Mata Milik Taro
MATA MILIK TARO
by Refii Dhinar
Bab 1: Kutukan Kastil Putih
Mataku terkutuk. Ini yang sering kudengar dari perkataan
teman-temanku. Mereka awalnya senang dengan hal-hal yang kulihat, tetapi
lama-kelamaan mereka histeris ketika aku bilang ada seseorang yang terus
mendampingi mereka.
Apa ini salahku? Seharusnya aku dilahirkan buta saja?
Padahal, makhluk-makhluk yang tidak bisa mereka lihat itu tidak jahat.
Manusianya yang jahat.
Hari ini aku duduk sendiri di kelas. Ada tiga murid yang
tidak bisa masuk. Tidak ada yang mengajakku bicara semester ini kecuali jika
ada tugas kelompok. Itu pun seperlunya saja.
Yamamoto-sensei masuk ke ruang kelas dengan bahunya
yang semakin bungkuk. Mataku langsung tertuju pada perempuan itu.
Siapa dia? Kenapa dia berdiri di samping Yamamoto-sensei
dengan wajah sepucat kertas? Bajunya kusut dan penuh noda tanah, mirip seragam
siswi SMP di gedung sebelah. Apakah dia keponakan Yamamoto-sensei?
“Sekarang buka halaman 17.” Sensei lalu menulis
beberapa contoh soal. Suaranya yang berat terdengar memilukan. Sesekali ia
menggaruk leher kirinya. Apa dia tidak tidur semalaman dan lupa mandi? Kenapa
wajahnya sangat tidak menyenangkan untuk dilihat?
Ah, mata kami bertatapan. Aku bisa merasakan hawa dingin di
sekujur tubuh. Kenapa juga mataku tidak berhenti mengamati Yamamoto-sensei
dan perempuan itu? Teman-temanku tidak ada yang heran, berarti hanya aku yang
bisa melihatnya.
Setelah menjelaskan sedikit, kami diminta untuk mengerjakan
soal-soal latihan sebelum nanti Yamamoto-sensei memanggil secara acak
untuk mengerjakan soal di papan tulis.
Udara dingin itu tak hanya membuat bulu-bulu halus di
tubuhku meremang. Aku bisa merasakan sesuatu mendekat. Cukup dekat sampai aku
enggan mendongak.
“Apa ini?” gumamku lirih. Aku terus mencoret-coret buku
latihan soal ketika ujung mataku menangkap helaian rambut hitam panjang jatuh
ke mejaku.
Oh, sebentar, ini bukan rambutku. Seseorang dengan rambut
tergerai sekarang sedang berdiri di sampingku sambil menunduk. Aku melihat
kakinya yang pucat membiru. Tidak ada sepatu. Kuku-kuku kakinya tercabut paksa.
Bagaimana ini? Aku ingin kabur.
“Taro-kun.” Suara itu lembut. Sekuat tenaga aku menunduk
meskipun kepalaku seperti dipaksa mendongak. “Jangan pura-pura tidak lihat.”
Tolong aku, siapa pun tolong. Aku tidak mau melihat
perempuan ini. Dia jahat.
Aku tidak mau terjebak sampai akhirnya nanti membuat kelas
makin kacau lagi. Aku tidak mau berteriak. Teman-temanku pasti ketakutan.
“SUDAH KUBILANG LIHAT AKU, TARO!”
“Aaah, PERGI! PERGI!” Aku berdiri dari kursi lalu lari
keluar dari kelas.
Tawa perempuan itu meledak, memantul di dinding-dinding
kelas hingga membuat gendang telingaku berdenging nyeri. Dadaku dihimpit batu
besar, paru-paruku serasa tak lagi mendapat pasokan udara. Aku memejamkan mata
rapat-rapat, menekan kelopak mataku dengan jemari hingga timbul bercak cahaya
abstrak.
Jika kegelapan bisa menyelamatkanku, biarkan aku buta
selamanya.
***
“Mulai bulan depan, kamu akan belajar dengan guru
pendamping. Lebih semangat belajar, ya, Taro-kun. Kamu bisa belajar di rumah,”
kata Mama ketika masuk ke dalam kamar.
