihat meja makan.
Aku menunggu.
Jam 5 sore. Langit mulai gelap. Hujan turun lagi.
Rintik-rintik, lalu menderas. Suara air menghantam atap seng kanopi meredam
segalanya.
Kakiku kram. Semut menggigit betis. Aku tidak bergerak.
Bau debu di dalam lemari mulai mencekik. Oksigen menipis,
digantikan oleh aroma pesing dari pel kain yang belum kering. Setiap detak
jarum jam di dinding ruang tengah terdengar seperti palu godam yang menghantam
kepalaku.
Tik. Tak. Tik. Tak.
Aku ingin batuk, tenggorokanku gatal bukan main, tapi
kutahan mati-matian sampai air mata merembes keluar.
Salah sedikit, aku mati.
Jam 6 sore. Maghrib lewat. Gelap. Lampu dapur tidak
kunyalakan. Hanya ada cahaya remang dari lampu jalan yang masuk lewat
ventilasi.
Kreek.
Suara itu.
Bukan dari pintu.
Dari lorong.
Suara langkah kaki berat. Tidak diseret. Tapi hati-hati.
Aku menahan napas. Jantungku berdetak begitu keras sampai
rasanya seluruh lemari ikut bergetar.
Sosok itu muncul dari kegelapan lorong.
Tinggi. Sangat tinggi. Kepalanya hampir menyentuh kusen
pintu.
Rambutnya panjang, gimbal, menutupi wajah. Bajunya... itu
baju-baju bekas milikku yang hilang dari jemuran. Daster. Kaos oversize.
Dia memakainya berlapis-lapis, membuatnya terlihat bengkak dan aneh.
Baunya tercium sampai ke dalam lemari. Bau tanah basah. Bau
kencing. Bau busuk daging mati.
Dia berjalan ke meja makan. Melihat mangkuk mi itu.
Dia mendengus. Seperti binatang mengendus mangsa.
Tangannya—tangan pucat dengan kuku hitam panjang
itu—mengambil mangkuk.
Dia tidak pakai sendok. Dia mengangkat mangkuk itu dan
menenggaknya langsung.
Bunyi slurp yang menjijikkan memenuhi dapur.
Minum. Habiskan. Matilah kau.
Tiba-tiba dia berhenti.
Dia membanting mangkuk itu ke lantai. Prang! Pecah
berkeping-keping. Kuah racun berceceran.
Dia tahu.
Kepalanya berputar cepat. Mencari-cari.
Bukan ke arah pintu keluar.
Tapi lurus ke arah lemari sapu tempatku sembunyi.
Dia menggeram. Suara rendah yang bergetar di dada.
"Aminah..."
Dia tidak memanggil. Dia mengejek.
Dia berjalan mendekat.
Aku mencengkeram pisau di dada.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiba-tiba, HP-ku di saku celana berbunyi.
Bukan notifikasi WA. Bukan telepon.
Tapi suara alarm token listrik yang habis.
Tit. Tit. Tit. Tit.
Suaranya nyaring sekali di keheningan dapur.
Sosok itu berhenti tepat di depan pintu lemari.
Aku bisa melihat jemari kakinya yang telanjang, hitam, dan
bengkak dari celah bawah pintu.
Dia membungkuk.
Mata putih tanpa pupil itu menempel di celah ventilasi pintu
lemari. Menatap mataku.
"Kamu pelit," bisiknya. "Minya nggak
enak."
Lalu dia tertawa. Suara tawa kering, seperti gesekan dahan
pohon mati.
Dia memegang pegangan pintu lemari.
Dan menariknya.
Bab 4: Labirin Tanpa Cahaya
Pintu lemari terbuka.
Bau busuk itu menghantam wajahku lebih dulu daripada
sosoknya. Bau got, bau keringat basi, dan bau aneh yang manis... bau darah
lama.
Aku tidak berpikir. Otak reptilku mengambil alih.
Saat tangan pucat itu terulur hendak meraih rambutku, aku
mengayunkan pisau dapur di tanganku. Membabi buta.
Sreeet!