Sudah sebulan aku menolak masuk sekolah. Kejadian ketika aku
kabur sambil menangis dari kelas pasti sudah tersebar. Mama dan Papa diminta
hadir ke sekolah dan mereka memutuskan untuk tidak lagi mendorongku untuk
belajar di sana.
Kalau ada hal yang kusyukuri dalam hidup, tentu saja karena
aku punya orang tua yang tidak memaksakan kehendak mereka. Adik perempuanku pun
tidak bertanya kenapa aku tidak berangkat ke sekolah.
“Mama dan Papa tidak membawaku ke dokter lagi? Bukannya aku
aneh?” tanyaku memastikan.
Ketika pertama kali aku mengalami keanehan dari mataku,
orang tuaku segera membawaku ke seorang dokter. Mereka bilang dia ahli
memeriksa hal-hal yang tersembunyi di pikiran dan hatiku. Masalahnya, tidak ada
penyakit di badan atau pikiranku. Hasil tesnya normal. Aku pun pernah dibuat
tertidur ketika dokter itu menyetel musik lembut sambil mengobrol denganku.
Mama sampai heran kenapa aku masih sering melihat hal aneh.
Meski kadang aku melihat hal-hal aneh di sekitar rumah, hanya kamarku saja yang
tidak pernah dimasuki mereka. Bayang-bayang hitam ataupun makhluk berambut
panjang seram seperti di sekolah tempo hari, tidak pernah menemuiku di kamar
ini.
Dunia luar terlalu seram. Aku ingin sekolah dan bermain
bola, tapi siapa yang mau mengajak berteman anak aneh sepertiku? Aku ingin
mencopot kedua bola mataku.
“Taro-kun, kamu tidak aneh. Kamu hanya sedikit berbeda
daripada yang lain. Bukankah sudah jelas hasil tes dari dokter yang bilang
kalau kamu sehat?”
Aku ingin menangis. Padahal, aku suka Matematika dan
sekarang aku ketakutan tiap kali lewat bangunan sekolah.
“Nanti kalau aku belajar di rumah, apa aku bisa jadi
ilmuwan? Aku ingin menjadi peneliti di laboratorium, Mama.”
Mama memelukku. Rasanya hangat.
“Tentu saja. Nanti proses belajarmu itu disebut homeschooling.
Kamu juga harus belajar keras untuk ujian penyetaraan supaya bisa kuliah nanti.
Kalau nanti kamu ingin masuk sekolah lagi, kapan saja bisa.”
Ucapan Mama membuat hatiku lebih tenang.
“Ya sudah, tidur dulu, ya. Besok pagi kita piknik ke Istana
Himeji. Kamu sudah lama ingin ke sana, kan?”
Aku mengangguk. Rasanya tidak sabar lagi aku ingin mulai
belajar bersama guruku. Besok adalah hari yang kutunggu juga.
Keesokan paginya, semuanya berjalan cepat. Mama dan Papa
sibuk menyiapkan perbekalan selama perjalanan. Adikku, Yuri, sibuk membongkar
tas punggung kecilnya. Dia bingung mau memasukkan buku bergambar apa yang akan
ia bawa.
Hari ini aku bersemangat sekali. Rasa-rasanya masalah
kemarin tidak akan menggangguku lagi. Aku tidak punya teman, tapi aku masih
punya Mama, Papa, dan Yuri yang manis.
Istana Himeji terlihat menjulang ketika kami sampai di sana
menjelang siang. Papa dan Mama senang mengajak kami berkunjung ke tempat-tempat
bersejarah. Mungkin ini karena mereka seorang dosen Fakultas Ilmu Sejarah dan
satunya lagi seorang penulis novel sejarah? Aku dan Yuri lebih senang datang ke
museum dan bangunan-bangunan tua daripada ke taman hiburan.
Kami berkeliling ke pelataran istana. Besar sekali. Aku
sampai merasa kecil seperti semut ketika masuk ke pelataran.
Mataku tertumbuk pada sebuah sumur batu. Di rumah, aku tidak
pernah melihat sumur. Dinding sumur batu ini sangat dingin. Hmm, ini aroma apa?
Lumut?
Sumur gelap itu menarikku untuk melongok ke dalam. Dari luar
fondasinya tidak terlalu istimewa, hanya berupa tumpukan batu bata berwarna
kelabu yang diselimuti pasukan lumut. Namun, ada sesuatu yang memanggilku dari
kegelapan di dasarnya.
“Taro, nani o miteiruno?” Mama memanggilku dari teras
Istana Himeji. ”Jangan terlalu lama berada di dekat sumur itu, itu sumur
terkutuk,” lanjut Mama.
Mama dan Papa melangkah keluar dari Istana Himeji. Kamera
Nikon warna hitam sedikit berayun mengikuti langkah Mama. Sedikit-sedikit Mama
berhenti untuk memotret dengan kamera yang ia kalungkan di lehernya.
Aku membaca buku panduan yang diberikan di pintu gerbang
sebelum masuk istana. Ternyata, Istana Himeji juga punya legenda yang sangat
menarik. Aku tidak menemukan hal-hal menyeramkan di sekitar sumur, apa karena
masih siang hari?
“Mengapa sumur ini terkutuk?” tanyaku pada Mama.
“Kita tidak bisa menceritakan kisahnya di sini. Mama suka
tempat ini sampai-sampai Mama tulis di salah satu novel yang Mama buat. Begitu
kuat auranya, tapi juga penuh rahasia. Ada rahasia leluhur kita di sini.”
“Natsume, sudah hentikan omong kosongmu. Jangan menjejali
otak Taro yang masih kecil itu dengan kisah-kisah khayalanmu,” tegur Papa. Ia
kini juga sibuk meneliti ke dasar sumur tua.
“Ini berbeda. Istana Himeji adalah tempat eksotis yang
memiliki kisah mengerikan di baliknya,” sahut Mama sedikit tak terima.
“Ya, itu semua adalah kisah bohong yang dipakai pengelola
istana untuk menarik wisatawan. Apalagi tipe wisatawan yang suka cerita mistis
sepertimu,” ujar Papa, ia menggandeng tanganku untuk berjalan menjauhi sumur.
”Yang kutahu, bermain terlalu dekat dengan sumur itu berbahaya karena kamu bisa
terjatuh dan tidak bisa kembali, Taro,” lanjut Papa.
Setelah di pelataran, keluargaku mendekati area sekitar
istana. Perjalanan kami seru sekali. Yuri terus minta difoto di beberapa tempat
sementara aku dan Papa hanya tertawa melihat tingkahnya.
“Taro-kun... Lihatlah ke sini, Taro....”
Sebuah suara lembut mampir di telingaku setelah aku hampir
sampai pintu gerbang luar Istana Himeji. Sontak aku menoleh dan mendapati
seorang wanita cantik mengenakan yukata ungu berbunga-bunga pink
sedang menatap tajam ke arahku.
Padahal jarak kami cukup jauh, tapi aku bisa mendengar suara
halus yang kuyakini itu suaranya mampir di telingaku.
“Kamu kenapa, Taro?” tanya Papa sambil mengibas-ngibaskan
tangannya di depan wajahku.
“Papa lihat perempuan memakai yukata ungu di sana?”
tanyaku sambil menunjuk ke arah bawah menara tepat di samping sumur tua yang
kulihat tadi.
Papa mengernyitkan keningnya. Mama tersenyum penuh
kemenangan.
”Tidak ada tamu atau pengurus istana yang mengenakan yukata
di bulan Desember, Taro. Oh, mungkin saja kau baru saja melihat youkai?”
tukas Mama kegirangan.
“Hentikan khayalanmu, Natsume. Kau tidak lihat, Taro sudah
mulai gemetaran?” Papa mulai meninggikan suaranya.