Bukan suara tusukan. Suara sobekan.
"ARGH!"
Makhluk itu meraung. Suaranya serak, pecah, sangat
manusiawi. Pisauku mengenai lengan bawahnya. Darah hitam muncrat ke wajahku.
Hangat. Amis.
Dia mundur selangkah, memegang tangannya yang robek.
Itu celahku.
Aku menendang tulang keringnya sekuat tenaga, lalu
menghambur keluar dari lemari sapu. Kakiku tergelincir di atas pecahan mangkuk
dan kuah mi beracun yang licin. Aku jatuh berlutut. Kaca menusuk lututku.
Perih.
"Jalang kecil..." geramnya.
Dia menerjang.
Aku berguling ke samping. Tangannya menghantam lantai
keramik tempat kepalaku berada sedetik lalu. Brak! Lantai retak.
Tenaganya gila.
Aku bangkit dan lari.
Bukan ke pintu depan—terlalu jauh, ada meja makan yang
menghalangi. Bukan ke pintu belakang—terkunci dan diganjal meja.
Ke kamar.
Benteng terakhirku.
Aku berlari menyusuri lorong sempit itu. Napasku seperti
peluit rusak. Di belakangku, suara langkah kaki berat mengejar. Dug. Dug.
Dug. Dia tidak lari. Dia melompat-lompat besar seperti binatang buas.
"Jangan lari, Aminah! Di atas dingin! Aku butuh
hangat!"
Aku membanting pintu kamar. Memutar kunci.
Brak!
Tubuhnya menabrak pintu tepat saat slot terkunci. Kayu pintu
berderit ngeri. Engsel atas sedikit goyah.
"Buka!"
Brak! Brak!
Aku mundur. Menyeret lemari laci plastik ke depan pintu.
Menyeret meja rias. Apa saja.
Di luar, dia mengamuk. Dia mencakar pintu. Suara kukunya... sreet...
sreeet... bikin ngilu sampai ke gigi.
Lalu, tiba-tiba hening.
Hanya suara hujan deras di luar dan napasku yang memburu.
Kenapa dia berhenti?
Tit. Tit. Tit.
Suara alarm token listrik di dapur masih berbunyi
samar-samar. Irama kematian.
Lalu... Pet.
Mati.
Suara alarm berhenti. Kipas angin mati. Lampu jalan di luar
yang biasnya masuk lewat ventilasi pun mati.
Gelap gulita.
Satu komplek mati lampu. Badai memutus segalanya.
Sekarang, aku benar-benar buta.
Aku meraba-raba dalam gelap. Tanganku menyentuh pintu lemari
pakaian. Lemari jati tua peninggalan nenek. Kokoh. Tebal.
Aku masuk ke dalamnya. Menarik pintu lemari dari dalam.
Gelap di dalam gelap. Bau kamper dan baju apek.
Aku duduk memeluk lutut di antara gantungan baju. Gamis dan
jaket menyentuh wajahku seperti hantu-hantu kain.
Aku aman di sini. Dia tidak bisa masuk kamar. Pintunya
kutahan pakai meja rias.
Tapi... bagaimana kalau dia tidak lewat pintu?
Mataku mendongak ke atas. Ke langit-langit lemari. Di atas
lemari ini, ada plafon. Plafon dengan triplek miring itu.
Kalau dia tinggal di atas... dia bisa turun kapan saja.
Tidak. Jangan pikirkan itu.
HP-ku.
Aku meraba saku. HP masih ada. Layar retak sedikit karena
tadi jatuh saat berguling. Baterai 8%.
Sinyal hilang. No Service.
Tapi aku punya modem Mi-Fi portable. Modem itu punya
baterai sendiri. Aku taruh di meja nakas. Kalau dia masih nyala...
Aku menyalakan Wi-Fi di HP.
Searching... Connected.
Satu bar. Lemah. Tapi ada.
Aku membuka aplikasi CCTV. Jantungku berdegup sakit sekali.
Apakah kamera-kamera itu masih nyala? Aku beli yang model baterai rechargeable
untuk cadangan. Harusnya masih nyala.