Aku tak peduli dengan perdebatan kecil Papa dan Mama. Yang
kutahu, wanita ber-yukata ungu itu terus menatapku dengan dingin. Sekelilingku
berubah hening, suara angin dan turis mendadak lenyap. Hanya ada aku dan wanita
asing itu.
“Ogenki, Taro-kun?”
Mulut wanita itu membuka perlahan, suaranya mencapai
jangkauan dengarku, seperti bisikan tepat di sebelah telinga. Hawa dingin
melingkupi tubuhku.
“Hentikan! Hentikan! Aku tidak kenal kamu!” pekikku
histeris. Aku ingin memejamkan mata namun tak bisa. Mata wanita itu memaksaku
untuk membalas tatapannya.
“Taro, ada apa?” Mama menyentuh kedua pipiku dengan cemas.
“Ayo kita keluar dari sini, Natsume!” Papa dengan sigap
menggendong tubuhku yang terus berteriak histeris.
Suara Papa mengembalikanku ke kondisi semula. Sosok wanita
itu menghilang bersamaan dengan pandanganku yang menggelap.
...
Bab 2: Kehadiran
Tidak ada yang membicarakan soal Istana Himeji lagi di
rumah. Yuri memilih untuk diam. Pasti dia diminta Mama dan Papa untuk tutup
mulut. Rencana belajar di rumah juga ditunda.
Aku lebih banyak berdiam diri di kamar. Bagaimana nanti
kalau aku besar? Apa selamanya aku hanya merasa aman kalau di rumah?
Aku pingsan hampir seharian setelah pulang dari Istana
Himeji. Hari ini pun aku memilih hanya keluar dari kamar saat makan dan ke
kamar mandi.
“Taro, apa kamu mau bergelung di kamar terus sampai hari
ulang tahunmu besok?” seru Papa dari luar kamar. Nada suaranya terdengar sebal.
Keluargaku kembali menjalani kegiatan mereka seperti tidak
ada masalah. Ya, kurasa ini lebih baik daripada mereka ikut suram sepertiku.
Seperti biasa, pagi ini keluargaku sedang melaksanakan
ritual Sabtu Bersih. Rumah kami adalah rumah kecil yang terletak di sisi Sungai
Senba, wilayah tengah kota Himeji. Baru enam bulan kami pindah ke rumah warisan
ini karena pekerjaan Papa. Aku masih merindukan suasana Kobe dan lingkungan
lamaku.
Sudah dua minggu ini Mama sibuk berkelana di ruang bawah
tanah. Ada banyak benda kuno warisan almarhum Ojiichan yang menarik perhatian
Mama.
“Oniichan, ayo bangun.” Yuri, adik perempuanku yang
baru berusia tujuh tahun, menarik selimut dan menggelitik hidungku.
Kubalas gelitikan Yuri dengan mengangkatnya tinggi-tinggi.
”Wuaa, turunin Yuri, Oniichan!” Yuri menjerit karena ia takut
ketinggian.
Papa masuk ke dalam kamar, lap kotor tersemat anggun di
bahunya.
“Cepat bantu Mama. Sepertinya ia butuh bantuan untuk
mengangkat peti dari ruang bawah,” perintah Papa.
Aku mengiyakan dengan suara enggan. Yuri terus membuntutiku
dengan suaranya yang terus ribut.
Aku menuruni tangga kayu menuju ruang bawah tanah. Udara di
sini terasa berat dan diam. Bau lembap tanah bercampur debu tua langsung
menyergap hidungku, membuat perutku sedikit mual.
Mama sedang menatap takjub pada sebuah peti kayu berlumut di
sudut ruangan. Cahaya lampu bohlam yang remang-remang membuat bayangan Mama
terlihat memanjang di dinding.
“Ayo cepat bantu Mama mengangkat peti ini.”
Tiba-tiba napasku tercekat. Ada sosok lain di samping Mama
yang belum pernah kulihat. Sial, hal ini terjadi lagi. Kukucek mataku beberapa
kali sebelum akhirnya bayangan hitam itu menghilang. Aku tidak pernah melihat
bayangan seperti itu di rumah ini sebelumnya.
“Ini apa ya?” Mama berusaha membuka gembok peti. Aku
memberikan palu yang dititipkan Papa padaku.
Mama memukul keras-keras sampai gembok itu terbuka.
Di dalamnya hanya terdapat surat-surat kuno dan foto lama.
Yang menarik perhatian Mama adalah sebuah salinan tua yang berisikan silsilah
keluarga.
Namun, yang menarik perhatianku bukanlah isi peti kayu lapuk
di depanku, tapi seseorang yang berdiri tak jauh di belakang Mama.
Sepertinya hanya aku yang bisa melihatnya. Jantungku
berhenti berdetak sesaat.
Tidak mungkin. Bukankah Ojiichan tidak pernah mendatangiku
meski sudah mati? Kenapa dia sekarang di sini?
Sato-ojiichan berdiri di sana, mengenakan piyama abu-abu
kesukaannya. Ia tersenyum hangat padaku, senyum yang sama seperti saat ia
memberiku permen diam-diam. Namun, ada yang salah.
Kepalanya masih basah dan merah. Darah segar mengalir dari
pelipisnya, menetes ke bahu piyamanya, persis seperti terakhir kali aku
menemukannya tergeletak tak bernyawa di kamar mandi rumah lama kami empat tahun
yang lalu.
Tubuhku sama sekali tak bisa bergerak. Setelah berusaha
memfokuskan pikiran, aku segera berbalik, lari naik ke lantai atas, masuk ke
dalam kamar, dan berganti pakaian dengan panik.
“Mau ke mana, Taro?” tanya Mama yang menyusul naik.
“Jalan-jalan pagi, aku ingat ada urusan yang harus
kuselesaikan hari ini.”
Tanpa memedulikan omelan Mama dan Papa, aku berlari keluar
rumah. Sekilas aku menoleh ke jendela ruang tengah, dan di sana, Ojiichan masih
berdiri menatapku, tersenyum dengan wajah berlumuran darah.
Aku berlari keluar halaman rumah. Sekeliling kami masih
banyak rumah bergaya lama. Dulu rumah ini memang milik Ojiichan sebelum sempat
disewakan.
Kepalaku berdenyut nyeri. Kenapa sekarang aku melihat sosok
Ojiichan? Apakah kondisi mataku semakin parah? Ini semua terjadi semenjak aku
kembali dari Istana Himeji.
***
Papa dan Mama menungguku di teras rumah ketika hari mulai
gelap.
Aku duduk melamun di depan minimarket berjam-jam sambil
mengunyah beberapa camilan. Orang-orang berlalu-lalang, tetapi aku merasa
terasing di duniaku sendiri. Setelah sadar matahari mulai terbenam, barulah aku
menyeret kakiku pulang.
“Lebih baik kita lakukan upacara pengusiran setan. Ada
seorang pendeta di kuil dekat sini yang Mama kenal,” saran Mama setelah
menyambutku pulang.
Usulan itu langsung mendapat penolakan keras dari Papa. Ia
hanya percaya dengan hal-hal logis yang bisa dibuktikan fakta. Berkebalikan
dengan Mama yang selalu percaya dengan kekuatan di luar nalar manusia.
Aku masih ingat ketika Mama membawaku diam-diam untuk
bertemu dengan pendeta kenalannya saat usiaku masih 7 tahun.
Sebenarnya, aku tahu kalau mataku ini terkutuk. Tidak akan
ada dokter yang bisa menyembuhkanku.
“Anak ini mewarisi amarah dari leluhurnya,” ujar pendeta
waktu itu.
“Apakah penglihatannya tidak bisa ditutup?” tanya Mama
khawatir, aku sedang duduk diam di sisi altar warna merah. Pendeta dengan
kepala botak itu sedang didampingi seorang nenek berambut putih.
“Bisa, tapi suatu hari nanti tanpa sebab yang pasti,
penglihatannya dapat terbuka kembali. Kemarilah, Nak, jangan takut dengan nenek
yang duduk di sisiku. Ia adalah miko, pendeta wanita yang melindungi
kuil ini.”