Loading stream...
Layar HP menyala redup, menjadi satu-satunya sumber cahaya
di dalam lemari ini. Wajahku pucat terpantul di layar.
Gambar muncul. Hitam putih. Mode Night Vision.
Kamera 1 (Ruang Tamu): Kosong. Sofa diam. Pintu utama
masih terkunci rapat. Kamera 2 (Dapur): Berantakan. Pecahan mangkuk di
lantai. Darah (atau kuah mi?) berceceran. Pintu lemari sapu terbuka. Kamera
3 (Lorong):
Aku menahan napas.
Di lorong, tepat di depan pintu kamarku... dia berdiri.
Sosok itu.
Dia tidak lagi menggedor pintu. Dia berdiri diam,
memunggungi kamera.
Rambutnya basah dan lepek. Darah menetes dari lengan
kanannya ke lantai. Tetes. Tetes. Hitam di layar night vision.
Dia memegang sesuatu di tangan kirinya.
Benda panjang. Berkilat.
Linggis.
Dia punya linggis.
Darahku membeku. Pintu kamar diganjal meja rias pun tidak
akan kuat kalau dihantam linggis.
Tapi dia tidak memukul pintu.
Dia mendongak. Menatap langit-langit lorong.
Dia mengangkat linggisnya.
Krak!
Dia menusukkan ujung linggis ke plafon gypsum di lorong.
Krak! Bruk!
Dia menjebol plafon.
Serpihan gypsum berjatuhan menimpa kepalanya. Dia tidak
peduli. Dia memukul lagi. Memperlebar lubang.
Apa yang dia lakukan?
Dia mau naik.
Dia mau kembali ke sarangnya.
Kenapa? Apa dia menyerah? Apa dia takut karena terluka?
Aku melihatnya melompat. Tangannya yang panjang meraih
rangka kayu plafon. Dia menarik tubuhnya ke atas dengan gerakan yang tidak
wajar—seperti laba-laba yang ditarik benang.
Kaki kotornya menghilang ke dalam lubang gelap di
langit-langit.
Lorong kosong.
Hanya ada lubang menganga di plafon.
Aku menghela napas panjang. Air mata tumpah.
Dia pergi. Dia pergi ke atas.
Mungkin dia mau ambil obat? Atau mungkin dia mau mati di
sana karena racun tikus tadi sempat tertelan sedikit?
Yang jelas, dia tidak di depan pintu kamarku lagi.
Aku melihat layar HP lagi. Baterai 5%.
Aku harus lapor polisi. Sinyal modem ini mungkin cukup untuk
kirim WA ke Verrel. Atau telepon darurat.
Tapi saat jempolku mau menutup aplikasi CCTV... aku melihat
pergerakan di Kamera 4.
Kamera di dalam kamarku sendiri.
Kamera yang posisinya di atas lemari pakaian tempatku
sembunyi. Sudut pandangnya menyorot ke seluruh kamar.
Di layar HP, aku melihat kamar tidurku yang gelap gulita
(terang karena night vision).
Pintu kamar masih tertutup, terganjal meja rias. Kasur
dengan seprai merah itu masih di sana.
Aman.
Tapi... tunggu.
Mataku tertuju pada lantai kamar.
Ada debu. Debu putih. Jatuh perlahan dari atas. Seperti
salju.
Jatuh tepat di depan lemari pakaian tempatku sembunyi.
Aku mendongak di dalam lemari. Menatap atap lemari kayu ini.
Sreeek...
Suara itu.
Bukan dari rekaman HP. Tapi langsung di atas kepalaku.
Suara gesekan tubuh yang merayap di atas kayu.
Di atas lemari.
Dia tidak naik ke atas untuk pergi.
Dia naik ke atas lorong... untuk merayap lewat rongga
plafon... dan turun ke kamar ini lewat lubang di atas lemari.
Dia sudah ada di dalam kamar.
Tepat di atas kotak kayu tempatku bersembunyi.
Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Menahan jeritan yang
sudah di ujung lidah.
Di layar HP, aku melihatnya.