Aku terkejut waktu itu. Mata pendeta itu berkilat
meyakinkan. Baru kali itu aku bertemu dengan orang yang sama-sama mampu melihat
apa yang orang lain tak mampu lihat.
Lamunanku buyar saat mendengar suara Mama meninggi. Mama
bersikeras ingin mendatangi pendeta lagi.
Aku tahu gejala penglihatanku semakin parah. Mataku terus
menelusuri bagian dalam rumah kami, takut kalau-kalau Ojiichan atau wanita ber-yukata
ungu itu muncul lagi. Tidak ada apa-apa, tapi tubuhku masih gemetaran hebat.
“Lihat dia! Apa kamu masih mengira kalau pergi ke pendeta
adalah hal buruk?” ujar Mama menunjuk ke arahku.
Ia memelukku dengan air mata yang terus mengalir. Pertahanan
Papa akhirnya runtuh melihat kondisi kami.
Papa terpaksa menyetujui permintaan Mama. Malam itu juga,
diputuskan Papa akan menjaga Yuri di rumah, sementara Mama membawaku mencari
jawaban.
...
Bab 3: Sumur Okiku
Hanya aku dan Mama yang pergi ke kuil dekat Istana Himeji.
Mama diam sepanjang perjalanan. Ia menyetir mobil dengan wajah tegang, sesekali
mengusap air mata yang tak mau berhenti.
Mobil kami berhenti di pelataran parkir yang sepi. Kuil itu
terletak agak tersembunyi, tidak jauh dari kawasan wisata Istana Himeji.
Ketika aku turun dari mobil, angin kencang tiba-tiba
bertiup.
Langit yang semula jingga mendadak berubah kelabu. Suara
mesin mobil Mama menjauh, digantikan oleh denging tajam yang menyakitkan
telinga. Bukan hanya bayangan gelap, asap hitam pekat seolah keluar dari tanah,
melilit kakiku seperti tentakel gurita yang enggan melepaskan mangsanya.
Tubuhku sesak. Sesuatu menarik dan membekap sampai aku susah
bernapas. Suaraku tak mau keluar. Mama! Aku ingin memanggilnya, tapi duniaku
berputar hebat.
Setelah beberapa lama, aku merasakan tanah padat di bawah
kakiku. Aku berada di tempat yang tidak ingin kukunjungi.
Istana Himeji berdiri angkuh di hadapanku, namun ada yang
berbeda. Dindingnya tampak lebih putih, lebih baru, tanpa jejak lumut yang
kulihat kemarin. Panji-panji klan berkibar di atas gerbang utama yang terbuka
lebar, bukan bendera wisata. Di halaman, orang-orang lalu-lalang mengenakan hakama
dan kimono sederhana, bukan pakaian turis.
Aku bukan lagi di abad ke-21.
Hatiku sedikit tenang ketika melihat aku tidak sendirian.
Perempuan itu hadir lagi. Kali ini jarak kami lebih dekat. Wajahnya cantik tapi
pucat. Ia berjalan tergesa-gesa, seolah tidak melihatku berdiri di sana.
Aku harus membuktikan apakah ia manusia atau bukan. Ia
berhenti di depan menara utama Istana Himeji. Tangannya menunjuk ke sisi timur.
Aneh. Bagian kaki menara yang semula sepi tiba-tiba saja
dipenuhi banyak orang. Mereka mengenakan kimono dan hakama.
“Demi kehormatan Raja, maka aku akan mempersembahkan
kematian suciku ini!”
Seorang pria berpakaian serba putih duduk bersimpuh. Sebilah
belati panjang siap ia hunuskan ke perutnya.
Aku berteriak, bersusah payah mencoba menghentikannya.
Namun, kakiku seperti terpaku di tanah. Pria itu menusukkan belati di perutnya
sendiri. Darah muncrat membasahi pasir putih.
“Bertahanlah! Hei, kenapa kalian diam saja? Panggil
ambulans!” teriakku.
Aku marah melihat ketidakpedulian orang-orang ini. Namun,
tak ada satu pun yang menoleh padaku. Seolah-olah aku hanyalah hantu bagi
mereka.
Grrk, grrk.
Sebuah suara deguk mengejutkanku. Pria yang baru saja tewas
bunuh diri itu menolehkan wajahnya padaku. Tatapannya kosong, mengerikan.
Darahnya terus mengalir membasahi tanah hingga seolah-olah mencapai sepatu
ketsku.
Segera aku berlari menjauh, masuk ke dalam kompleks Istana
Himeji. Perempuan yang mengenakan yukata ungu itu terlihat lagi. Kini ia
menaiki sebuah menara. Tanpa pikir panjang, aku mengikutinya.
Sreek, sreek. Langkah kaki diseret terdengar menaiki
tangga menara.
Aku mengintip dari balik tiang kayu. Dua orang wanita ber-yukata
ungu sedang berada di puncak menara. Mereka membawa kain lap.
“Kamu akan melaporkannya pada Raja, Okiku?” tanya si gadis
berkepang dua sambil mengelap benda-benda berkilau keemasan yang tertata rapi.
Wanita bernama Okiku itu adalah sosok wanita yang selama ini
menghantuiku, hanya saja kali ini penampilannya lebih manusiawi. Wajahnya tidak
pucat, melainkan merona cemas.
”Tentu saja. Kuharap dengan melaporkan rencana pemberontakan
itu, Raja akan berterima kasih padaku dan mau merawat putraku di istana,” ujar
Okiku penuh harap.
“Putramu adalah anak Raja, tidak seharusnya ia tinggal di
luar istana.”
“Tetapi ia lahir dari hubungan terlarang, walau darah Raja
mengalir dalam dirinya,” keluh Okiku muram.
Jantungku berdegup kencang. Anak? Dia punya anak?
Tiba-tiba suasana berubah mencekam. Greet, greet.
Suara langkah kaki berat disertai bunyi gaduh logam beradu menaiki tangga.
Seorang pria mengenakan pakaian prajurit menendang pintu,
lalu tanpa ampun menampar wajah Okiku hingga ia tersungkur.
“Dasar pencuri! Hukuman apa yang pantas bagi pencuri benda
pusaka istana!” bentak prajurit itu.
“Aku tidak mencuri! Lagipula aku sudah menyelamatkan nyawa
Raja, bagaimana bisa aku dituduh seperti ini?” Okiku tetap berusaha bangkit
dengan wajah berlumuran darah.
“Menurut titah Raja, bunuh saja manusia tak berguna ini.
Buang mayatnya di dalam sumur!”
Berikutnya aku tak sanggup melihat lagi. Aku bisa mendengar
teriakan kesakitan dari perempuan itu. Tubuhnya diseret paksa menuruni tangga.
Jeritannya menyayat hati, memanggil nama anaknya.
Timbul dorongan kemarahan di dadaku. Kuberanikan diri untuk
berlari menuruni menara, mengejar mereka menuju sumur. Kuterjang para pengawal
biadab itu.
Namun, tubuhku menembus mereka bagai asap.
Mereka melempar tubuh Okiku yang sudah tak berdaya ke tanah
di tepi sumur. Pedang terhunus. Darah memuncrat.
Aku menjerit, tapi suaraku hilang ditelan angin.
Potongan-potongan tubuhnya... ah, aku mual. Mereka
melemparkannya ke dalam sumur satu per satu.
Setelah para prajurit itu pergi, suasana menjadi sunyi
senyap. Bau anyir darah menguar di udara.
Aku berjalan gemetar mendekati sumur.
“Mau pergi ke mana?”
Hantu Okiku muncul lagi di hadapanku. Kali ini dalam wujud
arwah yang mengerikan, penuh luka bacok, melayang di atas bibir sumur.
Aku jatuh terduduk lalu menangis. Aku sudah pasrah jika
memang hanya sampai di sini batas akhir hidupku.
Hantu Okiku mendekatkan wajahnya di depan wajahku. Aneh. Ia
pun turut menangis. Buliran air mata darah mengalir di wajah pucat pasinya.