Dari sudut atas layar Kamera 4, sepasang kaki pucat turun
perlahan. Menginjak bagian atas lemari.
Lalu dia melompat turun ke lantai kamar. Tanpa suara.
Dia berdiri di depan lemari.
Dia membelakangi lemari. Menghadap ke kasur.
Dia pikir aku sembunyi di kolong kasur? Atau di kamar mandi
dalam?
Dia memegang linggis itu erat-erat. Tubuhnya gemetar. Marah.
"Keluar..." desisnya. Suaranya bergema di kamar
yang sunyi.
Aku bisa mendengar suaranya dua kali. Satu dari speaker
HP (ada delay sedetik), satu lagi langsung dari balik pintu tipis lemari
ini.
Jarak kami cuma 2 sentimeter. Terpisah selembar kayu jati.
Jangan bergerak. Jangan bernapas. Jantung, tolong berhenti
berdetak.
Dia melangkah menjauh dari lemari. Menuju kolong kasur.
Dia membungkuk. Mengintip kolong kasur.
"Kosong..."
Dia bangkit. Memukul kasur dengan linggis. Buk! Buk!
Kapuk berterbangan.
"Di mana kamu, Cantik?"
Dia berbalik.
Wajahnya menghadap ke arah lemari. Menghadap ke arahku
(meski terhalang pintu).
Untuk pertama kalinya, lewat layar HP, aku melihat wajahnya
dengan jelas.
Wajah itu hancur. Kulitnya melepuh dan penuh koreng. Matanya
liar, satu kelopaknya turun setengah. Bibirnya sobek, memperlihatkan gusi yang
hitam.
Dan di lehernya... ada kalung.
Kalung liontin emas berbentuk hati.
Itu kalungku. Kalung yang hilang dua bulan lalu.
Dia memakainya.
Dia berjalan mendekati lemari.
Langkah pelan. Diseret.
Dia berhenti tepat di depan pintu lemari.
Tangannya terulur. Menyentuh gagang pintu lemari.
Di layar HP, aku melihat tangan itu memegang gagang pintu.
Di dunia nyata, aku melihat gagang pintu lemari di depanku
berputar perlahan.
Klek.
Terkunci.
Aku menguncinya dari dalam tadi. Refleks.
Dia diam.
Dia tahu aku di dalam.
Dia mendekatkan wajahnya ke pintu lemari.
"Tok... tok... tok..."
Dia mengetuk pintu lemari dengan lembut pakai ujung linggis.
"Aminah... ada paket..."
Bab 5: Kotak Pandora
"Aminah... ada paket..."
Suara itu menembus pori-pori kayu jati, merayap masuk ke
telingaku yang berdenging. Aku mendekap lutut erat-erat, menahan isak tangis
agar tak pecah. Air mata mengalir dalam diam, membasahi lutut celanaku yang
sobek.
Di luar, dia tertawa kecil. Tawa itu basah. Tawa orang yang
sedang menikmati hidangan pembuka.
"Nggak mau buka? Ya sudah. Biar kurir yang simpan
paketnya."
Hening.
Aku menatap layar HP yang menyala redup di pangkuan. Sinyal
Wi-Fi satu bar, berkedip-kedip seperti nyawa yang sekarat.
Di layar Kamera 4, aku melihat punggungnya. Punggung
yang bungkuk dan penuh luka melepuh itu. Dia berhenti mengetuk pintu lemari.
Dia melakukan sesuatu pada gagang pintu lemari.
Dia mengambil linggisnya. Menyelipkannya di antara dua
gagang pintu lemari yang berbentuk cincin besi. Memutarnya. Menguncinya.
Krak.
Suara besi beradu besi terdengar nyata di telingaku.
Dia tidak mencoba masuk. Dia justru mengurungku di dalam.
"Biar kamu nggak lari, Cantik," gumamnya.
Lalu, di layar HP, aku melihatnya berjalan menjauh.
Dia tidak keluar lewat pintu kamar yang terganjal meja rias.
Dia berjalan ke tengah ruangan, tepat di bawah lubang plafon yang tadi dia
jebol.