“Wajahmu mirip dengan wajahnya... Putraku...” bisiknya
lirih. “Kau memang reinkarnasinya, tapi hatimu berbeda dengannya. Kamu berani
menantang mereka.”
Itulah kalimat terakhir yang bisa kuingat. Okiku lalu terjun
ke dalam sumur.
Aku tak bisa menahannya. Ada dorongan kuat yang menarikku.
Bukan untuk mati, tapi untuk memahami.
Aku ikut terjun ke dalam kegelapan sumur bersamanya.
***
Di mana aku sekarang? Apakah aku benar-benar mati? Atau
apakah mataku tak akan lagi bisa melihat?
Sayup-sayup aku mendengar suaraku dipanggil. Tubuhku
melayang ringan. Ada sesuatu yang menarikku ke atas.
“Sadar, Taro!”
Lamat-lamat aku mendengar suara Mama. Apakah ini surga? Aku
baru saja mati, tapi belum-belum sudah merindukan keluargaku.
“Tubuhnya mulai bergerak.” Kali ini kudengar suara Papa.
Cahaya menyilaukan menyambut terbukanya mataku. Perlahan aku
sadar. Aku masih terikat dengan ragaku di dunia. Aku belum kehilangan nyawa.
”Ma, Pa...” Tenggorokanku kering seperti habis menelan
pasir.
Papa menghela napas panjang, wajahnya tampak sepuluh tahun
lebih tua. "Syukurlah. Kami menemukanmu pingsan di dekat sumur tua. Kamu
menghilang dua hari, Taro."
Dua hari? Rasanya aku baru saja bermimpi buruk selama
beberapa jam. Aku mencoba duduk, namun Mama menahanku lembut.
Di pangkuan Mama, terbentang sebuah gulungan kertas tua yang
kugenali. Itu salinan silsilah keluarga yang kami temukan di peti berlumut di
ruang bawah tanah tempo hari.
"Lihat ini, Taro," bisik Mama, jarinya yang
gemetar menunjuk ke bagian paling atas silsilah yang tintanya mulai memudar.
Di sana, di atas nama leluhur terjauh kami, terdapat sebuah
catatan kecil yang nyaris tak terbaca namun ditulis dengan tinta merah.
Putra dari Okiku. Disembunyikan untuk tetap hidup.
Mataku membelalak. Rasa dingin kembali merambat, namun kali
ini bukan rasa takut. Itu rasa pengakuan.
"Ojiichan tahu..." gumamku, teringat senyum sedih
kakekku yang berlumuran darah waktu itu. "Selama ini Ojiichan tahu kita
adalah keturunannya."
Mama mengangguk, air matanya menetes membasahi kertas tua
itu. "Surat-surat di peti itu menceritakan semuanya. Leluhur kita selamat
karena pengorbanan ibunya. Dan kamu, Taro... tanggal lahirmu sama persis dengan
tanggal kematiannya."
Aku terdiam, menatap sumur tua di kejauhan yang kini tampak
sunyi. Jadi, suara-suara itu, penglihatan mengerikan itu, bukan kutukan untuk
menyakitiku. Itu adalah ingatan. Ingatan yang diturunkan melalui darah,
menunggu seseorang yang cukup kuat untuk melihat kebenaran, bukan sekadar
sejarah yang ditulis pemenang.
Okiku tidak jahat. Dia hanya seorang ibu yang marah karena
ketidakadilan. Dan dia menungguku—reinkarnasi dari darah dagingnya—untuk
mendengarkan sisi ceritanya.
"Aku sudah melihatnya, Ma. Kebenarannya," ucapku
lirih. Beban berat di pundakku perlahan terangkat.
“Arigatou.”
Desir halus merayapi tengkukku. Aku menoleh ke arah sumur.
Dari kejauhan, kulihat arwah Okiku berdiri di sana. Tidak ada lagi darah, tidak
ada wajah menyeramkan. Ia tersenyum, cantik dan damai, sebelum akhirnya lenyap
ditelan cahaya matahari sore.
...
TAMAT