Dia mendongak. Melompat. Meraih rangka kayu plafon dengan
tangan panjangnya yang berlumuran darah hitam.
Sekali tarik, tubuh kurusnya melesat naik. Kakinya menendang
udara, lalu menghilang ke dalam kegelapan lubang di langit-langit.
Debu gypsum berjatuhan.
Lalu sunyi.
Kamar kosong. Hanya ada seprai merah darah dan boneka
beruang yang menatap hampa.
Aku menunggu. Satu menit. Dua menit.
Mataku tidak lepas dari lubang plafon di layar HP. Berharap
dia tidak turun lagi.
Lima menit berlalu. Tidak ada gerakan.
Aku menghembuskan napas panjang yang gemetar.
Dia pergi. Dia kembali ke sarangnya di atap. Mungkin dia mau
mengobati lukanya? Pisauku tadi menyayatnya cukup dalam. Atau mungkin dia takut
karena aku diam saja?
Apapun alasannya, aku punya waktu.
Aku mencoba membuka WA. Pesan ke Verrel.
SENDING...
Lingkaran hijau berputar lambat. Sinyal buruk sekali di
dalam lemari ini. Badai di luar pasti merusak menara pemancar.
"Ayo... ayo kirim..." bisikku.
FAILED. Tap to retry.
Sialan.
Aku harus keluar. Aku harus lari cari sinyal. Tapi pintu
lemari diganjal linggis dari luar. Aku terperangkap.
Tidak apa-apa. Setidaknya aku aman dari dia. Dia di atap.
Aku di lemari. Dia tidak bisa masuk, aku tidak bisa keluar. Kita impas. Besok
pagi, Aji pasti datang. Atau tetangga curiga. Aku cuma perlu bertahan sampai
pagi.
Aku menyandarkan kepala ke tumpukan baju. Aroma kamper dan dry
clean yang apek terasa menenangkan.
Namun, di tengah keheningan yang menyesakkan itu, tengkukku
meremang. Bukan karena suara, tapi karena sensasi fisik.
Ada aliran udara. Hembusan napas dingin yang berirama,
menerpa leher bagian belakangku.
Jantungku serasa berhenti. Lemari ini kayu solid. Rapat.
Kedap. Bagaimana bisa ada angin dari arah belakang?
Dengan tangan gemetar hebat, aku menyibakkan deretan gamis
yang tergantung. Ujung jariku terulur, berharap menyentuh dinding triplek kasar
bagian belakang lemari. Namun, jariku hanya menyapu udara kosong.
Tidak ada dinding. Hanya lubang menganga yang menghembuskan
aroma busuk—campuran tanah basah, sisa makanan basi, dan feromon manusia liar.
Jantungku berhenti berdetak sesaat. Aku menyalakan senter
HP. Baterai 3%.
Cahaya putih menyorot ke balik baju-baju.
Mataku terbelalak.
Dinding belakang lemari itu... sudah tidak ada.
Tripleknya sudah digergaji rapi. Membentuk lubang persegi
panjang yang besar. Gelap.
Dan lubang itu tidak mengarah ke tembok kamar.
Rumah subsidi ini punya celah antar tembok (double wall)
yang cukup lebar untuk menghemat material bata. Celah selebar 40 senti.
Senterku menyorot ke dalam celah itu.
Di sana, di ruang sempit di balik lemari pakaianku, ada
"ruangan" lain.
Ada karpet busa tipis yang digelar di lantai semen kasar.
Ada bantal lepek yang warnanya sudah hitam karena daki. Ada tumpukan bungkus mi
instan, kulit kacang, dan botol air mineral berisi cairan kuning pekat.
Dan di dinding bata yang lembap itu... tertempel ratusan
foto.
Foto polaroid.
Foto aku tidur. Foto aku makan. Foto aku nonton TV. Foto aku
ganti baju. Foto aku menangis.
Ada foto Aji yang matanya dicoret spidol merah. Ada foto
Verrel yang ditusuk paku.
Ini bukan sekadar tempat sembunyi.
Ini rumahnya.
Selama ini, lemari pakaianku bukan tempat penyimpanan baju.
Lemari ini adalah pintu depan rumahnya.
Setiap kali aku membuka lemari untuk ambil baju, dia ada di
sana. Di balik triplek tipis. Mendengarkan napasku. Mencium bau parfumku.
Mungkin sesekali mengintip lewat celah serat kayu.
Aku mundur. Punggungku menabrak pintu lemari yang terkunci.
"Tolong..." bisikku tanpa suara.
Aku terperangkap di dalam kotak, dan kotak ini terhubung
langsung ke neraka.
Tiba-tiba, aku mendengar suara.
Bukan dari HP. Bukan dari atap.
Dari dalam lubang itu.
Suara gesekan kain. Suara napas berat yang tertahan.
Aku mengarahkan senter lebih dalam ke lorong sempit itu.
Di ujung lorong, sekitar dua meter dari tempatku duduk...
ada gundukan kain gelap.
Gundukan itu bergerak.
Itu bukan tumpukan baju kotor.
Itu dia.
Dia tidak naik ke atap untuk pergi.
Dia naik ke atap untuk memutar. Masuk lewat ventilasi lain,
turun ke celah dinding ini, dan merangkak kembali ke sini. Ke sarangnya.
Dia ingin menyambutku di "rumah"-nya.
Kepala itu terangkat. Wajah hancur itu tersenyum dalam
sorotan senterku. Giginya yang runcing dan kuning tampak berkilat.
"Selamat datang, Tetangga," bisiknya parau.
HP-ku bergetar.
Battery Low. 1%.
Lampu senter mati.
Gelap gulita.
Aku menjerit. Menggedor pintu lemari di belakangku.
"TOLONG! AJI! SIAPAPUN!"
Pintu itu kokoh. Linggis yang dia pasang bekerja dengan
sempurna.
Dalam kegelapan pekat, aku mendengar dia merangkak mendekat.
Suara lutut dan sikunya menyeret di lantai semen.
Sreeek... sreeek...
Baunya makin dekat. Bau amis darah yang bercampur dengan bau
badan yang tidak pernah kena sabun.
"Jangan teriak," suaranya sekarang ada di dalam
lemari. Di samping telingaku. "Nanti tetangga bangun."
Aku merasakan tangan dingin yang basah menyentuh kakiku.
Merayap naik ke betis. Ke lutut.
Aku menendang. Kakiku mengenai daging yang keras.
Dia terkekeh.
"Kamu wangi sekali malam ini, Aminah. Wangi
ketakutan."
Tangan itu mencengkeram pergelangan kakiku. Kuat. Seperti
catut besi.
Dia menarikku.
"Masuk yuk. Di dalam hangat."
"ENGGAK! LEPAS!"
Aku mencakar lantai lemari. Mencari pegangan. Tapi jariku
hanya menemukan baju-baju gantung yang licin.
Tubuhku terseret masuk ke dalam lubang dinding itu.
Aku melewati batas antara lemari dan tembok. Masuk ke ruang
sempit yang pengap.
Punggungku bergesekan dengan dinding bata yang kasar.
Kulitku perih.
Dia menarikku semakin dalam. Ke dalam kegelapan abadi di
antara dinding-dinding rumah subsidi.
HP-ku terjatuh di lantai lemari.
Layar masih menyala redup sebelum mati total.
Menampilkan live feed terakhir dari CCTV Kamar Tidur.
Di layar itu, terlihat lemari pakaian jati yang berdiri
kokoh. Pintunya tertutup rapat, diganjal linggis.
Tenang. Diam.
Tidak ada yang tahu ada pergulatan nyawa di dalamnya.
Dan di sudut layar, notifikasi pesan WA yang tadi gagal,
akhirnya berubah status.
Verrel Polisi: Terkirim.
Satu centang abu-abu.
Lalu layar HP mati.
Di dalam dinding, aku berteriak untuk terakhir kalinya
sebelum tangan besar yang bau tanah itu membungkam mulutku selamanya.
TAMAT